Kita Semua Harus Pernah Merasakan Hidup Sebagai Minoritas
Hidup sebagai perempuan Muslim asal Indonesia di Amerika membuat saya paham privilese saya sebagai bagian dari kelompok mayoritas di negara sendiri.
Meskipun menjadi seorang perempuan Muslim dari suku Sunda tidak sama dengan menjadi seorang laki-laki Jawa Muslim di Indonesia, keduanya memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut datang dalam berbagai bentuk, dari bagaimana saya tidak perlu merasa khawatir ketika saya bersekolah di sekolah negeri, bagaimana saya dapat mempraktikkan agama saya dengan tenteram, atau bagaimana saya bisa mencalonkan diri untuk sebuah jabatan publik di masa depan. Saya adalah bagian dari mayoritas, dan, sejujurnya, saya tidak menghargai hak istimewa tersebut.
Namun, beberapa tahun lalu, saya dipaksa untuk menghadapi kenyataan bahwa dalam hierarki sosial Amerika Serikat, perempuan Muslim asal Indonesia ada beberapa tingkat di bawah laki-laki kulit putih asal Amerika. Sekarang saya mulai khawatir bagaimana saya dapat beradaptasi di universitas tempat saya studi S2, di mana saya dapat merayakan Idul Fitri tahun depan, dan apakah visa mahasiswa saya dapat sewaktu-waktu dicabut. Saya bagian dari minoritas sekarang, dan rasanya tidak nyaman.
Perubahan paling besar dimulai di ruang kelas. Saya terbiasa duduk dengan 50 mahasiswa Ilmu Kebijakan Publik yang kritis, sehingga saya mulai menyadari arti identitas saya, sesuatu yang tidak perlu saya upayakan di tanah air karena semua orang berpenampilan seperti saya dan memeluk agama yang sama. Hidup di AS telah membangunkan saya dari “mati rasa identitas” yang saya alami selama seperempat abad dan membuat saya menyadari bahwa meskipun saya bukan satu-satunya mahasiswa internasional, saya merupakan satu-satunya perempuan Muslim asal Indonesia di kelompok saya.
Pada awalnya, perbedaan ini cukup menyegarkan. Tapi hal tersebut tidak bertahan lama.
Baca juga: Jangan Panggil Kami Minoritas
Sekarang, setiap kali saya mengacungkan tangan untuk membagikan perspektif saya dalam sebuah diskusi, saya merasa bahwa ada beban tersendiri untuk mewakili negara saya. Suatu waktu, seorang profesor meminta “perspektif Indonesia” tentang sebuah kasus etik, dan saya harus menjelaskan bahwa “perspektif Indonesia” bukanlah sebuah perspektif yang dapat digeneralisasikan. Ada lebih dari 250 juta orang di Indonesia, berbicara lebih dari 300 bahasa dan mempraktikkan lebih dari lima agama.
Berbagi perspektif kemudian mengharuskan saya untuk menjelaskan latar belakang kontekstual: penjelasan tentang budaya tempat saya dibesarkan, atau klarifikasi tentang bagaimana pendapat liberal saya mungkin berbeda dari pendapat mayoritas orang Indonesia – juga fakta bahwa saya tidak selalu mewakili mereka.
Menjadi seorang minoritas berarti menjadi seseorang yang berbeda. Menjadi seorang minoritas, ternyata, menempatkan identitas saya sebagai sebuah sorotan di hampir semua aspek kehidupan saya, dan selalu melekat bahkan untuk setiap pertanyaan dan argumen akademis yang saya tawarkan. Sekarang teman-teman sekelas saya akan langsung memikirkan saya setiap kali mereka melihat sesuatu – artikel berita, acara, pembicara, buku, film – yang berhubungan dengan Indonesia. Atribut pribadi saya kemudian luruh, dan sebagian besar orang yang saya kenal hanya mengenal saya sebagai “gadis Indonesia berambut pendek.”
Di luar kelas, saya sering kali disangka orang Cina (mungkin karena wajah saya terlihat oriental), yang membuat saya menyadari bahwa negara saya tidak banyak dikenal oleh orang sekitar saya. Saya kemudian menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara dengan populasi terbanyak keempat setelah AS dan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan di Asia Tenggara. Mereka tampak kaget karena tidak pernah mendengar apa pun tentang Indonesia.
