Bagaimana Meritokrasi Bantu Ciptakan Kesetaraan di Tempat Kerja?
Menggunakan kompetensi sebagai basis penilaian kinerja, apa benar meritokrasi dapat membantu mewujudkan kesetaraan gender di tempat kerja?

Philia Wibowo, Partner & Leader of McKinsey People & Organizational Performance Practice di Asia Tenggara, masih ingat betul saat dirinya didiskriminasi di tempat kerja. Sebagai konsultan, ia sering kali berhadapan dengan stereotip gender yang menghambatnya dalam interaksi profesional.
Di peluncuran program OCBC #BaiknyaBarengBareng, Philia menceritakan, anggapan bahwa perempuan tak cocok jadi konsultan, masih beredar luas. “Perempuan itu susah lah jadi konsultan,” ungkapnya, (4/3).
Namun, Philia bukan satu-satunya perempuan yang mengalami hal ini. Banyak perempuan di berbagai sektor pekerjaan juga mengalami diskriminasi serupa. Studi McKinsey bahkan menunjukkan rendahnya jumlah perempuan yang menduduki posisi-posisi strategis di tempat kerja.
Menurut McKinsey, hanya 70-an perempuan yang dapat mengisi posisi strategis seperti manajer, sedangkan lelaki sebanyak 100 orang yang mengisi posisi serupa. Selain itu, rasio perempuan dan laki-laki di posisi puncak, seperti C-level dan Vice President sangat mencolok—29 perempuan berbanding 72 laki-laki di posisi C-level dan 34 perempuan berbanding 66 laki-laki di posisi Vice President.
Baca juga: Rambu Dai Mami, Pemimpin Perempuan dari Tanah Sumba
Apa itu Meritokrasi dan Apa Manfaatnya?
Minimnya keterlibatan perempuan di posisi strategis ini berdampak besar pada keberlanjutan perusahaan. Fakta menunjukkan, penambahan tiga perempuan saja dalam posisi strategis dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan perusahaan secara signifikan. Seperti disampaikan Philia, pemimpin perempuan tidak hanya memperkaya keragaman, tetapi juga menghasilkan keputusan yang lebih baik.
Untuk mewujudkan kesetaraan ini, penerapan sistem meritokrasi di dunia kerja dapat menjadi solusi yang efektif. Meritokrasi, menurut Britannica, adalah sistem yang menilai individu berdasarkan kompetensi dan prestasi mereka, bukan berdasarkan latar belakang sosial, ekonomi, atau gender. Dalam sistem ini, penghargaan diberikan kepada individu yang menunjukkan kemampuan dan hasil terbaik tanpa diskriminasi.
Salah satu perusahaan yang telah mengadopsi sistem meritokrasi adalah PT Bank OCBC NISP. Lewat kampanye #BaiknyaBarengBareng, mereka meyakini, meritokrasi adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan maju.
Baca juga: Perempuan di Tengah Rezim Ekstraktif: Pemimpin Perlawanan untuk Lingkungan
Penerapan Meritokrasi di Lingkungan Kerja
Dalam konteks kesetaraan gender di tempat kerja, Aleta Hanafi, Brand & Communication Division Head OCBC menjelaskan, meritokrasi membuka peluang yang sama bagi semua pekerja, terutama perempuan. Dengan sistem penilaian berbasis prestasi, setiap individu, tanpa memandang gender, dapat berkembang sesuai dengan kemampuan mereka.
“Meritokrasi bisa memunculkan kesetaraan karena bertumpu pada inovasi dan inisiatif. Kesetaraan ini penting karena membuka pintu peluang bagi siapa saja,” kata Aleta dalam peluncuran #BaiknyaBarengBareng, (4/3).
Pandangan ini sejalan dengan hasil penelitian yang diterbitkan oleh Stanford University dalam artikel “Why Meritocracy is Not Enough: Overcoming Hidden Bias in the Workplace” (2019). Di situ disebutkan, kendati meritokrasi memiliki potensi untuk menciptakan keadilan, bias tersembunyi tetap dapat memengaruhi penilaian terhadap kinerja individu, terutama perempuan. Karena itu, penting untuk mengenali adanya bias ini, sehingga perusahaan bisa mengambil langkah tepat guna memastikan kesetaraan yang sebenarnya.
Baca juga: Perempuan Jangan Jadi Pemimpin, Kecuali Keluarga Saya
Tantangan dan Pengawasan yang Diperlukan
Meskipun meritokrasi menawarkan prinsip yang baik, penerapannya di tempat kerja memerlukan pengawasan yang ketat. Penelitian yang dilakukan oleh Eunike Prapti dan Eko Prasojo dari Universitas Indonesia bertajuk “Meritocracy and Gender Equity” (2017) mengungkapkan, ketidaksetaraan gender masih dapat terjadi meskipun meritokrasi sudah diterapkan. Bias gender yang tidak disadari, serta perbedaan dalam standar evaluasi kerja, masih menjadi tantangan yang harus diatasi. Imbasnya, bias perempuan semakin merugi dalam hal penilaian kinerja dan promosi.
Untuk itu, Sinta Powell dari Saint Louis University dalam penelitiannya yang berjudul “Gender equality and meritocracy: contradictory discourses in the Academy” (2023) menyarankan perusahaan harus mengenali masalah ketidaksetaraan gender sebagai masalah individu, terutama terkait dengan bias gender yang tidak disadari. Menurut Powell, langkah pertama untuk memperbaiki ketidaksetaraan ini adalah dengan memberikan pelatihan dan pendidikan tentang bias gender yang tersembunyi, serta memastikan semua orang—terutama para pemimpin—memahami pentingnya kesetaraan gender.
Penelitian lain yang juga relevan dilakukan oleh Katherine W. Phillips dalam studi berjudul “How Diversity Makes Us Smarter” (2014), yang diterbitkan di Scientific American. Phillips mengungkapkan keragaman dalam kelompok, termasuk gender, berkontribusi pada kualitas pengambilan keputusan yang lebih baik dan meningkatkan hasil finansial perusahaan. Selain itu, penelitian juga mengurai bagaimana keragaman, yang dihasilkan oleh pemimpin perempuan, berperan penting dalam meningkatkan kualitas organisasi.
Membangun Sistem Meritokrasi yang Efektif
Untuk membuat meritokrasi bekerja secara maksimal, perusahaan perlu melangkah lebih jauh dengan memastikan bahwa tidak hanya sistem yang diterapkan secara adil, tetapi juga budaya perusahaan yang mendukung kesetaraan gender. Perusahaan harus secara aktif mengidentifikasi dan mengatasi bias yang mungkin ada dalam setiap aspek kerja—mulai dari rekrutmen hingga promosi. Program pelatihan tentang bias tersembunyi, pelaksanaan evaluasi kinerja yang lebih objektif, serta inisiatif afirmatif untuk mendukung perempuan dalam mendapatkan kesempatan yang sama sangat penting.
Keberhasilan penerapan meritokrasi yang efektif bergantung pada komitmen semua pihak untuk memastikan bahwa sistem ini tidak hanya berbicara tentang teori, tetapi juga diterapkan dalam praktik sehari-hari. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai kesetaraan ke dalam budaya organisasi dan memastikan tidak ada diskriminasi atau bias yang menghalangi potensi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, perusahaan dapat membangun lingkungan yang lebih inklusif dan progresif.
Penerapan meritokrasi memang bukan solusi instan untuk mengatasi kesetaraan gender di tempat kerja, namun dengan pengawasan yang tepat, tindakan afirmatif, dan kesadaran bersama mengenai pentingnya keragaman, perusahaan dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan setara.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
