Environment Issues

Aparat Keamanan ‘Ngadi-ngadi’ di Seruyan, Apa yang Harus Dilakukan?

Konflik agraria di Seruyan, Kalimantan Tengah, berujung pada pelanggaran HAM oleh aparat keamanan. Mereka menembak, menangkap, dan menyita kendaraan pribadi warga.

Avatar
  • October 25, 2023
  • 7 min read
  • 1210 Views
Aparat Keamanan ‘Ngadi-ngadi’ di Seruyan, Apa yang Harus Dilakukan?

Pada (7/10), pecah bentrokan antara warga dan aparat kepolisian di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng). Awalnya, warga melakukan aksi untuk menuntut kebun plasma, dari PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP). Namun, aparat kepolisian justru merespons dengan penembakan, hingga menewaskan seorang warga dan melukai dua lainnya.

Tuntutan warga dilatarbelakangi oleh perusahaan HMBP, yang tidak mengakomodasi pemberian plasma secara penuh—yakni sebesar 20 persen, mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Dalam aturan tersebut disebutkan, perusahaan sawit wajib menyediakan 20 persen dari total Hak Guna Usaha (HGU) untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat.

 

 

Sementara saat ini, luas plasma yang akan diberikan HMBP belum memenuhi persentase tersebut. Berdasarkan keterangan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Tengah, Bayu Herinata pada Magdalene, perusahaan HMBP hanya bersedia memberikan 243 hektare untuk Bangkal dan beberapa desa lainnya—kurang dari 20 persen yang seharusnya diberikan. Padahal, saat ini perusahaan HMBP menggunakan lahan di luar HGU, seluas 1.175 hektare.

Karenanya, pada (7/10), warga memblokade jalan, menuntut operasional perusahaan HMBP, serta memblokade lahan. Namun, aparat keamanan yang ditugaskan mengamankan HMBP, merespons aksi dengan tindakan represif. Yakni menembakkan gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam.

Sebenarnya, peristiwa tersebut merupakan akumulasi konflik agraria di Seruyan, sejak HMBP mengoperasikan bisnis di atas tanah masyarakat di 2006. Melansir Mongabay, saat itu mereka menggunakan ketakutan dan ketidaktahuan warga, saat masuk ke wilayah masyarakat tanpa persetujuan. Kemudian mengeklaim, terdapat izin lokasi dan HGU untuk menjalankan bisnis.

Menurut Bayu, dari situ warga dan perusahaan HMBP telah menyepakati beberapa komitmen pada 2008 dan 2009. Lalu itu memperoleh titik terang pada 2013 melalui mediasi. Salah satunya terkait implementasi plasma, yang menjadi kewajiban perusahaan HMBP untuk memberikannya pada warga Bangkal.

“Tapi, komitmen yang tertuang di berita acara kesepakatan dan MoU (Memorandum of Understanding) itu enggak pernah dijalankan perusahaan sampai hari ini,” ungkap Bayu. “Makanya sejak 16 September kemarin, warga Bangkal mulai melakukan aksi massa lagi.”

Secara umum, ada dua hal yang menjadi tuntutan warga: Kewajiban perusahaan HMBP untuk memberikan kebun plasma seluas 20 persen dari izinnya, dan mengembalikan lahan warga Bangkal yang teridentifikasi seluas 1.175 hektare. Dari kedua tuntutan ini, belum ada mediasi yang dilakukan pemerintah, warga Bangkal, dan perusahaan HMBP, untuk menyepakati komitmen demi menyelesaikan konflik.

Namun, yang seharusnya enggak luput diselesaikan dalam konflik ini, adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh aparat kepolisian, dan upaya paksa sewenang-wenang terhadap warga.

Baca Juga: Konflik Agraria Hambat Kesejahteraan Transmigran SulTeng

Tindakan Represif dan Pelanggaran HAM oleh Aparat Kepolisian

Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana menyoroti tiga indikasi pelanggaran HAM, dalam konflik agraria di Seruyan.

