Pemberdayaan Perempuan Krusial Bagi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Untuk menjadi salah satu negara ekonomi terbesar dalam beberapa dekade ke depan Indonesia harus meningkatkan pemberdayaan perempuan di sektor ekonomi.
Pemberdayaan perempuan berpengaruh terhadap peningkatan perekonomian di Indonesia. Hal ini bukan hanya sekadar omong kosong saja, karena berdasarkan data dari Mckinsey Global Institute, Indonesia akan menjadi negara dengan tingkat ekonomi terbesar ke tujuh pada 2030, dan salah satu syaratnya adalah dengan meningkatkan pemberdayaan perempuan di sektor ekonomi.
Berdasarkan data Mckinsey, peningkatan pemberdayaan perempuan akan menyumbang Produk Domestik Bruto global sebesar US$12 triliun pada 2025, dan tambahan kenaikan saham sampai 17 persen yang terdaftar di bursa-bursa saham Eropa periode 2005-2008. Tentunya hal ini tidak bisa dilakukan oleh satu sektor saja, harus ada sinergi antara sektor swasta, sektor bisnis dan juga sektor sipil.
“Sayangnya, hal ini masih belum menjadi perhatian sebagian besar pelaku bisnis,” ujar Ketua Dewan Pembina Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Shinta Widjaja Kamdani, dalam sebuah diskusi bersama harian Kompas baru-baru ini.
Dalam konteks di Asia, termasuk Indonesia, perempuan memang masih terhambat pembagian peran gender yang timpang karena sistem patriarkal yang lebih mengikat perempuan untuk mengurus keluarga mereka. Hal ini lah yang menjadi tantangan bagi sektor swasta dan tentunya sektor pemerintah untuk mencari cara agar perempuan dapat lebih diberdayakan, ujar Shinta.
Dalam laporan tingkat kesetaraan gender yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia (Economic World Forum), Indonesia menduduki peringkat ke-88 dari 144 negara, dan tertinggal jauh dari Filipina yang menduduki posisi ke 7. Di antara negara-negara anggota Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN), Indonesia menduduki peringkat ke-6 dari 10 negara.
Kesenjangan dalam dunia kerja dapat dilihat dari semakin sedikit jumlah perempuan di posisi-posisi tinggi dalam sebuah institusi. Wiwiek D. Santoso, Direktur perusahaan infrastruktur PT Mandala Marga Sakti mengukuhkan, semakin tinggi posisi yang ditawarkan oleh perusahaan, maka semakin sedikit perempuan yang akan mengambil posisi tersebut, terutama karena harus mengurus anak, ataupun mengurus rumah tangga.
Ia mengakui, waktu kerja yang fleksibel masih menjadi tantangan dalam sektor bisnis infrastruktur, apalagi bisnis jalan tol.
“Tapi kami sendiri sedikit membebaskan tim nya baik laki-laki atau perempuan untuk mengatur waktu antara kerja dan waktu untuk urusan domestik mereka,” ujarnya.
Chief Human Resources PT. Bank Mandiri, Sanjay Naraindas Bharwani, mengatakan bahwa rendahnya partisipasi perempuan dalam posisi tinggi di perusahaan juga dipengaruhi faktor relasi gender.
“Budaya pun juga mempengaruhi seperti perempuan yang kariernya tinggi dan laki-laki yang tidak bisa beradaptasi dengan hal tersebut,” ujarnya.
Mandiri sendiri, menurut Sanjay, berupaya membantu para pegawai perempuan dengan membangun fasilitas penjagaan anak atau daycare, meskipun belum dapat dibangun di semua daerah.
“Akan tetapi, tantangannya adalah, hal ini tidak bisa diterapkan secara cepat di beberapa daerah yang sama karena jumlah anak yang tidak memadai,” imbuhnya.
Kendala-kendala yang dihadapi perempuan membuat jumlah inovator perempuan di sektor teknologi juga minim, ujar Yessie D. Yosetya, Direktur Teknologi PT. XL Axiata.
“Sebagai konsumen saja, perempuan masih sangat sedikit dari laki-laki,” katanya.
