Culture Screen Raves

‘The Studio’: Ketika Pencinta Film Terjebak di Pusaran Absurd Hollywood Absurd

The Studio di Apple TV+ membawa kita masuk ke balik layar industri film Hollywood lewat kisah pencinta film idealis yang harus bermain di dunia penuh kompromi.

  • April 17, 2025
  • 4 min read
  • 615 Views
‘The Studio’: Ketika Pencinta Film Terjebak di Pusaran Absurd Hollywood Absurd

(mengandung sedikit spoiler)

Apa jadinya kalau orang yang benar-benar cinta film harus memproduksi film dari….minuman ringan? Pertanyaan aneh ini menjadi dasar dari The Studio, serial Apple TV+ terbaru kreasi Seth Rogen dan timnya. Hasilnya adalah kombinasi absurd antara idealisme, satir industri film, dan komedi kekacauan yang mengejutkan hangat.

Matt Remick (Seth Rogen) adalah sosok yang polos, naif, tapi mencintai film sepenuh hati. Ketika atasannya, Patty Leigh (Catherine O’hara) dipecat sebagai kepala studio oleh bos besar Continental Studio, Griffin Mill (Bryan Cranston), Matt diangkat sebagai penggantinya. Ia girang bukan kepalang karena ini mimpinya sejak lama. Tapi impian itu segera berhadapan dengan kenyataan pahit: industri ini tidak peduli pada makna atau kualitas, yang penting profit.

Tugas pertama Matt sungguh absurd. Ia diminta menyulap merek minuman ringan menjadi film box office.

Baca juga: Serial Komedi ‘The Franchise’: Kekacauan di Balik Layar Film Pahlawan Super

Didampingi oleh trio yes-men (Ike Barinholtz sebagai Sal, Chase Sui Wonders sebagai Quinn, dan Kathryn Hahn sebagai Maya), Matt mencoba memenuhi tuntutan itu. Namun, idealisme dalam dirinya berontak. Maka lahirlah ide “brilian” untuk mengajak THE Martin Scorsese untuk menyutradarai film soal sekte Jonestown, karena kebetulan dalam kultus tersebut, ada keterlibatan minuman ringan. Di atas kertas terdengar cerdas. Tapi ini Hollywood, tempat di mana logika dan idealisme sering kali ditumbuk jadi bubur marketing.

Scorsese setuju. Press release siap. Matt percaya ia berhasil menyatukan seni dan bisnis. Sampai akhirnya, saat presentasi ke bos besar, ia goyah dan menyerah pada teaser dangkal buatan tim marketing. Scorsese dilupakan, studio senang, dan Matt tidak dipecat. Di pesta Charlize Theron, ia harus mengatakan pada sang maestro bahwa proyeknya dibatalkan. Scorsese menangis di pelukan Charlize. Matt kabur. Fade to black.

Baca juga: Hollywood Suka ‘Remake’ Film Asia, Apakah Ini Problematik?

Selamat datang di Hollywood

The Studio fokus kepada industri perfilman secara umum. Point of view-nya pun juga berbeda. Kalau The Franchise mengambil mata kru bawahan yang tidak punya power dan semua kelucuan berasal dari tidak berdayanya mereka dengan atasan; The Studio mengambil point of view dari si pembuat keputusan.

Kalau The Franchise adalah satir pahit tentang obsesi Hollywood pada superhero dan fanboyisme, The Studio memilih menertawakan keseluruhan industri film dari sudut pandang para decision maker-nya. Di balik absurditasnya, serial ini punya denyut empati. Kalau The Franchise sinis dan getir, The Studio terasa lebih lembut dan penuh kasih sayang, walaupun tetap dengan kelucuan yang kacau.

Kekuatan utama The Studio adalah cinta para karakternya pada film. Ketololan mereka bukan hasil dari tekanan atau kebodohan struktural, tapi dari keyakinan bahwa mereka sedang memperjuangkan sesuatu yang bermakna. Ini membuat kekacauan yang terjadi justru terasa dekat dan menghibur.

Kreativitas para kreatornya (Seth Rogen, Evan Goldberg, Peter Huyck, Alex Gregory, Frida Perez) juga tidak setengah-setengah. Mereka bukan hanya menertawakan isi industri film, tapi juga bermain-main dengan bentuk medium televisi itu sendiri.

Di episode dua berjudul The Oner, Matt dan Sal mengunjungi set Sarah Polley yang sedang syuting adegan long take dramatis bersama Greta Lee. Untuk menyampaikan betapa rumit dan menegangkan prosesnya, episode ini sendiri disajikan dalam satu long take yang tak terputus. Hasilnya bukan hanya lucu, tapi juga secara teknis mengagumkan.

Episode empat, The Missing Reel, memperlihatkan bagaimana Matt menyelidiki reel seluloid yang hilang dari lokasi syuting Olivia Wilde. Episode ini dibuat ala film noir, lengkap dengan narasi dalam hati, topi fedora, dan cahaya dramatis. Sebuah bentuk penghormatan sekaligus parodi yang menghibur.

Baca juga: ‘The Morning Show’: Sinetron Andalan Apple TV+ yang Gagal?

The Studio adalah memang akan terasa lebih lucu jika penonton familiar dengan dinamika industri film Hollywood. Referensi tentang Olivia Wilde, produksi Don’t Worry Darling, Barbie, Greta Gerwig, hingga reputasi Steve Buscemi bertebaran di setiap episodenya. Tapi tanpa menangkap semua referensinya sekalipun, The Studio tetap menyajikan humor slapstick, absurditas situasi, dan karakter-karakter yang lovable dalam kebodohannya.

Di antara satir, lelucon, dan tekanan deadline produksi, ada pesan halus yang terasa di setiap episode. Bahwa meski industri ini keras, penuh kompromi, dan absurd, masih ada orang-orang di dalamnya yang sungguh mencintai film.

Dan itulah yang membuat The Studio terasa menyenangkan. Kita tertawa bersama Matt, merasa frustrasi bersamanya, tapi tetap berharap ia bisa menang meski dunia di sekelilingnya penuh kekonyolan.

The Studio dapat disaksikan di Apple TV+.



#waveforequality
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply