Cerita Perempuan Relawan Bencana Aceh: Melihat Derita yang Tak Masuk Layar
Khalida Zia, 31 tengah berada di Banda Aceh kala menerima kabar mengejutkan, (26/11) Subuh. Dari seberang telepon, keluarganya di Bireuen cerita, kampung halamannya habis disapu air bah. Air mula-mula merembes masuk rumah, lalu naik cepat hingga setengah bangunan terendam. Rumah-rumah tetangga bahkan hanya menyisakan atap.
“Saya seperti tidak percaya. Bireuen hampir tidak pernah banjir, tapi kali itu gampong (kampung) saya benar-benar tenggelam,” ujar Zia.
Belum sempat ia memahami situasi, komunikasi dengan keluarga terputus total. Tower Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) Arun–Bireuen tumbang, membuat hampir seluruh Aceh gelap gulita tanpa listrik. Selama tiga hari, Zia hidup dalam sunyi. Tak ada sinyal, tak ada kabar, hanya kecemasan akan nasib keluarga yang terus membesar.
Tak ingin tenggelam dalam kepanikan, Zia memilih bergerak. Ia membuat selebaran elektronik untuk galang donasi melalui rekening pribadinya. Dalam hitungan jam, sumbangan menembus Rp50 juta. Ia lantas menghubungi kawan-kawan yang menghadapi kecemasan serupa. Salah satunya Arifa Safura, 32.
Arifa, muralis sekaligus pendiri Forum Perempuan Berbicara, juga kehilangan kontak dengan keluarganya di Meureudu, Pidie Jaya, selama dua hari. Kabar terakhir yang ia terima, air sudah menenggelamkan separuh rumah. Ketidakpastian itu membuatnya gelisah.
“Mungkin terdengar konyol karena sangat berisiko, tapi saya benar-benar tidak tahan menunggu tanpa tahu kabar mereka. Setelah nenek dan adik saya tiba di Banda Aceh, saya langsung memutuskan pulang menjemput ibu dan kakak saya,” tuturnya.
Tak disangka, langkah spontan untuk menyelamatkan keluarga itu akan menyeret mereka ke pengalaman yang jauh lebih besar: Menghadapi bencana kemanusiaan yang tak tertangkap kamera, melihat langsung keterlambatan respons negara, dan memikul trauma sekunder yang membekas di banyak perempuan relawan.

Baca juga: Bencana Sumatera Bukan Panggung Hiburan, Setop jadi ‘Performative Government’
Yang Terjadi Lebih Buruk dan Mencekam daripada Medsos
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letnan Jenderal Suharyanto, sempat bilang, banjir besar di Sumatera tidak semencekam seperti yang digambarkan di media sosial. Namun di lapangan, para relawan menemukan embatan-jembatan rusak total, jalan terendam, sebagian lainnya tertutup lumpur tebal. Dengan kondisi itu, mereka hanya mampu menjangkau dua wilayah terdekat: Pidie Jaya dan Bireuen.
Ketika jalur menuju Lhokseumawe dan daerah lain benar-benar terputus, mereka sadar bantuan tidak bisa berhenti hanya karena batas wilayah. Dari pos-pos darurat seadanya, mereka mencoba menghubungi relawan di Langsa, Aceh Tamiang, hingga Aceh Tengah, mengirimkan daftar kebutuhan, dan mengatur distribusi logistik dari kejauhan. Meski begitu, ada titik-titik yang tidak bisa ditembus hanya dengan koordinasi jarak jauh. Di sana, mereka harus turun langsung menghadapi medan yang porak-poranda.
Salah satu upaya tersulit terjadi ketika Zia dan Arifa menyalurkan 90 sak beras dan air mineral ke Kecamatan Peusangan Siblah Kreung, Kabupaten Bireuen. Akses utama jembatan musnah, menyisakan bongkahan kayu yang membentuk dinding penghalang antara relawan dan warga.
Tiga kepala gampong (kampung) sebelumnya menjanjikan perahu karet setelah melobi bupati. Barang diminta ditahan satu malam agar tidak dibawa ke tempat lain. Namun ketika rombongan tiba, perahu karetnya bocor. Para relawan pun harus mencari cara lain.
“Dua hari (sebelum ke lokasi) orang-orang tempat itu sudah bilang mereka kelaparan. Mereka belum dapat bantuan apa-apa,” tutur Zia.
Dengan tali yang dirakit bersama warga, mereka menarik dan mengangkat satu per satu karung beras melintasi kubangan lumpur dan puing jembatan. Sesampainya di titik aman, perjalanan belum selesai. Logistik masih harus dipikul satu jam menuju 21 gampong yang terisolasi.
Sementara itu Arifa menyaksikan kenyataan lebih kelam. Di hadapannya, kerusakan bukan hanya bangunan, tetapi tubuh manusia yang perlahan menyerah.
“Ada yang sampai menampung air hujan untuk diberikan ke bayi supaya bisa bertahan, ada juga lansia meninggal dunia karena kelaparan,” ujarnya.

Karena itu ketika bantuan tiba, yang terdengar bukan sorak lega, melainkan isak tangis. Ibu-ibu dan bapak-bapak memeluk karung beras dan botol air seolah memeluk nyawa terakhir yang mereka punya. Sayangnya bantuan itu hanya cukup untuk satu atau dua kali makan. Setelah itu, kelaparan kembali mengintai.
Di beberapa titik, warga mengeluhkan demam, pusing, sesak napas, dan kelelahan yang tidak ada habisnya. Kondisi pengungsian yang buruk memicu depresi kolektif. Emosi meledak, pertengkaran muncul dari hal-hal kecil, dan rasa putus asa menempel di tubuh yang lelah.
Situasi lebih buruk terjadi di wilayah yang sama sekali tak terjangkau. Zia yang menerima panggilan dan pesan permintaan tolong dari daerah terisolasi mengatakan persediaan beras telah benar-benar habis. Yang tersisa hanya mi instan, itu pun makin langka. Mengirim uang tidak ada gunanya jika bahan pangan hilang terseret arus atau terjebak di antara lumpur banjir bandang.
Penderitaan tidak berhenti di lapar. Di Aceh Tengah, salah satu wilayah paling terdampak dan terisolasi, kematian hadir di depan mata. Mayat-mayat tak teridentifikasi ditemukan di berbagai titik, memperdalam luka batin penyintas.
“Teman-teman di sana benar-benar trauma,” ujar Zia. “Bukan hanya karena kelaparan, tapi karena harus berhadapan langsung dengan kematian setiap hari.”
Tak heran banyak warga akhirnya memilih bertaruh nyawa. Mereka menembus medan curam dan rusak, berjalan beratus-ratus meter dari Aceh Tengah menuju Banda Aceh, hanya demi mencari keluarga dan sekadar bisa makan serta minum.
“Ada yang sampai menampung air hujan untuk diberikan ke bayi supaya bisa bertahan, ada juga lansia meninggal dunia karena kelaparan,” ujarnya.

Baca juga: Banjir Sumatera adalah Pengingat untuk Bertobat (Ekologis)
Déjà vu Kolektif: Rasanya Seperti Masa Konflik
Kekacauan demi kekacauan ini memunculkan perasaan yang ganjil di kalangan relawan. Alih-alih menyerupai situasi darurat seperti tsunami, suasana di Aceh justru mengingatkan pada masa konflik. Ketidakjelasan informasi, minimnya kehadiran negara, dan warga yang bertahan dengan sumber daya seadanya menimbulkan sensasi déjà vu. Keadaan seolah mundur puluhan tahun ke belakang.
Arfina mengaku ingatan masa kecilnya kembali terbuka lebar. “Mati lampu, lumpur di mana-mana, orang tidur di pinggir jalan dalam kondisi lapar dan lemas. Semua ini bikin saya ingat kembali ke masa konflik,” ujarnya.
Ia mengenang bagaimana dulu keluarganya justru menampung kerabat yang terpaksa mengungsi akibat banyaknya korban jiwa berjatuhan ditembak aparat, meski rumah mereka sendiri sudah dikepung lumpur dan air. Neneknya berusaha menjaga ketenangan anak-anak di tengah bunyi tembakan yang menjadi latar malam. Makanan menjadi perkara besar. Penerangan nyaris tak ada. Aceh benar-benar terputus, seperti ruang yang dilupakan dunia.
Bedanya, saat konflik mereka masih bisa menanam sayur untuk bertahan hidup meski selalu dihantui rasa takut. Kini, ancamannya bukan peluru, tapi kelaparan dan keterasingan.
Ia juga menyebut bagaimana kondisi psikologis warga kembali rapuh. Pada masa konflik, setiap pagi suara toa masjid kerap mengabarkan kematian. Pola yang sama ia rasakan kini, ketika toa masjid rutin menyiarkan kabar duka.
Kelangkaan kebutuhan pokok juga kini tidak hanya dirasakan di wilayah terdampak, tetapi juga menjalar hingga Banda Aceh. Bahan bakar, bahan pangan, popok bayi, hingga lilin perlahan menghilang dari pasar dan rak-rak toko. Situasi ini, menurut Zia, menjadi alarm dampak bencana jauh lebih luas dari yang terlihat di permukaan.
Meski Banda Aceh tidak mengalami kerusakan fisik separah daerah lain, tekanan hidup yang tiba-tiba melonjak justru membangkitkan ingatan kolektif tentang masa konflik ketika segalanya serba terbatas dan tidak pasti. Setiap kali listrik padam, gelap kembali menjadi sesuatu yang menakutkan, sebagaimana yang pernah mereka alami saat status darurat sipil masih diberlakukan.
“Orang-orang sekarang jadi gelisah, seperti hidup dalam putaran trauma yang lama,” ujar Zia. “Sama seperti dulu tidak bisa beli makanan karena tidak ada yang jual, beras habis, mau keluar rumah tidak ada bensin, dan pada akhirnya uang jadi tidak ada gunanya.”

Baca juga: Bencana Ekologis Sumatera, Mungkinkah Korban Gugat Perusahaan dan Pejabat?
Hingga (29/11), Presiden Prabowo belum menetapkan status darurat nasional atas bencana yang melanda Sumatera. Bagi Multia, yang juga merupakan peneliti di Pusat Studi Asia Tenggara Universitas Kyoto (CSEAS), ketiadaan langkah itu berisiko menyeret Aceh ke dalam krisis yang jauh lebih panjang daripada sekadar kerusakan infrastruktur atau rumah warga yang hancur. Ia melihat dampak bencana ini merambat ke tubuh dan batin manusia dari meningkatnya penyakit akibat kondisi pengungsian yang buruk, hingga tekanan mental yang terus menumpuk karena ketidakpastian hidup.
Menurutnya, persoalan yang paling mengkhawatirkan justru akan muncul setelah banjir bandang berlalu dari pemberitaan. Ketika lumpur mulai mengering, warga akan berhadapan dengan kenyataan yang lebih pahit, yakni hilangnya sumber penghidupan. Lahan pertanian yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi keluarga kini berubah menjadi tanah mati, tertutup pasir dan tidak lagi bisa ditanami. Bersamaan dengan itu, lapangan kerja lenyap dalam sekejap, dan ancaman pengangguran melonjak menjadi keniscayaan, terutama bagi mereka yang sejak awal hidup dalam kerentanan.
Bagi Multia, kondisi yang terlihat saat ini hanyalah bagian awal dari kerugian yang akan terus membesar jika negara tidak segera bertindak. “Yang kita lihat sekarang ini baru permukaannya saja,” katanya. “Masih banyak dampak lain yang belum muncul ke permukaan.”
Ia mengingatkan bahwa waktu terus berjalan dan penanganan yang lambat hanya akan memperpanjang penderitaan warga. Pemerintah, menurutnya, tidak punya ruang untuk menunda, karena setiap hari yang terbuang akan dibayar mahal oleh masyarakat dalam jangka panjang.
















