Konflik Agraria Hambat Kesejahteraan Transmigran di Sulawesi Tenggara
Penunjukan wilayah transmigrasi yang asal-asalan mengakibatkan konflik agraria dan menghambat kesejahteraan transmigran.
KENDARI, Sulawesi Tenggara. Asih Lestari, 52, adalah salah satu dari ratusan transmigran penempatan Unit Penempatan Transmigrasi (UPT) Tolihe, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Ia datang bersama almarhum suami pertamanya pada 2012 dari Yogyakarta untuk memperbaiki taraf hidupnya dengan menjadi petani transmigran.
Namun situasi yang tidak kondusif membuat UPT Tolihe hanya ditinggali oleh 71 keluarga saja. Jarak dari UPT Tolihe ke pusat Kota Kendari memakan waktu dua jam lebih sedikit, dan desa masih belum juga dialiri listrik dan sumber air bersih yang memadai.
Selain itu, banyak dari para transmigran yang masih belum mendapatkan lahan yang dijanjikan, salah satunya akibat konflik agraria. Hal ini membuat mereka tidak bisa bertani dan mendapatkan penghasilan.
“Saat ini saya baru menerima seperempat hektar dari yang dijanjikan, baru rumah dan pekarangan, belum lahan untuk bertani. Itu pun statusnya juga belum jelas,” ujar Asih pada saya Desember lalu di Kendari, setelah mengunjungi kantor Badan Pertanahan Negara Kabupaten Konawe Selatan.
Dalam setiap program transmigrasi, semua transmigran berhak mendapatkan rumah beserta lahan pekarangan, serta dua bidang lahan usaha, dengan luas keseluruhan 2 hektar atau 20.000 meter persegi. Pada kenyataannya, lahan pencanangan awal tanpa alasan yang jelas dipindahkan oleh Pemerintah Daerah Konawe Selatan ke kecamatan yang berbeda, dan lahan tersebut ternyata belum berstatus tanah bebas negara.
Penempatan asal-asalan berujung konflik agraria
Catatan Tahunan (CATAHU) Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa sepanjang 2018, ada 410 kejadian konflik agraria di Indonesia dengan cakupan lahan 807.177,613 hektar. Konflik agraria tertinggi terjadi dalam sektor perkebunan yang mencapai 73 persen dengan luasan wilayah lahan 591.640,32 hektar.
Terkait konflik di sektor perkebunan, salah satu tipologi konflik agraria yang terjadi adalah, kegagalan dalam program transmigrasi. Hal ini terjadi di daerah Konawe Selatan yang sebagian lahan transmigrasi yang ditunjuk oleh pemerintah daerah berkonflik dengan perusahaan perkebunan.
Selain di Tolihe, daerah penempatan transmigrasi yang juga bermasalah adalah UPT Arongo, sekitar dua jam perjalanan naik mobil dari Kendari. Jalan yang kami tempuh menuju daerah ini rusak, berbatu, dan menanjak. Ketika hendak mendekati desanya, kami harus melewati sungai yang sedang surut airnya.
Bernasib sama dengan Asih, sudah tujuh tahun Ujang Uskandiyana dari UPT Arongo memperjuangkan hak-haknya sebagai transmigran. Dari awal penempatan pada 2011, Ujang bersama peserta transmigran lainnya yang berjumlah 500 keluarga, mendapatkan lahan pekarangan yang tidak sesuai dengan luas yang dijanjikan yaitu 2.500 meter persegi.
“Luas lahan yang diperoleh warga bervariasi, mulai dari 2.500 meter, 1.800 meter, ada juga yang 900 meter, bahkan ada yang 600 meter persegi,“ ujar Ujang di Arongo.
Tidak hanya luas lahan, sebagian besar Lahan Usaha I dan lahan pekarangan milik warga UPT Arongo sampai saat ini belum bersertifikat. Belum lagi adanya konflik dan pengrusakan serta penggusuran tanaman produktif milik warga Blok I UPT Arongo di Lahan Usaha I oleh PT Merbau Indah Raya Group seluas kurang lebih 22.000 meter persegi.
Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Benni Wijaya mengatakan, konflik agraria yang terjadi di area penempatan transmigrasi merupakan buah dari penunjukan wilayah transmigrasi yang terkesan asal-asalan.
Penunjukan sebuah daerah untuk lahan transmigrasi, menurut Benni, harus melalui lima tahapan termasuk untuk memastikan bahwa daerah tersebut bebas dari tumpang tindih kepemilikan dari pihak lain.
“Penyebab utama konflik agraria di daerah transmigrasi adalah mal-administrasinya. Ada ketidaksiapan dari pemerintah Konawe Selatan dan mereka cenderung memaksakan program transmigrasi tersebut. Padahal transmigrasi itu kan bukan program yang mudah untuk dijalankan,” ujar Benni.
Senada dengan Benni, Rudi Casrudi selaku staf Departemen Penguatan Organisasi KPA, juga menuturkan bahwa tidak trans pemerintah dengan masyarakat lokal, juga menjadi sumber masalah dalam konflik agraria di sektor transmigrasi.
“Dalam hal ini mengakibatkan adanya klaim dari masyarakat lokal saat warga transmigran sudah menempati wilayah tersebut,” ujarnya.
Mendorong penyelesaian konflik agraria
Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Tenggara, Saemu Alwi, mengatakan bahwa program transmigrasi yang diadakan di Konawe Selatan, sudah melalui proses yang sudah benar. Proses awal penunjukan daerah transmigrasi, ujarnya, diajukan oleh masyarakat daerah setempat.
“Awalnya berangkat dari usulan masyarakat bahwa tersedia lokasi untuk lahan transmigrasi, dan sekaligus kesediaan masyarakat menyetujui daerah tersebut dijadikan lahan transmigrasi. Setelah itu dari sana dikeluarkan berita acara, lalu diteruskan ke kecamatan dan disampaikan kepada bupati. Kemudian bupati mengusulkan kepada kementerian,” kata Saemu saat ditemui di kantornya di Kendari awal Desember lalu.
Ia menambahkan bahwa pihaknya telah membantu dan mendorong Disnakertrans Kabupaten Konawe Selatan dan BPN Konawe Selatan untuk bersinergi menyelesaikan konflik agraria di Konawe Selatan.
“Tugas kami hanya menjadi mediator dan pendorong agar permasalahan-permasalahan transmigrasi di Arongo, Tolihe, diselesaikan secepatnya,” ujarnya.
Salah satu rekomendasi KPA untuk menyelesaikan konflik agraria di daerah Konawe Selatan adalah dengan mendorong lahan-lahan tersebut masuk ke daftar objek lahan program Tanah Reforma Agraria (TORA). TORA merupakan salah satu program kerja Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018, yang mengatur mengenai penataan kembali penguasaan lahan yang lebih berkeadilan dan menyejahterakan masyarakat.
Kalvyn Sembiring, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulawesi Tenggara mengatakan, program reforma agraria yang dijalankan di daerah-daerah transmigrasi memerlukan penanganan khusus karena banyak tumpang tindih kepemilikan di daerah penunjukan lahan transmigrasi.
“Ada ketidakselarasan data yang diberikan oleh pihak transmigrasi dengan data yang terjadi di lapangan. Ini kan juga menghambat jalannya program sertifikasi di daerah-daerah tersebut,” ujar Kalvyn.
Namun sertifikasi saja sebenarnya hanya melindungi masyarakat dari segi legalitas, menurut Rudi Casrudi dari KPA, sehingga perlu juga adanya pemberdayaan kolektif petani di daerah tersebut. Sebagai contoh, pihak KPA dengan program Desa Maju Reforma Agraria (DAMARA) membangun sistem kredit bersama dari petani untuk petani. Tidak hanya itu saja mereka juga melakukan pelatihan pertanian seperti membuat pupuk kompos dan mengenalkan tata produksi yang baik.
”Misalnya, di tempat Pak Ujang di Arongo, selain menjual hasil panen, mereka juga menanam sayuran untuk kebutuhan rumah tangga. DAMARA juga membantu mereka dalam bertahan di situasi konflik dengan lahan yang terbatas,” ujarnya.
Baca juga soal perjuangan panjang dalam menghapuskan perkawinan anak di Indonesia.