Kinerja Komnas Perempuan Beri Harapan pada Perjuangan Hak Perempuan
Komnas Perempuan telah mewujudkan diri sebagai tempat berteduh dan bersandar bagi perempuan dan kelompok marginal lain.
Perjuangan perempuan Indonesia untuk bebas dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual, dan meraih kesetaraan masih panjang akibat adanya penolakan dari gerakan moralis populis terhadap Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Namun kehadiran Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terus memberikan harapan.
Saya peneliti Setara Institute dan merupakan bagian dari tim peneliti yang menyusun “Indeks Kinerja Pemajuan HAM periode pemerintahan Jokowi-JK”. Kami melakukan penilaian terhadap kinerja Komnas Perempuan sepanjang lima tahun lalu dan memberi skor di atas rata-rata 4,7. Skor ini berada pada skala 1 sampai 7 – skor 1 berarti buruk dan 7 berarti baik.
Di tengah naiknya konservatisme dalam masyarakat yang mempersempit ruang bagi hak kelompok minoritas, Komnas Perempuan telah mewujudkan diri sebagai tempat berteduh dan bersandar bagi perempuan maupun kelompok di luar heteronormativitas.
Secara umum, mandat Komnas Perempuan mencakup penyebarluasan pemahaman; pengkajian dan penelitian peraturan perundang-undangan; pemantauan dan pencarian fakta; pemberian saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan organisasi masyarakat; serta pengembangan kerja sama regional dan internasional.
Dari mandat tersebut, Komnas Perempuan memiliki keterbatasan dalam memengaruhi pengambilan kebijakan karena institusi ini hanya dapat memberikan rekomendasi yang tidak mengikat bagi pengambil kebijakan. Meski demikian, kami melihat Komnas Perempuan telah menjalankan mandat yang dimiliki secara taktis dan strategis.
SETARA Institute melakukan penilaian dengan menyisir rekam jejak Komnas Perempuan dalam menjalankan mandatnya selama satu periode pertama pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Hal-hal yang menjadi bahan penilaian kami antara lain dokumen dan literatur terkait yang diterbitkan Komnas Perempuan maupun lembaga swadaya masyarakat, serta pemberitaan media.
Data yang terkumpul dibahas dalam forum diskusi terbatas bersama aktivis, akademisi, perwakilan institusi HAM nasional, dan perwakilan pemerintah. Dari kedua proses tersebut tim SETARA Institute menentukan nilai menggunakan skala likert yang mengukur persepsi suatu kondisi.
Baca juga: Bagaimana Tingkatkan Perlindungan Perempuan? Perkuat Peran Komnas Perempuan
Mengampanyekan hak perempuan
Komnas Perempuan telah melakukan kampanye terkait hak bagi perempuan. Ini menjadi bagian kegiatan penyebarluasan informasi terkait pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Beberapa kampanye yang mereka lakukan di antaranya kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Berbasis Gender dan kampanye mencegah kekerasan seksual bagi pengguna transportasi online yang dilaksanakan sepanjang 2014 hingga 2019.
Selain itu, Komnas Perempuan juga mengeluarkan penyataan-pernyataan sikap untuk memberikan pemahaman kepada publik, sekaligus mempertegas sikap Komnas Perempuan terkait suatu isu. Salah satu contohnya adalah pernyataan sikap mengenai penghentian diskriminasi yang dapat memicu kekerasan terhadap LGBT.
Mengadvokasi kebijakan
Lembaga ini melakukan advokasi hak bagi perempuan, memberikan rekomendasi pada pemerintah untuk menyusun dan mengesahkan kerangka hukum dan kebijakan, dengan mendasarkan pada kajian dan penelitian.
Setiap tahun, Komnas Perempuan mengeluarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Kekerasan terhadap Perempuan yang di dalamnya terdapat daftar peraturan yang bermasalah, termasuk peraturan daerah yang diskriminatif. Data peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan kekerasan terhadap perempuan digunakan sebagai pintu masuk untuk melakukan advokasi kebijakan.
Komnas Perempuan juga melakukan pemantauan dan pencarian fakta yang hasilnya berupa laporan pemantauan. CATAHU merekam berbagai narasi dan peristiwa dan tindakan kekerasan disertai konteks kekerasan dari hasil pemantauan Komnas Perempuan serta lembaga mitra di tingkat nasional maupun lokal.
Perspektif perempuan dalam HAM tidak hanya dihadirkan dalam catatan tersebut, namun juga ditunjukkan melalui beberapa laporan HAM tematik seperti Laporan Hasil Pemantauan tentang Perjuangan Perempuan Penghayat Kepercayaan, Penganut Agama Leluhur dan Pelaksana Ritual Adat dalam Menghadapi Pelembagaan Intoleransi, Kekerasan, dan Diskriminasi Berbasis Agama.
Hasil pengkajian dan pemantauan menjadi landasan pemberian rekomendasi kepada pemerintah. Selama lima tahun terakhir, misalnya, Komnas Perempuan bersama aliansi masyarakat yang peduli isu kekerasan seksual terhadap perempuan mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kepada pemerintah.
Pemberian rekomendasi kerangka hukum juga dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang memiliki dampak tidak langsung memantik kekerasan terhadap perempuan. Contohnya adalah dorongan revisi UU No. 1/Penetapan Presiden Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pada 2018 sebagai respons terhadap maraknya intoleransi.
Baca juga: Komnas Perempuan: Laporan Tentang Kekerasan Siber terhadap Perempuan Meningkat
Membangun aliansi
Komnas Perempuan melaksanakan beberapa mandat di atas secara strategis dengan memahami bahwa lembaga ini tidak dapat menjadi aktor tunggal dalam penjaminan hak perempuan. Karena itu, Komnas Perempuan perlu bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan di setiap level, terutama di tingkat nasional.
Komnas Perempuan gencar berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pemerintah sebagai otoritas yang memiliki legitimasi membuat kebijakan publik. Selain itu, Komnas Perempuan memahami bahwa penguatan akar rumput juga diperlukan sehingga institusi ini dapat berjejaring dengan elemen masyarakat sipil dan komunitas korban. Kerja sama yang dilakukan dengan berbagai pemangku kepentingan mencerminkan kesadaran Komnas Perempuan sebagai pihak yang terlibat dan fasilitator.
Komnas Perempuan memiliki posisi yang fleksibel untuk menjalankan strategi di atas. Lembaga ini dapat berdiri di dua kaki, yaitu di kaki pemerintah mengingat pendiriannya didasarkan pada keputusan presiden dan di kaki masyarakat sipil yang berpartisipasi aktif.
Karakter ini tidak terpisahkan dari aspek historis pendirian Komnas Perempuan yang hadir karena tuntutan masyarakat sipil agar negara menjalankan tanggung jawab menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan tersebut muncul ketika pada kerusuhan Mei 1998, banyak perempuan etnis Tionghoa mengalami kekerasan seksual.
Penguatan perjuangan hak perempuan
Kini 15anggota Komnas Perempuan baru sudah mulai menjalankan tugas untuk masa jabatan 2020-2024. Langkah-langkah menghidupkan perempuan dalam ruang publik yang telah dirintis oleh Komnas Perempuan perlu didorong lebih kuat. Pemerintah sebagai subyek hukum yang bertanggung jawab melakukan pemenuhan hak, termasuk bagi perempuan, seharusnya lebih akomodatif terhadap rekomendasi yang diberikan oleh Komnas Perempuan. Salah satu caranya adalah dengan segera mengesahkan RUU PKS.
Di sisi lain, masyarakat sipil yang masih gamang memilih jalur perjuangan pemenuhan HAM, termasuk bagi perempuan, dapat bergabung dengan aliansi yang telah dipertemukan dalam jaringan Komnas Perempuan. Perjuangan penegakan hak merupakan aksi kolektif yang dapat dihidupkan melalui kepercayaan dan partisipasi aktif masyarakat sipil.
Terakhir, Komnas Perempuan yang telah mendapatkan kepercayaan menjadi salah satu kemudi perjuangan ini – secara kelembagaan maupun individu yang di dalamnya – harus semakin bernas melakukan advokasi.
Akomodasi berbagai identitas di dalam tubuh Komnas Perempuan, termasuk pada anggota komisi, dapat menjadi langkah baik untuk menjangkau lebih luas berbagai persoalan yang dihadapi oleh perempuan, yang juga dating dari berbagai identitas dan latar belakang.
Aisha Amelia Yasmin berkontribusi pada penerbitan artikel ini.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.