December 17, 2025
Environment Issues Politics & Society

Kisah Perempuan yang Selamat dari Bencana: Jalan Kaki Puluhan KM, Kelaparan, Melihat Banyak Jenazah

Perempuan jadi kelompok paling rentan saat terjadi bencana ekologis di Sumatera. Bagaimana mereka akhirnya bisa bertahan hidup dan selamat?

  • December 3, 2025
  • 7 min read
  • 2000 Views
Kisah Perempuan yang Selamat dari Bencana: Jalan Kaki Puluhan KM, Kelaparan, Melihat Banyak Jenazah

Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak (24/11), berubah jadi salah satu bencana ekologis paling mematikan dalam beberapa tahun terakhir. Jalan-jalan nasional terputus, jembatan runtuh, desa-desa terendam, dan ribuan warga terisolasi hingga berhari-hari tanpa bantuan. Pemadaman listrik dan putusnya jaringan komunikasi membuat informasi sulit beredar dan warga tidak mengetahui arah evakuasi. 

Dalam situasi kacau itu, perempuan, anak, lansia, orang dengan disabilitas, serta ibu hamil dan menyusui menanggung beban relatif berat. Banyak fasilitas pengungsian tidak memiliki sanitasi yang layak, air bersih, atau kebutuhan dasar seperti pembalut dan popok. 

Kisah Marini, Dara Sembiring, Felmi Yetti, dan Riswati menggambarkan kondisi ekologis dan sosial yang memburuk di tiga provinsi, sekaligus memperlihatkan betapa bencana ini membutuhkan penanganan berskala nasional. 

Baca juga: Bantuan ‘Antek Asing’, Penjarahan, hingga Pejabat Performatif: 8 Fakta Penting Banjir Sumatera

Marini: Terjebak Empat Hari di Parit Rimo Tanpa Instruksi Evakuasi 

Marini, 44, staf lapang Perkumpulan Sada Ahmo (Pesada), tiba di Dusun Parit Rimo, Kecamatan Padang Tualang, Langkat, pada (25/11) untuk kegiatan sosialisasi. Saat itu tidak ada tanda-tanda banjir besar akan datang. Namun malam berlanjut dengan hujan rintik yang tak berhenti, dan pada Kamis Subuh, situasi berubah dramatis. 

“Air sudah mulai naik sebetis ke dalam rumah,” ujar Marini dalam konferensi pers daring, (29/11). 

Ia menginap di rumah salah satu warga karena cuaca buruk dan rencana kegiatan ke sekolah esok hari. Warga memperkirakan banjir mungkin hanya akan mencapai sepinggang, seperti pengalaman sebelumnya. 

Namun siang hari, rumah-rumah di sekitar mulai tergenang. Air merangsek masuk lebih cepat dari yang diperkirakan. Marini mencari informasi mengenai dapur umum dan evakuasi. 

“Jam satu saya sudah mulai bertanya dan mendatangi kantor desa, kosong tak ada siapa pun. Saya menghubungi perangkat desa enggak aktif nomor di sana, warga juga bingung mau kemana,” tuturnya. 

Sebagian warga mengira kampung mereka merupakan titik tertinggi, sehingga awalnya enggan keluar. Namun ketika air mulai mencapai jalan besar yang selama ini dianggap paling aman, kebingungan makin menjadi. 

“Mereka tidak tahu, karena mereka bilang kampung ini yang paling tinggi,” katanya. 

Menjelang sore, Marini dan warga lain memilih menuju rumah bertingkat untuk mencari perlindungan. “Saat mau menuju rumah itu juga air sudah hampir sedada saya,” tuturnya. 

Di rumah lantai dua itu, sekitar 45 orang berkumpul—orang tua, ibu hamil, dan anak-anak—menunggu apakah bantuan akan datang. 

Malam itu mereka melewatinya tanpa kepastian. Listrik padam. Tidak ada petugas yang datang untuk memberikan arahan. “Baik itu dari ada Koramil yang lewat, malah menyuruh kami bertahan, sedangkan dari sisi logistik juga kami tidak mendapatkan bantuan,” ujar Marini. 

