Jawaban Saya untuk Menag yang Bilang Anak Muda Tak Nikah karena Kumpul Kebo
Dear sobat WNI, hidup di Indonesia hari ini bukan hanya bertahan dari kesulitan ekonomi. Namun juga harus menghadapi komentar para pejabat yang kerap menasihati bahkan mengatur hidup rakyatnya, dari urusan pasangan sampai selangkangan.
Terbaru, Menteri Agama Nasaruddin Umar menyarankan anak muda untuk segera menikah dan tidak menjalani pacaran atau kumpul kebo. Agar lebih afdhol, ia menyebut penurunan angka pernikahan sebagai pengaruh budaya negara-negara Barat yang dianggap kurang menjunjung nilai perkawinan ala Asian value.
“Di negara-negara besar itu kecenderungan untuk kawin itu kurang. Mereka itu melangsungkan dengan pacaran, kumpul kebo, dan seterusnya. Ini negara Pancasila berketuhanan yang Maha Esa, tidak boleh mencontoh tradisi-tradisi Barat yang bertentangan dengan ajaran agama,” katanya seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Komentar ini terasa mentok. Bukan karena menikah tidak penting, tetapi karena tidak menyentuh akar persoalan yang dihadapi anak muda hari ini alias asal bunyi.
Iya memang berkaca dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2025, jumlah anak muda usia 20–34 tahun mencapai hampir 66 juta jiwa. Tidak semua dari mereka merasa menikah adalah jalan hidup yang wajib. Masalahnya Pak Menag harus menyadari, negara sering kali menyulitkan pernikahan secara administratif. Teman saya yang hendak menikah cerita, ia harus melewati proses panjang, melelahkan, dan dipenuhi fotokopi berkas tak masuk akal. Belum lagi biaya dan ketegangan mental.
Di sisi lain, kekerasan rumah tangga masih marak terjadi. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) per 22 Juli 2025 mencatat 15.988 kasus kekerasan, dan hampir 60 persen terjadi di ranah domestik. Perempuan jadi korban terbanyak.
Kondisi ini membuat sebagian orang memilih tidak menikah, dan itu sah. Komentar pejabat semestinya tidak mencampuri keputusan yang sangat pribadi seperti ini. Justru yang lebih urgen adalah pembenahan pelayanan haji dan transparansi kuota, termasuk dugaan korupsi dalam kuota haji khusus 2024. Bukan malah sibuk menasihati anak muda. Ehm.
Baca Juga : Muslimah dan Rumitnya Menikah Tanpa Wali Ayah
Antara Hak Individu dan Intervensi Negara
Studi Gempita Refi dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat berjudul “Kebebasan Memilih Tidak Menikah Terhadap Hak Asasi Manusia Perspektif Hukum Islam” (2020) menjelaskan soal ini. Ia menyatakan Islam tidak mewajibkan umatnya menikah jika ada kondisi yang membahayakan jiwa. Ia menyebut berbagai faktor yang membuat seseorang memilih tidak menikah. Di antaranya, trauma psikis, ekonomi, fokus karier, penyakit, atau tidak tertarik secara seksual pada lawan jenis.
Gempita bilang, kebebasan memilih tidak menikah adalah bagian dari hak asasi manusia yang bersifat mutlak—tidak bisa dilawan oleh tafsir hukum agama yang tidak mutlak.
Saya sepakat. Menikah adalah urusan individual. Kita tetap bisa menjadi warga negara yang baik meski memilih tidak menikah. Masalah muncul ketika keputusan personal ini ingin diatur oleh pejabat dan kebijakan publik. Padahal, membentuk rumah tangga bukan cuma urusan perasaan, tetapi proyek seumur hidup yang menuntut kesiapan emosional, finansial, dan mental.
Buat saya, menikah hanya masuk akal jika bertemu pasangan yang siap secara emosional dan mau berbagi kerja perawatan secara adil. Kalau cuma buat menambah populasi, saya lebih memilih mengadopsi anak. Memiliki anak sendiri pun bukan keputusan ringan, karena diperlukan kesiapan finansial, kesehatan, dan mental jangka panjang.
Beban pernikahan di Indonesia tidak hanya bersumber dari urusan keluarga atau ekonomi, tetapi juga dari tekanan sosial dan negara. Maka, alternatif seperti living together atau pencatatan hubungan melalui catatan sipil (civil union) bisa menjadi pilihan yang rasional dan sah.
Baca Juga : Mencatat Pengalaman Mereka yang Menikah Muda
Di berbagai negara, civil union bahkan diakui sebagai bentuk pengakuan negara atas komitmen dua orang dewasa tanpa beban administratif dan sosial sebesar pernikahan. Misalnya, studi komparatif oleh Kees Waaldijk (Ed.) dalam “More or Less Together: Levels of Legal Consequences of Marriage, Cohabitation and Registered Partnership for Different-Sex and Same-Sex Partners” (INED, 2005).
Di sana dijelaskan, pengakuan hukum terhadap civil union memberikan hak-hak sipil dasar. Misalnya, waris, pajak, dan tunjangan tanpa harus mengikuti norma-norma tradisional perkawinan.
Dengan living together pun, pasangan bisa membangun relasi setara, saling bantu dalam kerja domestik, dan tetap menjaga otonomi masing-masing. Bila relasi ini ingin mendapat perlindungan hukum, pencatatan ke catatan sipil bisa dipilih, tanpa harus tunduk pada narasi keagamaan atau tekanan pernikahan adat yang mahal. Ini bentuk relasi yang realistis dan manusiawi, terutama di tengah krisis biaya hidup.
Plis jangan geruduk saya sebagai agen kumpul kebo nasional. Saya cuma berusaha bilang, sebagai WNI, bukankah hidup seorang diri in this economy tak masuk akal, tapi menikah—dengan berbagai tuntutan dan tetek bengeknya—lebih tak masuk akal lagi?
Baca Juga : Banyak Jalan Menuju Roma: Siasati Aturan Nikah Beda Agama
Lebih Baik Benahi Kinerja Kementerian Agama
Daripada sibuk menyerukan pernikahan, Menteri Agama seharusnya fokus membenahi sektor yang menjadi tanggung jawabnya. Mulai dari layanan haji dan umrah, transparansi travel haji, hingga kesejahteraan guru agama. Bahkan, perbaikan fasilitas pendidikan keagamaan seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA) masih jauh dari memadai.
Detik pernah mengutip data Direktorat Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kementerian Agama: ada lebih dari 29 ribu kelas rusak ringan, 17.787 rusak sedang, dan 158 kelas rusak berat. Ini semestinya jadi prioritas menteri, bukan mengurusi pilihan hidup anak muda.
Realitasnya, menikah pun belum tentu menjamin kebahagiaan. Program nikah massal memang membantu dari sisi biaya, tetapi setelah menikah, lalu apa? Data BPS 2024 mencatat 394.608 perceraian dari 1,4 juta pernikahan. Bahkan menurut Nasaruddin Umar sendiri, 38 persen perceraian terjadi pada pasangan usia muda.
Sebagai pejabat publik, ucapan Menteri Agama seharusnya penuh empati, bukan menyudutkan. Rakyat sudah cukup lelah menghadapi kebijakan yang menyulitkan hidup. Jangan tambah beban dengan komentar yang mencederai pilihan hidup orang lain.
















