Panggung Tanpa Suara: Ketika Konferensi Pemberdayaan Perempuan Tak Terjangkau Akar Rumput
Di balik gemerlap konferensi internasional soal pemberdayaan perempuan, perempuan akar rumput justru tertinggal. Apakah inklusivitas hanya sebatas wacana elit?

Tahun 2025, Indonesia memasuki era baru dengan kepemimpinan presiden terpilih. Berbagai janji politik dilontarkan, termasuk komitmen terhadap kesetaraan gender dan pemberdayaan ekonomi perempuan.
Namun, di tengah harapan tersebut ini, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan realitas yang kontras. Proporsi pekerja perempuan di sektor informal terus meningkat, dari 61,9% pada tahun 2018 hingga 64,25% pada 2023. Selain itu, ASEAN Gender Outlook 2024 menyoroti kesenjangan antara kebijakan dan dampak nyata di tingkat komunitas. Ini menjadi sinyal bahwa inklusivitas masih belum menjadi kenyataan bagi perempuan akar rumput.
Tiga tahun lalu, saat Indonesia menjadi tuan rumah G20, narasi yang sama kembali digaungkan: inklusivitas, pemberdayaan, dan kesetaraan gender. Kala itu, forum global ini menempatkan perempuan sebagai salah satu agenda utama, terutama dalam mendukung UMKM dan partisipasi perempuan dalam sektor pariwisata. Tapi apakah semua itu benar-benar inklusif? Atau hanya menjadi jargon yang tak menyentuh akar persoalan?
Mengikuti isu ini sejak G20 2022, kami melihat pola yang terus berulang. Perempuan akar rumput yang selama ini menopang pariwisata tetap tidak diberi ruang dalam pengambilan keputusan maupun akses terhadap manfaat ekonomi dari acara-acara besar. Mereka bukan hanya tidak diundang, mereka dilewatkan.
Baca juga: Sisi Gelap Industri Pariwisata: Siswa Magang Rentan Pelecehan Seksual
Panggung megah, ruang tertutup bagi perempuan
Pariwisata di Indonesia bertumpu pada perempuan, dengan 55 persen tenaga kerja adalah perempuan, lebih tinggi dari rata-rata global (54 persen). Namun saat acara internasional seperti konferensi G20 berlangsung, perempuan tersingkir dari ruang-ruang penting.
Forum Women20 (W20), misalnya, adalah forum resmi yang mengangkat kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam G20. W20 Indonesia menyuarakan pentingnya inklusi ekonomi perempuan melalui dukungan terhadap UMKM, akses keuangan, dan peningkatan kepemimpinan perempuan di berbagai sektor. Namun, dalam praktiknya, banyak perempuan akar rumput yang tidak mendapat akses nyata dalam forum-forum ini.
Baiq Sri Mulya, pendiri komunitas perempuan SembaluNina di Lombok Timur, mengungkapkan kekecewaannya dalam wawancara dengan kami pada 14 Januari 2023. Sebagai komunitas yang aktif dalam pengelolaan wisata berbasis masyarakat, ia dan rekan-rekannya tidak mendapatkan undangan atau akses untuk terlibat dalam forum-forum pemberdayaan perempuan di G20.
“Inklusivitas event terhadap ekonomi lokal hampir nol. MICE keren, tapi bagaimana agar event ini benar-benar inklusif?” ujarnya.
Cerita senada datang dari Ni Made Gandhi Sanjiwani, akademisi dan Ketua Pokdarwis Desa Wisata Sayan, Bali. Dalam wawancara pada 20 Januari 2023, ia mengatakan bahwa penyelenggaraan G20 di Bali yang megah itu hanya melibatkan kelompok-kelompok yang sudah memiliki akses ke pemerintah dan pemodal besar.
“Perempuan akar rumput masih dikesampingkan. Event ini lebih menonjolkan global influencer dibanding perempuan-perempuan lokal yang benar-benar bekerja di komunitas,” ujarnya.
