Lifestyle

Perempuan Dilarang Suka Sepak Bola dan Musik Keras

Sampai hari ini, selera perempuan kerap kali diatur-atur sesuai pemahaman lelaki. Jika tak sesuai, remehkan saja, selesai perkara, begitu kata mereka.

Avatar
  • August 7, 2023
  • 7 min read
  • 1637 Views
Perempuan Dilarang Suka Sepak Bola dan Musik Keras

Arshan, 36, sudah lama menyukai musik rock dan metal. Band metal favoritnya cukup banyak tapi ada beberapa yang sangat ia suka, di antaranya Black Rebel Motorcycle Club, Mastodon, Gojira, Ghost, dan AMENRA. Sang ayah jadi sosok yang berpengaruh besar pada kesukaan Arshan. Pada 1993, saat masih berusia 6 tahun, ayah sudah mengajaknya nonton penampilan band Metallica di Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Dari situ, ia mulai jatuh cinta dan banyak mengulik band-band rock dan metal lewat berbagai cara.

Kini sudah lebih dari satu dekade ia jadi penggemar musik rock dan metal. Sebagai penggemar, bentuk cinta pada musik keras hadir dalam dedikasinya mengoleksi merchandise dan menonton konser band idola. Uang bukan lagi jadi masalah buat Arshan.

 

 

Ia bahkan mengoleksi kaos, tas, compact disc (CD) musik, buku, hingga masker band-band idola. Ia pun tak ragu menggelontorkan dana puluhan juta untuk menonton penampilan Mastodon di festival musik Summer Sonic di Jepang pada 2018 dan Black Rebel di Osaka, Jepang pada 2019.

Masalahnya, sejak memperlihatkan kesukaan kepada BTS di media sosial, identitasnya sebagai penggemar musik rock dan metal dipertanyakan.

Gue di-judge pas ketahuan suka K-pop. Temen dekat gue yang cowok sempat ngomong ke gue kaya giniTaste musik lu udah bagus anjir, kok tiba-tiba lu suka K-pop? Lu yakin yang dengerin yang kaya gini (BTS)?’. Ini kan rada menghina ya,” curhat Arshan.

Tak sampai situ saja, orang-orang yang tak ia kenal pun mendadak ramai-ramai meremehkan seleranya. Semua cuma karena ia suka BTS yang basis penggemarnya memang didominasi oleh perempuan.

“Di media sosial, orang-orang tuh mulai nyindir ‘Ah lu suka metal sebenarnya cuma pura-pura kan. Enggak ngerti banget pasti. Ah lo poser doang’. Bahkan di Twitter pas gue upload ngejar nonton Mastodon di Jepang, ada cowok yang komentar ‘Ah paling elu mau nonton Shawn Mendes’. Gue aja enggak tahu siapa Shawn Mendes. Keliatan banget dia ngejek gue,” kata Arshan lagi.

Baca Juga: BTS ARMY: Perempuan Cuma Ingin Bebas Berekspresi

Meremehkan Penggemar Perempuan

Dihakimi, diremehkan, dan dipertanyakan identitasnya sebagai penggemar bukan hanya dialami oleh Arshan, tapi juga Adinda, 29. Perempuan ini menggemari musik rock metal. L’Arc~en~Ciel, Megadeth, dan Lamb of God adalah tiga band kesukaannya. Sama seperti Arshan, ketika orang-orang (baca: laki-laki) tahu dia menyukai K-Pop dan musik rock metal, penghakiman pun meluncur keras.

“Aku dianggap aneh. Dianggapnya cuma suka musik rock dan metal biar dibilang keren. Bahkan tuh aku pernah disindir ‘Ah elah lo ARMY doang, yang lain (suka dengan band rock metal) cuma tempelan doang’. Aku juga dikiranya suka yang mainstream sampe aku tuh dites, ‘Tau enggak lo band ini?’” cerita Adinda.

Tidak hanya diremehkan sebagai penggemar musik rock metal, Adinda juga punya pengalaman yang sama sebagai penggemar sepak bola. Adinda bercerita semasa sekolah, ia adalah anak yang cukup atletis. Ia pandai dalam berbagai cabang olahraga yang bahkan membuatnya punya mimpi jadi atlet. Namun, cita-cita itu diurungkan karena ia cedera dan sakit.

Saat sekolah, Adinda punya penampilan yang tomboi, sampai orang-orang menganggapnya sebagai laki-laki. Rambut cepak, suka memakai kaos dan celana pendek, dan badannya juga berisi. Penampilannya ini kemudian berubah drastis saat dewasa. Ia mulai memakai jilbab dan tubuhnya mengalami penurunan massa otot. Dengan penampilan yang dicap sebagai feminin, kecintaan Adinda pada sepak bola mulai diremehkan.

“Mulai ada yang komen kalau aku tuh suka sepak bola cuma ikut-ikutan doang. Aku suka MU (Manchester United) dan MU kan salah satu klub sepak bola paling besar. Nah, para cowok ini ngira aku suka MU ikutan tren aja biar keren. Katanya mah ini klub gede, kamu pasti juga aslinya juga enggak ngerti. Makanya aku pernah tuh ditanyain teknis sepak bola kaya offside tuh apa,” kata Adinda.

Selain Adinda, Reni, 29 juga mengalami hal senada. Berkat ayahnya, Reni suka sepak bola sejak 2002 saat ia masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Ia mengoleksi berbagai jersey tim sepak sepak bola bahkan sampai rela ikut kursus Bahasa Spanyol karena dua pemain idolanya, David Villa (mantan pemain sepak bola profesional Spanyol) dan Paulo Dybala (pemain sepak bola profesional Argentina). Ia pun khatam dengan semua peraturan dan teknik permainan sepak bola. Sayangnya, karena ia perempuan Reni tetap saja diremehkan oleh laki-laki.