Ketika air bersih habis dan evakuasi tidak kunjung tiba, keluarga tempat Marini mengungsi memutuskan mencari jalan keluar menuju Stabat. Ia mengikuti rombongan itu karena tidak mungkin berjalan sendirian. Mereka menerobos banjir menggunakan sampan dan berjalan di genangan setinggi leher hingga mencapai jalur tol sebelum akhirnya selamat. 

Baca juga: ‘Update’ Banjir Sumut: Warga Bantu Warga Saat Negara Tak Ada

Dara Sembiring: Tidur di Truk dan Jalan Kaki 23 Kilometer Keluar dari Longsor 

Berbeda dengan Marini yang terjebak dalam genangan banjir, Dara Sembiring, 28, staf lapangan Pesada wilayah Tapanuli Tengah dan Sibolga, menghadapi longsor yang menutup seluruh akses. 

Ia berangkat dari Sibolga Julu pada (25/11) untuk mendampingi korban ke Polres Tarutung. Namun sekitar pukul 08.30, saat tiba di Bonan Dolok, jalan yang ia lintasi tiba-tiba tidak dapat dilewati. Longsor menutup jalur. Ketika mencoba kembali ke Sibolga, jalan yang baru ia lewati telah amblas ke jurang. Tidak ada pilihan selain mencari lokasi aman. 

Dara dan sopir SITRA akhirnya menemukan sebuah warung di dataran lebih tinggi di Desa Simaninggir, Tapanuli Selatan. Di sanalah mereka bertahan selama dua hari dua malam. “Semakin hari warung yang kami tempati semakin ramai karena tetangga yang rumahnya tidak aman mengungsi ke lokasi kami menumpang,” ujar Dara. 

Warung itu dipenuhi perempuan, anak-anak, dan lansia. Saat malam tiba dan warung semakin penuh, sebagian warga tidur di bak truk kosong yang terparkir. “Bahkan ada anak yang rewel pada malam hari karena tidak biasa tidur di truk dan tidak ada lampu,” katanya. 

Setiap hari, kabar buruk datang silih berganti. Dara mendengar cerita keluarga yang tertimbun longsor di Bonan Dolok, termasuk seorang ibu dan tiga anaknya. Kondisi jalan yang terus memburuk, ditambah persediaan makanan yang menipis, membuat Dara dan sopirnya memutuskan keluar dari wilayah terisolasi itu pada (27/11). 

Ia berjalan kaki dari Puncak GM Panggabean menuju Tarutung, menempuh jarak sekitar 23 kilometer. Perjalanan itu melintasi hutan, ladang, tebing rawan longsor, jalan yang menganga akibat amblas, hingga sungai bekas banjir bandang. 

“Semenjak aku jalan kaki, aku melewati banyak titik longsor, rumah yang terbawa aliran sungai, tebing bukit menimbun rumah-rumah warga, ladang dan sawah tertimbun banjir, dan ternak juga terbawa,” ujarnya. 

Dalam perjalanan, ia juga melihat mobil angkutan tertimbun longsor dan jenazah yang belum dapat dievakuasi karena warga tidak memiliki alat berat. “Warga hanya bisa menunggu bantuan,” kata Dara. 

Setelah berjam-jam berjalan, Dara tiba di Desa Sibalanga, di mana jalan telah dibuka dan kendaraan bisa lewat. Ia menumpang mobil angkutan SITRA menuju Tarutung. Kakinya dipenuhi luka dari duri dan goresan, namun kini sudah membaik. 

Baca juga: Bencana Ekologis Sumatera, Mungkinkah Korban Gugat Perusahaan dan Pejabat?

Felmi Yetti: Menyaksikan Longsor Menghantam Jalur Padang–Bukittinggi 

Felmi Yetti dari Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) menceritakan pengalamannya ketika banjir bandang mulai membawa gelondongan kayu dan tanah dari arah bukit di tempat tinggalnya. 

Ia sedang melakukan perjalanan dari Padang menuju Bukittinggi pada (24/11) ketika jalan tiba-tiba berhenti total. Banyak pohon tumbang dan warga menunggu Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) membuka akses. Tanpa peringatan, longsor besar terjadi dari atas bukit. 

“Banyak korban terbawa dan hanyut di situ, termasuk warga lokal,” ujarnya. 

LP2M menghimpun laporan mengenai kondisi Sumatera Barat yang semakin memburuk. Berdasarkan pemantauan mereka, lebih dari 69 ribu warga mengungsi, 193 orang meninggal, 119 orang belum ditemukan, dan 121 jembatan rusak, per (1/2).  Hampir seluruh kabupaten terdampak banjir, dan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai satu triliun rupiah. 

Situasi ini diperburuk oleh kerusakan lahan pertanian yang mencapai 600 hektare, membuat banyak petani kehilangan sumber pendapatan. 

Baca juga: ‘Tiga Hari Tak Ada Kabar dari Anak Saya’: Kisah Korban Banjir Sumatera

Riswati: Aceh Lumpuh, Banyak Wilayah Tak Bisa Diakses 

Di Aceh, banjir turut melumpuhkan infrastruktur dan jaringan komunikasi. Riswati, 46, Direktur Eksekutif Flower Aceh, mengungkapkan kekhawatirannya ketika anggotanya di Aceh Tamiang tak dapat dihubungi selama beberapa hari. 

“Banyak wilayah tak bisa diakses, infrastruktur lumpuh,” ujarnya. 

Per (1/12), tercatat 18 dari 23 kabupaten terdampak. Lebih dari 500 ribu orang terkena dampaknya, 102 meninggal dunia, dan 116 masih hilang. Banyak warga bertahan tanpa air bersih, tanpa listrik selama dua hari berturut-turut, dan tanpa akses bantuan. 

Menurut Riswati, skala bencana ini menggambarkan kegentingan yang seharusnya mendorong pemerintah menetapkan status darurat bencana nasional. “Dampaknya sangat masif, akses terputus hingga tingkat desa. Kebutuhan mendesak seperti obat, air bersih, dan penanganan diare sangat mendesak,” katanya. 

Organisasi Riswati sendiri tergabung dalam Konsorsium Perempuan Sumatera Mampu (Permampu). Anggotanya terdiri dari Flower Aceh, Perkumpulan Sada Ahmo (Pesada) Sumatera Utara, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) Sumatera Barat, serta Institut KAPAL Perempuan. 

Mereka serempak mendesak agar pemerintah menetapkan status bencana nasional di Sumatera. Mereka menilai respons yang lambat, informasi ancaman yang tidak jelas, dan absennya petunjuk evakuasi membuat banyak warga terjebak tanpa kepastian. 

Perwakilan Permampu, Dina Lumbantobing dalam konferensi pers yang sama, menilai warga dibiarkan menghadapi banjir dan longsor tanpa informasi tentang ancaman siklon tropis, jalur evakuasi, dan lokasi pengungsian. 

Senada, Ulfa Kasim dari Institut KAPAL Perempuan menekankan pentingnya penanganan berbasis inklusi yang melibatkan organisasi perempuan yang sejak awal bekerja mendampingi warga. Ia menilai banyak perempuan, lansia, anak, dan orang dengan disabilitas tidak terdata dalam pendistribusian bantuan. 

Dalam kesempatan terseut, koalisi menyoroti bagaimana perempuan mengalami beban berlapis. Mulai dari kehilangan sumber pendapatan karena banjir merusak mata pencaharian, sementara tanggung jawab mengurus anak dan orang tua meningkat. Di beberapa lokasi pengungsian, kebutuhan dasar perempuan, seperti pembalut, popok, dan ruang aman pun tidak tersedia memadai. 

Menurut koalisi, organisasi-organisasi perempuan di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat menjadi garda terdepan dalam mengevakuasi warga, mengelola dapur umum, dan mengumpulkan data penyintas. Namun semua itu tidak bisa menggantikan kewajiban negara untuk memastikan keselamatan dan pemulihan warga. 

“Koalisi meminta publik dan media terus mengawasi penanganan bencana agar tidak ada penyintas yang tertinggal, terutama mereka yang selama ini paling terdampak namun paling sedikit dilibatkan dalam pengambilan keputusan,” tandas mereka. 

About Author

Ahmad Khudori and Purnama Ayu Rizky