Pertama, penembakan yang menewaskan seorang warga merupakan extrajudicial killing. Yakni pembunuhan di luar hukum atau putusan pengadilan. Artinya, penembakan tersebut dilakukan atas perintah dan termasuk pelanggaran HAM berat. Ditambah saat itu, Gijik, 35—korban yang tewas—tengah menyampaikan pendapat demi memperjuangkan ruang hidupnya.

“Mestinya polisi melindungi warga yang menyampaikan pendapat. Ini justru melanggar berbagai ketentuan,” terang Arif dalam konferensi pers “Temuan Investigasi Awal: Peristiwa Kekerasan dan Pelanggaran HAM Terhadap Masyarakat Desa Bangkal”, (15/10).

Ia pun menggarisbawahi sejumlah ketentuan, yang dilanggar dalam peristiwa tersebut. Di antaranya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Belum lagi pelanggaran aturan internal kepolisian dalam mengendalikan massa. Arif melihat, tindakan kepolisian justru kontradiktif dengan tugasnya, untuk memastikan penghormatan pada HAM dan melindungi nyawa serta harta benda.

Misalnya dalam Peraturan Kepala (Perkap) Kepolisian Negara Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa. Di situ tertulis, penyampaian pendapat di muka umum menjadi hak setiap warga negara. Lalu pelayanan dan pengendalian massa dalam menghadapi aktivitas unjuk rasa, perlu disikapi dengan tegas dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Aparat kepolisian diperbolehkan menembakkan gas air mata, apabila terjadi tindakan penyerangan oleh massa.

Sementara Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian menyebutkan, beberapa tahapan yang perlu diperhatikan kepolisian sebelum memanfaatkan kekuatan.

Pertama, kekuatan yang berdampak pencegahan. Kedua, perintah lisan. Ketiga, kendali tangan kosong lunak. Keempat, kendali tangan kosong keras. Kelima, kendali senjata tumpul, senjata kimia seperti gas air mata dan semprotan cabe. Keenam, kendali menggunakan senjata api atau alat lain, untuk menghentikan perilaku pelaku kejahatan, yang bisa membahayakan keamanan masyarakat atau anggota Polri.

Itu juga mesti dilakukan atas dasar sejumlah prinsip: Legalitas, nesesitas, proporsionalitas, kewajiban umum, preventif, dan masuk akal. Dengan kata lain, kepolisian yang menggunakan senjata harus mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya.

“Sayangnya, tanggung jawab itu yang belum terlihat sampai hari ini. Transparansi dan akuntabilitas penggunaan kekuatan itu, apalagi mengikuti prinsip legalitas,” ujar Arif.

Kedua, YLBHI menyorot pelanggaran HAM dalam dugaan tindak penyiksaan. Dari keterangan warga yang diperoleh Tim Advokasi Solidaritas untuk Seruyan, terjadi pemukulan terhadap warga menggunakan gagang senjata—empat kali pada bagian punggung dengan katapel. Lalu penamparan warga oleh aparat, dan kekerasan verbal. Arif mengatakan, perbuatan tersebut dilakukan agar warga mengakui apa yang diinginkan kepolisian.

Ketiga, penangkapan 20 orang warga yang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka ditangkap dengan beberapa tuduhan: membawa senjata tajam dan indikasi menggunakan narkoba. Meski demikian, Bayu melihat penangkapan tersebut adalah upaya kriminalisasi, bertujuan melemahkan warga yang menuntut ke perusahaan HMBP.

Sebab, senjata tajam yang dibawa warga adalah mandau. Yaitu atribut masyarakat adat dalam kegiatan sehari-hari, dan tidak digunakan untuk mengancam keselamatan orang. Sedangkan dugaan penggunaan narkoba, menurut Bayu memang sering ditemukan dalam konteks konflik agraria di berbagai wilayah.

“Tuduhan itu mengaburkan isu utamanya, konflik agraria,” jelas Bayu.