Ia dituduh fans karabitan, julukan buat orang-orang berlagak jadi penggemar tapi sebenarnya tidak tahu apa-apa. Enggak heran, Reni lalu dibilang suka sepak bola hanya karena penampilan para pemainnya. Hal inilah yang membuat dia jadi suka sekali diberikan tes dadakan oleh para laki-laki. Tujuannya untuk membuktikan kalau dia memang benar penggemar sepak bola.

“’Pasti kamu suka karena cakep doang kan. Suka Barcelona karena pemainnya pada cakep kan, karena lagi tenar makanya suka sama yang ini. Pasti sukanya sama Ronaldo sama Messi aja’. Sering tuh digituin. Aku juga suka diremehin, ditanyain aja tiba-tiba offside, handball, lemparan ke dalam tuh apa dan kaya gimana. Aku tadinya marah digituin, tapi sekarang lebih milih diam aja,” tutur Reni. 

Baca Juga: Sepak Bola Perempuan Semakin Diminati, Namun Disparitas Tetap Ada

Suka Apa Saja Tetap Tak Bisa Selevel Laki-Laki 

Kelompok penggemar terbagi berdasarkan gender, begitu tulis Kaya Kaya Mendelsohn, alumni New York University dalam Gender in Fandom (2020). Meneliti perempuan penggemar boyband dan laki-laki penggemar sepak bola, Mendelsohn menyatakan bagaimana perempuan adalah kelompok penggemar yang distigma dan termarginalisasi. 

Mereka selalu dilabeli dengan label-label negatif, seperti histeria, fanatik, militan, bahkan halu. Sementara, laki-laki masuk dalam kelompok penggemar yang lebih diterima secara sosial karena dianggap lebih “rasional” dan kecintaan mereka terhadap musik atau olahraga bukan cuma obsesi buta. 

Valerie Walkerdine, akademisi yang berkecimpung di Psikologi dan Media memberikan penjelasan. Menurutnya, stigma ini hadir karena ada pembingkaian rasionalitas berlebihan di tengah publik yang relatif maskulin.

Dalam penelitiannya bertajuk Daddy’s Girl: Young Girls and Popular Culture (1997) dijelaskan, perempuan dipandang kurang memiliki evaluasi rasional yang baik dibandingkan laki-laki dan karenanya mereka hanya merespons murni dari emosi saja. Ini karena feminin dan maskulin selalu digambarkan layaknya dua kutub magnet dengan segala sesuatu yang feminin dipandang lebih buruk dan lebih rendah dari maskulin. 

Diane Railton dalam The Gendered Carnival of Pop (2001) menulis, pembingkaian ini membuat musik pop yang banyak digandrungi oleh perempuan dianggap sebagai pasaran atau murahan. Kegiatan perempuan sebagai penggemar pun diasosiasikan dengan emosi berlebihan dan dangkal.

Sebaliknya, musik rock dan metal atau olahraga seperti sepak bola yang diasosiasikan dengan selera laki-laki adiluhung atau bernilai tinggi. Sehingga, secara sosial pun mereka dianggap dan menganggap dirinya lebih keren dibandingkan perempuan penggemar. 

Pengalaman Arshan sebagai metalhead dan ARMY jadi buktinya. Ketika laki-laki tahu ia menyukai musik metal dan K-Pop secara bersamaan, tiba-tiba saja identitas metalheadnya dipertanyakan. Seleranya dianggap turun kelas.

Sayangnya, jika perempuan sudah tidak mengasosiasikan dirinya dengan segala sesuatu yang bersifat feminin, mereka tetap tak setara dengan laki-laki. Begitu kata Tara Louise Few dari Universitas Manchester dalam penelitian berjudul What’s The Alternative?: Rethinking Gender, Genre and Music Fandom.

Few menemukan, walaupun perempuan terlibat aktif dalam skena musik rock yang maskulin dan menolak segala hal berbau feminin, mereka masih diposisikan sebagai konsumen tidak rasional. Bahkan secara mental dinilai tidak stabil oleh para penggemar laki-laki lain. Hal ini lagi-lagi lantaran perempuan dianggap emosional dan tak rasional dalam semua hal, termasuk urusan selera.

Baca Juga: Tak Cuma ‘Photo Card’: Bagaimana Penggemar K-Pop Terlibat Aktivisme

Jennifer Curtin dari University of Auckland yang meneliti soal rugbi dan sejarah keterlibatan penggemar sepak bola, menguatkan kesimpulan Few. Ia menguraikannya dalam penelitian yang terbit di The International Journal of the History of Sport (2015). Kata dia, perempuan penggemar mengalami penghakiman atas kesukaan mereka terhadap cabang olahraga maskulin seperti rugbi atau sepak bola. Ketertarikan mereka dianggap palsu. Mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa dan hanya ikut-ikutan saja. 

Menjadi penggemar (yang berkaitan dengan maskulinitas) adalah murni kegiatan untuk laki-laki. Perempuan dikecualikan, sehingga walau pada kenyataannya benar-benar penggemar, mengoleksi jersey, dan ikut nonton pertandingan, mereka bukan the real fan.

Apa yang dialami oleh para perempuan penggemar, seperti Adinda dan Reni adalah bukti seksisme dalam bentuk budaya penggemar. Perempuan akan selalu dianggap rendah atas apapun yang mereka suka, sekali pun itu berkaitan dengan maskulinitas yang dianggap lebih keren. 

Jika sudah begini, satu-satunya solusi adalah dengan mendorong kesadaran bahwa ketidakadilan gender juga terlihat dalam penghakiman selera perempuan. Hal ini harus berhenti di kamu.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *