Perempuan Jadi Kambing Hitam: Kasus Kematian Brigadir Nurhadi dan Timpangnya Hukum
Penahanan seorang perempuan dalam kasus kematian Brigadir Nurhadi di Gili Trawangan menunjukkan pola lama sistem hukum yang tumpul ke atas tapi tajam ke perempuan dari kalangan bawah.
Brigadir Nurhadi ditemukan tewas di kolam renang sebuah vila di Gili Trawangan, Lombok, pada 16 April 2025. Kepolisian menetapkan tiga tersangka, yakni Kompol I Made Yogi Purusa Utama, Ipda Haris Chandra—keduanya atasan Nurhadi—dan seorang perempuan berinisial M yang diundang ke lokasi oleh Yogi.
Menurut keterangan Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat, yang dilansir Detik, ada dugaan Nurhadi meninggal akibat penganiayaan. Namun, alih-alih dua perwira polisi itu, M justru menjadi tersangka pertama yang ditangkap dan langsung ditahan.
Penahanan M berdampak besar pada keluarganya. Ia adalah tulang punggung ekonomi. Sang adik gagal melanjutkan kuliah, sementara adik bungsunya harus menunda masuk taman kanak-kanak.
“Seolah-olah dia pelaku utamanya,” kata Neni, tante M, kepada Detik. “Padahal yang mengundang ke sana bukan dia.”
Baca Juga : Cuma di Indonesia, Damkar Lebih Dipercaya ketimbang Polisi
Kriminalisasi terhadap perempuan
Menurut Azila, anggota dari Solidaritas Perempuan, kasus ini menambah daftar panjang kriminalisasi terhadap perempuan dari kalangan rentan. Ia menyoroti bagaimana aparat cepat menahan M, sementara dua perwira polisi hanya diperiksa tanpa tekanan yang berarti.
“Padahal dua polisi itu punya potensi untuk menghilangkan barang bukti atau melarikan diri,” ujarnya kepada Magdalene. “M datang hanya karena diundang, dan sekarang dijadikan tersangka tanpa kejelasan motif. Ini menunjukkan ketimpangan kuasa.”
Njilo menduga, sebagaimana dalam kasus-kasus kekerasan dalam institusi sebelumnya, pelaku sebenarnya kemungkinan berasal dari lingkaran yang sama, yakni sesama polisi. Namun, lagi-lagi, yang pertama ditahan justru pihak paling lemah secara sosial dan ekonomi.
Tuani Sondang, Koordinator Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), menilai M dijadikan kambing hitam untuk meredam gejolak publik dan melindungi institusi.
“M sebagai warga sipil langsung ditahan tanpa alat bukti yang jelas,” katanya. “Sementara dua polisi diperlakukan seolah lebih kooperatif.”
Ia menilai penegakan hukum dalam kasus ini tidak menjunjung prinsip kesetaraan di depan hukum (equality before the law). Aparat penegak hukum justru memperlihatkan diskriminasi terhadap perempuan dengan latar belakang ekonomi lemah.
Mengutip penelitian Sarah Apriliandra dari Universitas Padjajaran, yang berjudul “Perilaku Diskriminatif pada Perempuan Akibat Kuatnya Budaya Patriarki di Indonesia Ditinjau dari Perspektif Konflik” Tuani menyebut budaya patriarki masih menjadi akar lima bentuk diskriminasi terhadap perempuan: stereotip, subordinasi, marginalisasi, beban ganda, dan kekerasan. Semua itu tercermin dalam kasus M, yang tak hanya dikriminalisasi, tapi juga dilucuti hak-haknya sebagai warga negara.
“LBH APIK mencatat ada pola kriminalisasi terhadap perempuan yang lemah secara ekonomi dan sosial, yang dijadikan alat untuk meredam konflik, menjaga citra institusi atau melanggengkan relasi kuasa,” ujarnya.
Menurut Tuani, hal ini tercermin dari kasus salah satu guru di NTB, seorang korban kekerasan seksual yang dikriminalisasi.
“Aparat seharusnya mempertimbangkan dampak sosial dari penahanan, apalagi terhadap perempuan yang menjadi tumpuan keluarga,” tambahnya. Ia juga menyoroti kegagalan aparat dalam menerapkan pendekatan keadilan restoratif dan asas proporsionalitas dalam penanganan kasus.
Baca Juga : Menyoal Hukuman Mati di Indonesia: Kerentanan Terpidana Perempuan Terabaikan
Penghakiman oleh media
Tak hanya di ranah hukum, M juga menjadi sasaran penghakiman media. LBH APIK menyoroti pemberitaan yang menampilkan wajah M, menyebarkan latar belakang hidupnya, hingga menyisipkan spekulasi moral dan tudingan penggunaan narkoba. Semua hal ini belum terbukti.
“Media mem-framing M sebagai perempuan ‘menyimpang’, seolah layak dihukum,” kata Tuani. “Tubuh perempuan dijadikan objek moralitas, dijadikan simbol kesalahan.”
Menurutnya, praktik ini memperkuat stigma dan bias gender, sekaligus mengalihkan perhatian publik dari aktor sebenarnya yang punya kuasa struktural. “Ini bentuk objektifikasi dan kontrol sosial terhadap tubuh perempuan,” ujarnya.
Sepakat dengan Tuani, Njilo menilai media terlalu cepat mengambil posisi sebagai hakim moral, tanpa memedulikan dampak psikologis dan sosial terhadap M. “Padahal kasusnya belum jelas. Media seharusnya hati-hati, bukan justru memperpanjang penderitaan.”
Kasus kematian Brigadir Nurhadi bukan yang pertama melibatkan relasi antara atasan dan bawahan di institusi kepolisian. Sayangnya, dalam banyak kasus, penyelidikan mandek atau malah berujung pada pengalihan isu.
Saat ini, motif dan peran masing-masing tersangka masih belum terang. Namun yang sudah tampak adalah bias dalam proses hukum, di mana perempuan dari kalangan rentan menjadi korban pertama dari ketidakjelasan tersebut.
Baca Juga : Pemerkosaan Massal 1998, ini Saatnya Dengarkan Suara Perempuan Tionghoa
Baik LBH APIK maupun Solidaritas Perempuan mendesak kepolisian untuk membuka proses penyelidikan secara transparan dan adil. Media pun diingatkan untuk tak menjadikan perempuan sebagai simbol moral, apalagi saat fakta belum lengkap.
“Jangan sampai, seperti banyak kasus sebelumnya, pelaku sebenarnya justru dibiarkan bebas karena punya kuasa. Sementara mereka yang tak bersalah, terutama perempuan dari kalangan bawah, dihukum karena mudah disalahkan,” tegas Tuani.
