Sebagai langkah untuk menciptakan ekosistem agar perempuan lebih nyaman untuk menyelami dunia internet, XL Axiata membuat gerakan yang bernama Sisternet. Gerakan ini sangat aktif dan sudah memiliki anggota mencapai 12.000 perempuan.
“Perjuangannya masih panjang untuk ke posisi inovator, untuk konsumen saja kita masih dalam tahap mengajari. Dan step berikutnya merangkul mereka untuk menjadi inovator,” tambah Yessie.
Merombak konsepsi gender
Semua praktik yang sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan tersebut tidak akan terlalu efektif jika tidak dibarengi dengan dukungan dari pihak pemerintah, menurut Shinta dari IBCWE. Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah lama mengimplementasikan isu kesetaraan gender dalam undang-undang, yang kini masuk dalam Rencana Pembangunan Menengah Nasional 2015-2019 (RPJMN), dengan salah satu poinnya adalah pengarusutamaan gender. Namun implementasi dari undang-undang ini sangat kurang, salah satunya karena masalah koordinasi antara kementerian, yang terkadang membuat peraturan di antara kementerian saling bertentangan.
Sujatmiko, Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak di Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, mengatakan bahwa tidak hanya bekerja sama dengan sektor lainnya, tapi juga seharusnya di pemerintahan pun juga harus berkoordinasi satu sama lain.
“Kami sedang mengidentifikasi saat ini, tiap kementerian itu mengerjakan apa saja. Nanti saya akan analisa, mana yang sukses dan mana yang gagal. Yang sukses kita replikasi yang gagal kita perbaiki,” ujarnya.
Namun Sujatmiko mengatakan bahwa perempuan itu harus berperilaku sesuai ‘kodratnya’.
“Terkait dengan kondisi alamnya perempuan… kodrat perempuan. Nah, itu tidak bisa diapa-apakan. Seperti yang tadi diceritakan oleh beberapa pembicara, ‘Saya harus memelihara anak saya dulu daripada bekerja’. ‘Saya tidak bisa pindah ke tempat lain’. ‘Waduh, saya enggak bisa ke luar kota’. Padahal promosi tapi di luar kota. ‘Waduh, saya enggak bisa pisah sama anak sama suami’. Itu kan hal yang tidak bisa diapa-apakan,” ujarnya.
Pandangan soal kodrat perempuan ini juga dikemukakan oleh beberapa pembicara dalam diskusi, baik secara eksplisit maupun implisit.
Aktivis perempuan Zumrotin K. Susilo, yang juga ketua Yayasan Kesehatan Perempuan, mengutarakan bahwa beberapa pihak masih tertukar pemahamannya mengenai gender dan kodrat, dan menganggap pekerjaan domestik yang dilakukan perempuan adalah bagian dari kodrat perempuan, padahal itu adalah peran gender yang merupakan konstruksi sosial.
Gender merupakan pembedaan peran laki-laki dan perempuan berdasarkan penilaian masyarakat, sedangkan “kodrat” itu kondisi biologis pada manusia. Pada perempuan, hal itu termasuk hamil, melahirkan dan menyusui, meskipun tidak semua perempuan harus menjalani itu.
“Berkali-kali dikemukakan permasalahannya ada di perempuan sendiri… padahal permasalahannya ada di gender. Mari kita membongkar permasalahan gender. Jika pemahaman gender sudah merata, saya rasa tidak ada lagi orang melihat bahwa perempuan yang meninggalkan rumah itu tidak elok, perempuan yang maju melangkahi suaminya itu tidak elok. Tidak ada lagi itu,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa poin dalam Undang-undang No.1/1974 tentang Perkawinan yang mengatakan laki-laki adalah kepala keluarga dan pencari nafkah, harus direvisi.
“Jika (undang-undang) ini dibongkar, maka tidak ada kendala lagi di perusahaan. Kalau dibongkar, maka opportunity itu ada di perempuan juga. Yang dibongkar itu (konsepsi) gendernya, bukan perempuan yang disalahkan,“ ujar Zumrotin.
Baca tentang festival feminis pertama di Indonesia.