Meski telah dibebaskan dengan jaminan Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran, dan Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi Kalimantan Tengah Agustiar Sabran, ke-20 warga yang ditangkap tetap menyandang status sebagai tersangka. Mereka menjadi tahanan kota, tetapi proses hukumnya tetap berjalan.

Baca Juga: Seliwati: Melawan Sengketa Lahan Perkebunan Sawit dengan Jengkol

Belum lagi upaya paksa berupa penyitaan dan penggeledahan 40 kendaraan pribadi milik warga. Hal itu mengakibatkan warga kehilangan barang pribadi, seperti ponsel, uang, dan harta benda yang diletakkan dalam kendaraan

Sebenarnya, upaya paksa perlu disertakan dengan surat perintah yang sah, atau izin dari pengadilan jika harus dilakukan secara spontan. Namun, berdasarkan temuan YLBHI, tidak ada surat penangkapan, penahanan, penetapan tersangka, penyitaan, maupun penggeledahan, oleh kepolisian.

“Bisa dibilang, ini penegakan hukum yang ilegal. Kalau dibilang gubernur dan kepala DAD menjamin kebebasan warga, itu terjamin dalam rangka apa? Enggak jelas,” tutur Arif. “Yang pasti, di sini ada upaya paksa sewenang-wenang oleh kepolisian.”

Secara keseluruhan, bentrok yang terjadi menggambarkan adanya pelanggaran hak menyampaikan pendapat dan berkumpul secara damai, yang juga diatur oleh International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Bahkan, yang diproses lebih dulu oleh kepolisian adalah “upaya melawan aparat”, bukan kasus penembakan.

Lantas, apa yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik agraria di Seruyan?

Perlunya Komitmen Perusahaan dan Keseriusan Pemerintah

WALHI menitikberatkan bentrok yang terjadi, sebagai kelalaian dan pembiaran konflik oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Tengah, maupun Pemerintah Kabupaten Seruyan. Semestinya, keduanya menjadi fasilitator sekaligus mediator, antara warga dan perusahaan HMBP. Sedangkan yang dilakukan saat ini, pemerintah hanya memfasilitasi kedua pihak saat terjadi konflik. Dan dalam prosesnya tidak memastikan agar hak-hak warga terpenuhi.

Maka itu, WALHI mendorong beberapa tindakan oleh pemerintah, untuk menyelesaikan konflik agraria di Seruyan. Pertama, pemerintah kabupaten harus mengambil peran lebih besar, dan melakukan tindakan yang lebih tegas sesuai kewenangannya. Menurut Bayu, intervensi pemerintah seharusnya lebih kuat agar perusahaan HMBP menjalankan kewajibannya.

Baca Juga: Tak Ada Tanah untuk Perempuan Mentawai

“Misalnya terkait implementasi kebun plasma. Pemerintah bisa mengevaluasi perizinan, dan memberikan sanksi penghentian operasional. Bahkan sampai pencabutan izin karena itu semua ada kewenangannya dalam UU Perkebunan dan Permentan (Peraturan Menteri Pertanian),” ucap Bayu.

Kedua, peran pemerintah seharusnya bisa lebih cepat dan tepat. Dalam hal ini, penanganan cepat dibutuhkan karena konflik agraria di Seruyan, berpotensi menimbulkan konflik lebih besar. Artinya, peristiwa tersebut mungkin terjadi di daerah lain dengan konflik pertanggungjawaban perusahaan untuk membangun kebun plasma. Dan dampaknya berkaitan dengan keselamatan, dan keamanan di daerah yang bersangkutan.

Ketiga, penting melihat akar permasalahan konflik yang terjadi. Bahwa ruang-ruang hidup sudah sangat sedikit, bahkan hilang. “Makanya dalam konteks perjuangan warga, salah satu upaya yang dilakukan itu melalui skema plasma. Tujuannya memastikan hak atas tanah warga bisa didapatkan dan miliki lagi,” tutup Bayu.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *