Kampanye KemenPPPA Soal Ketahanan Keluarga Hapus Beragam Identitas Perempuan
Aktivis perempuan mendorong KemenPPPA menghapus konsep ketahanan keluarga karena membatasi peran perempuan menjadi hanya istri dan ibu.
Aktivis perempuan mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan lembaga pemerintah terkait lainnya untuk tidak lagi mengusung konsep “ketahanan keluarga”, yang dianggap mengembalikan perempuan ke ruang-ruang domestik.
Kampanye ketahanan keluarga yang berorientasi pada pembangunan keluarga selama ini merupakan cara berpikir keliru dalam melihat permasalahan perempuan, menurut Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Mariana Amiruddin.
“Ketika mereka menggunakan kacamata keluarga, identitas perempuan pun hanya dilihat sebagai ibu atau istri, bukan sebagai subjek individu,” ujar Mariana kepada Magdalene baru-baru ini.
Anna Margret, Direktur lembaga penelitian sosial politik berbasis gender Cakra Wikara, mengatakan cara pandang KemenPPPA selama ini lebih banyak menggunakan perspektif tradisional, termasuk ketahanan keluarga.
“Zaman berubah, dan identitas perempuan pun semakin beragam. Sekarang yang dibutuhkan dalam isu pemberdayaan perempuan adalah kelenturan dan ketajaman KemenPPPA dalam melihat permasalahan perempuan,” ujar Anna.
Sejak mendapat tambahan mandat perlindungan anak dalam periode kedua kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2009-2014), KemenPPPA lebih cenderung mendorong kesetaraan gender hanya dalam lingkup keluarga saja, yang mengakibatkan terhapusnya beragam identitas perempuan dalam masyarakat.
Hal ini berlanjut di bawah kepimpinan Menteri Yohana Yembise (2014-2019). Pada tahun 2016, bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), KemenPPPA bahkan membuat Indeks Ketahanan Keluarga (IKK) untuk mendapatkan gambaran bagaimana ketahanan keluarga di Indonesia.
Ada lima indikator dalam indeks tersebut, yakni legalitas struktur dan kesetaraan gender; ketahanan fisik; ketahanan ekonomi; ketahanan sosial psikologi; dan ketahanan sosial budaya. Buku Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 yang disusun oleh KemenPPPA menunjukkan bagaimana kesetaraan gender ditempatkan dalam dimensi legalitas struktur dan keutuhan keluarga. Kementerian ini lebih banyak menggunakan istilah kemitraan gender antara suami dan istri, dalam mengurus empat hal, domestik, urusan anak, keuangan, dan penentuan jumlah anak.
Baca juga: Aktivis Perempuan: Jangan Ubah Nama Kementerian Pemberdayaan Perempuan
Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA, Agustina Erni, mengatakan bahwa pihaknya menekankan pada ketahanan keluarga karena keluarga merupakan kunci dari pembangunan negara yang baik. Ia menambahkan bahwa pihaknya sedang melakukan uji coba pendekatan ketahanan keluarga dengan menggunakan IKK dalam program pemberdayaan perempuan.
“Jika kita ingin memberdayakan perempuan, laki-laki, dan anak, keluarga menjadi sebuah unit yang paling penting. Melalui konsep ini kami ingin membangun sinergi dengan banyak pihak, untuk menyelesaikan masalah pemberdayaan perempuan, “ kata Erni, dalam seminar nasional mengenai implementasi kesetaraan gender dan ketahanan keluarga, yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 14 Oktober lalu.
Erni juga mengatakan, pihaknya tengah bekerja sama dengan berbagai sektor dari pusat hingga daerah untuk mengimplementasikan hal ini.
Mariana mengatakan bahwa hal ini memperlihatkan bagaimana identitas perempuan direduksi hanya ke dalam dua identitas, yaitu menjadi ibu dan juga istri.
“Konsep keluarga ini masih sangat tradisional. Dalam konsep tersebut, yang disebut ketahanan keluarga yang kuat, ketika anggota keluarga masih utuh tinggal dalam satu rumah. Hal ini jelas tidak mengakomodasi bentuk-bentuk keluarga yang baru seperti ibu tunggal dan ayah tunggal,” ujar Mariana.
Perempuan sebagai alat pembangunan keluarga
Selain KemenPPPA, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) juga gencar mengampanyekan ketahanan keluarga. Dalam mendefinisikan konsep ketahanan keluarga, kedua lembaga pemerintah tersebut merujuk pada Pasal 1 Ayat 11 Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Ketahanan Keluarga, yang menyatakan:
“Ketahanan keluarga adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik material, dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri, mengembangkan diri dan keluarganya untuk mencapai keadaan harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin.”
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, pergeseran peran dalam keluarga, dengan istri yang ikut mencari nafkah, turut menyumbang ketidakharmonisan dalam keluarga yang berujung perceraian. Hal ini akan berakibat buruk pada pembangunan sebuah negara dan kualitas masyarakat yang baik, ujarnya.
Baca juga: Jangan Salah Kaprah: Ketahanan Keluarga Bukan Perlindungan Anak
“Yang laki-laki masih kaget dengan perubahan ini (pergeseran peran). Maka dari itu kesetaraan gender itu sangat perlu untuk membagi peran-peran domestik antara suami dan istri, agar keluarga tetap utuh dan menyejahterakan anak dalam keluarga,” kata Hasto.
Untuk mendukung pembangunan keluarga yang baik, ujarnya, BKKBN pun juga membuat sebuah alat ukur bernama Indeks Pembangunan Keluarga (IPK). Fungsinya juga mirip dengan IKK, namun bedanya IPK didasarkan pada tiga dimensi, yaitu, ketenteraman, kemandirian, dan kebahagiaan.
Hasto menambahkan, IPK ini masih dalam tahap penyusunan, dan masih butuh banyak masukan dari berbagai pihak, karena di masa depan IPK tersebut akan sangat berperan untuk arah kebijakan pembangunan keluarga.
“Kami berkesimpulan, kita perlu menyikapi perubahan demografi keluarga dengan inovasi. Peran perempuan sangat sentral dalam perubahan, perlu diciptakan sistem ketahanan keluarga di era bebas informasi ini,” ujarnya.
Aktivis perempuan Atnike Sigiro, yang juga Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, mengatakan ia mengapresiasi upaya KemenPPPA dan BKKBN dalam meningkatkan kesetaraan gender dalam keluarga. Namun ia mengigatkan bahwa mandat dari KemenPPPA adalah pemberdayaan perempuan, sesuai Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang diratifikasi oleh Indonesia pada 1984.
“Kalau perempuannya hanya ditempatkan pada tujuan pembangunan dan kesejahteraan keluarga, berarti perempuan hanya ditempatkan sebagai alat saja, bukan sebagai subjek penuh dalam kehidupannya. Dan itu tidak memberdayakan perempuan dengan beragam identitas mereka,” kata Atnike.
Mariana dari Komnas Permepuan mengatakan bahwa cara pandang pemerintah sudah usang dan sulit untuk diaplikasikan dalam menciptakan pemberdayaan perempuan.
“Kita mengapresiasi perubahan cara padang BKKBN dalam mengaplikasikan kesetaraan gender dalam kampanye keluarganya, karena mandat mereka memang lingkupnya keluarga. Tetapi mandat KemenPPPA yang paling utama adalah pemberdayaan perempuan dengan beragam identitas mereka, bukan hanya perempuan dalam keluarga,” ujarnya.