Yang Dibungkam, Yang Melawan: Suara Kritis dari Perempuan
Sembilan media perempuan di Indonesia hasilkan kolaborasi liputan mendalam tentang kritisisme perempuan: Kenapa suara dibungkam dan bagaimana mereka saling menyelamatkan.
Perempuan rentan mengalami berbagai intimidasi dan ancaman kekerasan saat melakukan protes atau perlawanan. Tak cuma perempuan aktivis, tapi juga jurnalis, mahasiswa, pendamping kekerasan, pembela lingkungan, hingga ibu rumah tangga.
Contoh terkini di Indonesia menimpa Tuffahati Ulayyah, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga di Surabaya. Ia dirundung ramai-ramai secara daring, usai kiprahnya memimpin aksi protes terhadap pemerintah lewat karangan bunga duka cita berisi pesan satire saat pelantikan Presiden Prabowo. Akun media sosial Tuffahati sendiri dibanjiri hujatan bernada bodyshaming, pelecehan seksual, sampai ancaman pemerkosaan.
Hal senada juga dialami jurnalis sohor Najwa Shihab, setelah ia mengkritik bekas Presiden Joko Widodo “nebeng” pesawat militer saat pulang ke Solo. Najwa juga menghadapi banyak serangan di media sosial, termasuk ujaran bersifat rasis, dan yang paling extra adalah aksi pembakaran buku Catatan Najwa, yang disiarkan di TikTok.
Celakanya, ujaran kebencian hingga ancaman kekerasan, baik daring maupun secara fisik, jamak dihadapi perempuan aktivis dan mereka yang berani menyuarakan kebenaran. Ini tak terjadi di Indonesia saja. Di Thailand, menurut catatan Amnesty International, aktivis perempuan dan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang aktif menyuarakan isu kemanusiaan menghadapi pengintaian oleh pemerintah. Mereka di-doxing, alias disebarkan dokumen atau detail pribadi atau identitasnya.
Di Turki, perempuan turun ke jalan untuk mengkritik maraknya femisida yang secara tak langsung “disponsori” negara lewat politik keluarga dan perempuan. Mereka juga menggelar aksi protes di jagat maya. Namun sesuai prediksi, kritisisme perempuan itu direspons pemerintah Turki dengan opresi. Pemerintah akan memata-matai perempuan kritis, meneror keluarga di rumah, menulis surat kepada tempat kerja agar ia dipecat, juga menganiaya perempuan agar mereka putus asa dengan segala cara.
Konsekuensinya, perempuan yang kritis cenderung lebih berhati-hati dalam mengekspresikan pendapat mereka, khususnya di media sosial. Akademisi Marjan Nadim dan Audun Fladmoe dari Institute for Social Research di Oslo,Norwegia dalam “Silencing Women? Gender and Online Harassment” (2019) yang dilansir Magdalene, menjelaskan perihal ini. Mereka bilang, KBGO dapat terjadi pada siapa saja tapi dampak buruk lebih terasa pada kelompok perempuan. Dampaknya perempuan takut bersuara, terutama di ruang-ruang digital.
Masih dari liputan yang sama, Iffat Jahan Antara, peneliti BRAC Institute of Governance and Development, dalam hasil risetnya, “Online violence against women–a weapon used to silence and degrade”, menyebutkan bahwa ujaran kebencian dan pelecehan yang sering dilontarkan pada aktivis perempuan merupakan upaya delegitimasi terhadap sosok perempuan. Hal ini berkaitan dengan standar yang salah terkait siapa yang dianggap cukup “kredibel” untuk berbicara tentang isu kemanusiaan. Perempuan dianggap tidak pantas untuk hal itu.
Meskipun perempuan menghadapi banyak hambatan, persekusi, bahkan kekerasan karena kritisisme ini, tapi suara mereka harus tetap dikumandangkan. Sebab, suara perempuan penting untuk mempertahankan posisi kita di masyarakat, juga mencapai keadilan buat semua.
Berangkat dari latar belakang itu, sembilan media perempuan berkumpul untuk menyusun liputan kolaborasi tentang kritisisme perempuan. Media-media ini adalah Bincangperempuan.com (Bengkulu), Dewiku.com (Jakarta), DigitalmamaID (Jawa Barat), Femini.ID (Aceh), KatongNTT.com (NTT), Kutub,co (Jawa Barat), Magdalene.co (Jakarta), Simburcahaya.com (Sumatera Selatan), dan Tentangpuan.com (Sulawesi Utara).
Liputan ini menghasilkan sembilan artikel dan sembilan postingan konten di Instagram pada penutupan 16HAKTP lalu. Turunan topiknya pun beragam, mulai dari jatuh bangun aktivis kampus, kisah lansia penyintas tragedi 1965 di NTT yang memecah kebisuan, ibu-ibu aktivis lingkungan, dan cerita perempuan pembela HAM. Liputan tersebut dikemas secara tajam dengan pendekatan jurnalisme konstruktif yang kritis dan fokus pada solusi serta pelibatan publik.
Berikut daftar lengkap artikel yang bisa kamu baca dari masing-masing media.
Link publikasi artikel Womens’ Media Collabs 16HAKTP:
- Digital Mama: Aktivisme Perempuan: Menggerakkan Perubahan dari Dunia Maya
- Femini: Menepis Stigma Larangan Kepemimpinan Perempuan di Aceh
- Magdalene: Terbentur-bentur Lalu Terbentuk: Kisah Perempuan Muda Pejuang Isu Gender
- Katong NTT: Kisah Lansia Penyintas Tragedi 65 di NTT Memecah Kebisuan
- Simbur Cahaya: Asa Perjuangan Kelompok Perempuan Rebut Kembali Hak Atas Tanah
- Dewiku: Seksis di Dunia Komedi: Katanya Bercanda tapi Kok Tinggalkan Luka?
- Tentangpuan: Ketika kekritisan dianggap ancaman: Para perempuan di Sulawesi Utara ini terus berjuang
- Kutub.co : Dari Lorong Kampus ke Barisan Perubahan: Kiprah dan Tantangan Perempuan Muda dalam Aktivisme Kampus
- Bincang Perempuan: Perempuan Pembela HAM: Kerja Pro Bono Hingga Dicemooh
Nantikan liputan mendalam lainnya dari kolaborasi media perempuan ini.
Artikel ini merupakan kolaborasi liputan bersama Women’s Media Collabs, didukung oleh IMS – International Media Support dan European Union.
Ilustrasi oleh Karina Tungari