G20 hanyalah satu contoh dari pola yang lebih luas, yakni simbolisme tanpa substansi. Dari KTT APEC hingga forum-forum internasional lainnya, narasi pemberdayaan perempuan mengemuka, namun dampaknya belum menyentuh akar rumput. dalam narasi kebijakan, tetapi tidak dalam pelaksanaannya.
Di Labuan Bajo, Margaretha Subekti, Ketua KSU Sampah Komodo, menyoroti ketimpangan yang terjadi.
“Kami punya produk premium seperti kopi dan sabun herbal. Tapi mengapa souvenir untuk delegasi justru dari luar daerah?” ujarnya dalam wawancara pada 22 Januari 2023.
Kondisi ini adalah contoh nyata dari inklusivitas performative, yakni keberagaman dan pemberdayaan perempuan yang dipajang untuk pencitraan, bukan untuk perubahan sistemik.
Baca juga: Dosa Pariwisata Indonesia: Gentrifikasi, Ketimpangan, dan Eksploitasi
Tiga tahun berlalu, apa yang berubah?
Tahun 2024, Indonesia menggelar berbagai acara internasional, termasuk Konferensi Regional UN Tourism untuk pemberdayaan perempuan dalam pariwisata di Asia dan Pasifik di Bali. Sekilas, acara ini tampak menjanjikan. Tapi kenyataannya, akses tetap terbatas. Kami hadir di sana dan melihat sendiri bagaimana banyak perempuan dari komunitas wisata kecil tidak mendapat undangan, informasi, atau dana untuk hadir.
Seorang peserta dari Raja Ampat harus merogoh kocek hingga Rp6 juta demi hadir, berharap bisa membuka peluang untuk komunitasnya. Namun, acara tetap menyoroti aspek internasional, dan panggung tetap didominasi oleh mereka yang sudah memiliki akses dan pengaruh. Yang lain hanya jadi penonton.
Jika pemberdayaan perempuan hanya menjadi retorika, maka sudah saatnya kita bertanya: siapa yang sebenarnya kita berdayakan?
Untuk mewujudkan perubahan nyata, kita memerlukan langkah konkret:
Baca juga: Menilik Kerentanan Perempuan Pekerja di Sektor Pariwisata
- Akses untuk perempuan akar rumput dalam forum internasional: Pemerintah dan penyelenggara acara harus memberi akses bagi perempuan yang benar-benar bekerja di sektor pariwisata, bukan hanya mereka yang memiliki koneksi;
- Dukungan nyata untuk UMKM perempuan: Bukan hanya promosi, tapi juga program pelatihan, akses pendanaan, dan pendampingan jangka panjang;
- Evaluasi inklusivitas dalam acara global: Harus ada indikator jelas untuk mengukur sejauh mana perempuan lokal benar-benar terlibat dan merasakan manfaat dari acara besar seperti G20.
Pada akhirnya, inklusivitas tidak hanya diukur dari seberapa sering kata “pemberdayaan perempuan” disebut dalam pidato dan dokumen kebijakan, tetapi dari seberapa jauh perempuan benar-benar merasakan manfaatnya.
Jika acara-acara besar berlalu tanpa dampak nyata bagi perempuan lokal, maka pemberdayaan perempuan tidak lebih dari janji manis yang tidak pernah ditagih.
Anindwitya Rizqi Monica adalah pendiri Women in Tourism Indonesia (WTID) dan wirausaha yang aktif dalam pemberdayaan perempuan di sektor pariwisata dan industri kreatif.
Aniis Hapsari Ayuningtyas adalah lulusan Program Studi Pariwisata, Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki pengalaman dalam penelitian, kerja sosial, dan pemberdayaan komunitas akar rumput, khususnya dalam sektor pariwisata di Indonesia.
Avitania Putri Pramesti adalah lulusan Program Studi Pariwisata, Universitas Gadjah Mada, dengan pengalaman dalam event management dan proyek pengembangan pariwisata. Ia aktif dalam berbagai inisiatif yang berfokus pada pariwisata berkelanjutan dan inklusif.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
