Konflik Agraria Faktor Lain Pendorong Kasus Pernikahan Anak
Hilangnya akses terhadap tanah dan mata pencaharian akibat konflik agraria turut menyumbang tingginya jumlah perkawinan anak.
Konflik agraria dan masalah perubahan kepemilikan tanah merupakan faktor lain yang mendorong terjadinya pernikahan anak, menurut hasil penelitian lembaga riset Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB).
Direktur Eksekutif Rumah KitaB, Lies Marcoes, mengatakan konflik agraria membuat banyak laki-laki yang kehilangan akses terhadap tanah dan mata pencahariannya, sehingga sang istri harus bekerja di luar daerah. Namun pergeseran pembagian kerja ini tidak diikuti dengan perubahan pembagian peran lelaki di wilayah domestik, ujar Lies.
“Laki-laki tidak dipersiapkan untuk menjadi pengurus rumah tangga. Pada akhirnya anak perempuan mengambil peran ibu, dan mengurus rumah tangga. Anaknya-lah yang kemudian dibebankan untuk mengurus seluruh anggota keluarga,” ujar Lies dalam diskusi “Pentingnya Pandangan Keagamaan terhadap Pencegahan Perkawinan Anak” di Jakarta (31/7).
“Nah, daripada mengurus banyak anggota keluarganya, si anak perempuan ini kemudian memilih untuk menikah karena ia pikir akan lebih mudah mengurus suaminya. Dia memang memilih tapi pemikiran seperti ini sesat,” katanya.
Lies menambahkan, ibu-ibu yang bekerja di luar daerah juga cenderung menikahkan anak perempuannya yang masih remaja karena takut risiko terjadinya inses.
“Karena beban penjagaan moral ada di ibu. Jadi si ibunya yang mengondisikan, ya sudah dikawinkan saja dahulu. Karena si ibu sadar betul akan ada inses,” ujar Lies.
Penelitian Rumah KitaB dilakukan di tahun 2014, dengan meneliti daerah-daerah yang memiliki konflik agraria dan kasus perkawinan anaknya tinggi, seperti Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan.
Angka perkawinan anak di Indonesia masih tertinggi ke-2 di Asia Tenggara dan ke-7 tertinggi di dunia. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016 menunjukkan bahwa 1-9 anak perempuan di Indonesia menikah di bawah umur 18 tahun, atau setara dengan 375 anak perempuan menikah setiap harinya. Selain itu, 0,5 persen anak perempuan menikah sebelum umur 15 tahun.
Penelitian Rumah KitaB menunjukkan bahwa masyarakat mengalami kepanikan moral akibat meningkatnya konservatisme agama, sehingga orang tua lebih memilih menikahkan anaknya daripada terjerumus “pergaulan bebas.”
“Konsep akil balig lebih sering diartikan oleh masyarakat dengan sudut pandang biologis saja,” ujar peneliti Rumah KitaB Ahmad Hilmi.
Akil balig merupakan sebutan untuk proses kedewasaan seorang anak secara biologis ditandai oleh perempuan mengalami menstruasi dan laki-laki mengalami mimpi basah. Dengan dalih ini, orang tua sering kali menikahkan anaknya karena dianggap sudah dewasa.
Beberapa ulama dalam diskusi Rumah KitaB mengatakan bahwa akil balig sebagai syarat nikah seharusnya dilihat dari sisi sosiologis di mana individu tersebut sudah matang secara berpikir.
Baca juga: Dispensasi Pernikahan Langgengkan Praktik Perkawinan Anak di Indonesia
Kyai Hasanuddin A.F., Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengatakan bahwa banyak ayat Alquran dan hadis yang menjelaskan bagaimana pentingnya kedewasaan dalam pernikahan. Jika seseorang sudah memiliki persiapan mental, fisik, usia yang matang, orang tersebut baru dianjurkan untuk menikah, tambahnya.
“Ini yang sering dilupakan oleh masyarakat. Orang dewasa saja belum tentu memiliki kedewasaan tersebut, apalagi anak-anak. Nah, untuk mencapai kedewasaan tersebut, minimal 21 tahun-lah untuk perempuan dan laki-laki,” ujar Hasanuddin dalam diskusi.
Dispensasi pernikahan
Argumen para orang tua untuk menikahkan anaknya agar menghindari zina, padahal anak tersebut masih belum memenuhi batas minimal usia perkawinan, berujung pada permintaan dispensasi perkawinan kepada pihak pengadilan agama, karena pihak Kantor Urusan Agama (KUA) tidak mengeluarkan izin nikah.
Dispensasi perkawinan ini turut berkontribusi pada suburnya perkawinan anak di Indonesia. Sepanjang 2018, Mahkamah Agung (MA) mencatat ada 13.215 putusan izin dispensasi kawin anak.
Kepala Subdirektorat Bina Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama, Muhammad Adib Machrus mengatakan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebetulnya mewajibkan petugas KUA untuk mencegah perkawinan di bawah umur.
“KUA sudah mencegah, tetapi setelah itu pengadilan agama malah memberikan dispensasi perkawinan dengan mudahnya,” ujar Adib.
“Tidak ada syarat untuk dispensasi ini. Padahal kita bisa mulai dari membuat syarat pemeriksaan komprehensif kepada si anak, meliputi pemeriksaan kesehatan reproduksi, psikis, mental, dan lain sebagainya,” katanya.
Adib menambahkan, selain pemeriksaan kesehatan tersebut, orang tua harus mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk kelanjutan sekolahnya. Jika persyaratan itu belum terpenuhi maka perkara tersebut tidak bisa dilanjutkan, ujarnya.
“Harapannya ketika hal ini dijalankan, akan timbul pemikiran di kalangan anak-anak dan juga orang tua, bahwa kawin di usia anak-anak sangat sulit,” kata Adib.
Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung Anwar Suadi mengatakan Mahkamah Agung saat ini sedang membuat peraturan untuk memperketat aturan dispensasi perkawinan.
“Rumusannya telah disepakati pada 16 Juli lalu. Setelah ini akan diuji publik, lalu dibawa ke rapat pimpinan. Mahkamah Agung sangat mendukung adanya peraturan ini karena kasus perkawinan anak sudah sangat mengkhawatirkan,” ujar Anwar dalam diskusi tersebut.
Perma tersebut juga akan mengatur prosedur hakim dalam memeriksa permintaan dispensasi perkawinan. Anwar mengatakan, dalam pemeriksaan tersebut nantinya, orang tua dan anak akan ditanya secara terpisah agar anak juga nyaman mengutarakan pendapat.
“Setelah Perma ini disahkan, kita perlu melatih hakim-hakim ini dan mensosialisasikan Perma tersebut. Kami juga perlu dibantu dalam hal ini terutama bantuan dari organisasi-organisasi yang memperhatikan isu ini,” katanya.