Saya baru bisa sepenuhnya memahami tantangan menjadi seorang minoritas setelah saya juga telah mengalaminya.
Hanya beberapa hari sebelum Pemilihan Umum di AS saya disuruh “pulang” oleh seorang laki-laki kulit putih asal Amerika di jalanan. Alih-alih menjawabnya, saya kemudian berjalan lebih cepat karena saya merasa takut pada saat itu. Meskipun saya terlihat berbeda dari mayoritas orang Amerika, saya percaya bahwa saya telah mengerahkan segalanya untuk dapat belajar di AS, dan identitas saya seharusnya hanya perlu dibahas ketika hal tersebut relevan dengan situasi yang ada.
Tetapi ketika saya mengakses media daring Indonesia, saya menyadari bahwa orang Indonesia belum memperlakukan minoritas dengan baik. Bulan lalu, sebuah acara ritual agama Kristen disela oleh kelompok Islam karena dianggap menggunakan “fasilitas umum” di Bandung. Di Bogor, izin untuk gereja baru masih belum diberikan dan jemaat harus beribadah secara diam-diam selama bertahun-tahun. Di Papua, pelanggaran hak asasi manusia masih terus berlanjut. Di Jakarta, gubernur Jakarta yang beragama Kristen dan beretnis Tionghoa, Basuki Tjahaja Purnama, dipenjara karena menghadapi tuduhan penistaan karena melontarkan komentar tentang bagaimana politisi telah menggunakan ayat Alquran demi keuntungan mereka sendiri.
Menjadi minoritas di AS, meskipun tidak berbanding lurus, membuat saya bertanya-tanya apakah ini yang sehari-hari dirasakan oleh teman-teman saya yang beretnis Tionghoa di Indonesia. Jika saya – seorang mahasiswa asing di sini – merasakan bagaimana identitas saya telah menjadi satu-satunya hal yang mendefinisikan bagaimana saya harus bertindak, bagaimana dengan orang-orang yang lahir dan tumbuh besar hanya di Indonesia?
Bagaimana dengan orang-orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Indonesia, namun masih diperlakukan secara berbeda? Apakah mungkin bahwa blind spot ini telah menyebabkan mayoritas untuk melakukan agresi mikro (dalam beberapa kasus, makro) terhadap kelompok ras tertentu, seperti dalam kasus orang-orang yang hadir pada aksi 411 dan 212?
Baca juga: Keistimewaan Seorang Minoritas di Indonesia
Karena akhirnya saya mencapai sebuah kesadaran diri yang baru dalam aspek identitas, nilai, dan ideologi, saya pun mulai memiliki kesadaran akan apa yang orang lain lalui. Setelah mengerti bagaimana sebuah komentar kecil dapat membuat kita merasa tidak nyaman, saya mencoba memastikan bahwa setiap pernyataan dan gerakan saya tidak mengabaikan atau mendiskriminasi minoritas dari segi apa pun. Proses ini menjadi sebuah pengalaman baru yang menantang, namun bermanfaat. Saya baru bisa sepenuhnya memahami tantangan menjadi seorang minoritas setelah saya juga telah mengalaminya.
Mengingat bahwa kita tinggal berjauhan satu sama lain, dipisahkan oleh laut dan perbedaan budaya, Bhinneka Tunggal Ika terdengar seperti slogan kosong. Apakah tidak mungkin bagi Indonesia untuk menumbuhkan toleransi hanya karena kita adalah negara yang mayoritas penduduknya Muslim? Bagaimana kita bisa mendorong lebih banyak dinamika lintas budaya dan lintas agama di dalam negeri? Apakah satu-satunya cara untuk menumbuhkan toleransi terhadap keanekaragaman di Indonesia harus melibatkan program di mana individu dipindahkan ke populasi di mana mereka akan menjadi minoritas? Mungkinkah sistem pendidikan kita melakukannya?
Sementara saya terus bertanya-tanya, saya juga bertekad untuk tidak pernah melupakan rasanya menjadi perempuan Muslim asal Indonesia di AS, bahkan setelah saya kembali di Indonesia dan melanjutkan hidup saya sebagai seorang mayoritas.
Artikel ini diterjemahkan oleh Sheila Lalita dari versi aslinya dalam bahasa Inggris.