December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

Kita Adalah Affan: Potret Buram Kekerasan Negara dan Ekonomi yang Menjerat

Affan Kurniawan bukan sekadar korban polisi. Ia adalah potret pekerja muda yang dipaksa berjibaku di jalanan, sekaligus pengingat bahwa siapa pun bisa jadi korban negara.

  • September 2, 2025
  • 4 min read
  • 2222 Views
Kita Adalah Affan: Potret Buram Kekerasan Negara dan Ekonomi yang Menjerat

Malam Kamis (28/8) di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, menjadi saksi peristiwa yang mengguncang. Sebuah kendaraan taktis Brimob melaju kencang di tengah kepanikan massa, menabrak seorang pengemudi ojek online, berhenti sejenak, lalu melindas tubuhnya sebelum kembali melaju. Pengemudi itu adalah Affan Kurniawan, 21 tahun. Ia sempat dibawa ke rumah sakit, tetapi luka parah membuat nyawanya tak tertolong.

Affan bukan bagian dari demonstran malam itu. Ia sedang bekerja, mengantarkan pesanan pelanggan di tengah situasi kacau. Namun hidupnya berakhir sebagai korban kekerasan polisi, di hadapan publik dan kamera.

Kisah Affan menyingkap realitas yang lebih luas: ia bukan sekadar nama dalam berita duka, melainkan cerminan kondisi kita semua. Ia adalah potret pekerja keras dengan upah rendah, penanggung hidup keluarga, dan warga biasa yang sewaktu-waktu bisa jadi korban negara.

Baca Juga: Ribuan Massa Demo di DPR Tuntut Penarikan Tunjangan Anggota DPR

Pekerja keras dengan upah tak seberapa

Pada malam penuh ketegangan itu, Affan sedang mengantarkan pesanan pelanggan. Walaupun ia tahu kondisi sedang kacau, ia tetap narik supaya dapur di rumahnya terus ngebul, dan adiknya bisa lanjut sekolah. Seperti banyak pekerja lain, ia tidak punya kemewahan untuk “istirahat” atau menunggu kondisi tenang.

Sistem ekonomi hari ini membuat banyak orang harus bekerja tanpa henti. Media Good Stats mencatat rata-rata pekerja Indonesia bekerja 41–42 jam per minggu, lebih tinggi dari ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan, yakni 40 jam per minggu. Untuk pengemudi ojol, tekanannya lebih ekstrem. Tempo melaporkan rata-rata mereka bekerja 55 jam per minggu dengan penghasilan hanya Rp2,84 juta per bulan.

Jika dibandingkan dengan standar hidup layak di Jakarta yang menurut Kompas mencapai lebih dari Rp6 juta per bulan, terlihat betapa mustahilnya bertahan. Jurang ini memaksa pekerja muda seperti Affan berjibaku di jalanan dari pagi hingga malam. Kematian Affan tidak bisa dilepaskan dari realitas tersebut. Ia memang dilindas barracuda Brimob, tetapi sistem yang menjeratnya di jalanan malam itu ikut mengambil nyawanya.

Baca Juga: Masihkah DPR Mewakili Kita? 

Penopang hidup keluarga

Affan juga adalah tumpuan keluarganya. Ayahnya bekerja serabutan, ibunya ibu rumah tangga, kakaknya sesama pengemudi ojol, dan adiknya masih di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Seperti banyak anak muda lain, ia bukan hanya mencari nafkah untuk dirinya sendiri, tetapi juga menopang keluarga. Bahkan, seperti yang ditulis Magdalene, ia sedang menabung untuk memberangkatkan orang tuanya ke tanah suci.

Malam itu, keluarganya menunggu Affan pulang. Tetapi yang kembali adalah kabar kematiannya. Hilangnya Affan berarti hilang satu sumber penghidupan utama. Seharusnya negara hadir lebih dulu untuk menjamin kebutuhan dasar mereka, sesuai amanat Pasal 34 UUD 1945 yang memerintahkan negara untuk menjamin hidup masyarakat yang miskin dan lemah. Namun yang terjadi, negara baru bergerak setelah korban jatuh. Presiden Prabowo Subianto memberikan rumah, Gubernur Jakarta Pramono Anung menjanjikan bantuan, Ketua DPR Puan Maharani akan menghadiahi sepeda motor. Semua itu mungkin membantu, tetapi datang terlambat.

Tragedi ini menunjukkan betapa beban ekonomi yang seharusnya ditanggung negara, justru dipikul anak muda seperti Affan. Ia menanggung lebih dari yang seharusnya, hingga akhirnya nyawanya direnggut di jalanan.

Baca Juga: Protes ‘Driver Online’: Bersuara di Tengah Kemitraan Semu dan Pembungkaman

Mengapa kita harus tetap marah

Kasus Affan juga menguak pola lama: kekerasan aparat yang terus berulang. Pelindasan ini terjadi di tengah keramaian, di hadapan kamera, seolah tanpa rasa takut atau malu. Pesan yang tersampaikan jelas: aparat merasa kebal, bahkan ketika tindakan mereka disaksikan publik.

Kita pernah melihat pola serupa. Dari mahasiswa yang tewas di Kendari pada 2019, penembakan di Papua, hingga berbagai kasus kekerasan lain. Semua menunjukkan kecenderungan aparat menggunakan kekuatan berlebihan terhadap warga sipil. Affan menjadi korban terbaru dalam daftar panjang itu.

Tidak heran jika kematiannya memicu amarah publik. Aksi yang semula hanya dijadwalkan Kamis (28/8), meluas hingga Jumat (29/8). Di media sosial, tagar #ResetIndonesia bergema. Banyak orang yang sebelumnya diam, kini ikut bersuara. Duka Affan menjelma menjadi duka kolektif, yang menyatukan rasa marah, takut, dan frustrasi.

Namun, jangan sampai kemarahan kita terhenti. Kasus Affan seharusnya menjadi titik balik, dan kemarahan publik jangan berhenti pada satu tragedi. Kita perlu mendesak perubahan nyata: reformasi aparat keamanan agar akuntabel, mekanisme pengawasan yang transparan, dan penegakan hukum yang benar-benar menghukum pelaku kekerasan. Tanpa itu, aparat akan terus merasa kebal hukum.

Lebih dari itu, sistem ekonomi yang timpang harus dibenahi. Tidak boleh ada lagi anak muda yang terpaksa bekerja belasan jam sehari dengan penghasilan yang tak mencukupi kebutuhan dasar. Negara perlu memastikan standar upah layak, perlindungan sosial, dan jaring pengaman bagi pekerja informal.

Kematian Affan adalah peringatan bahwa kegagalan sistemik berdampak langsung pada hidup orang muda. Selama aparat tidak dibatasi kekuasaannya dan ekonomi terus menindas, siapa pun bisa bernasib sama.

Mari kita terus marah sampai negara benar-benar berbenah. Karena selama itu belum terjadi, saya, kamu, kita—semua bisa jadi Affan berikutnya.

About Author

Muhammad Rifaldy Zelan

Muhammad Rifaldy Zelan adalah penyuka makanan pedas tapi gak suka berkeringat. Ia juga suka duduk-duduk di taman dengan pikiran kosong.