Culture Opini

Konser Dangdut Koplo: Wadah Nostalgia Kaum Urban Jawa

Menghadiri konser dangdut lebih dari sekadar hiburan—ia juga menciptakan identitas budaya dan rasa memiliki antarpendengar.

Avatar
  • December 11, 2024
  • 5 min read
  • 48 Views
Konser Dangdut Koplo: Wadah Nostalgia Kaum Urban Jawa

Jakarta dan kota-kota satelit di sekitarnya: Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, memiliki karakteristik dan daya tarik tersendiri bagi para pencari peluang kesuksesan ekonomi. Tak ayal, orang-orang dari wilayah pedesaan berbondong-bondong mencari kesempatan ke kota-kota tersebut demi kehidupan yang lebih baik.

Ironisnya, fenomena tersebut melahirkan berbagai dampak psikologis dan ketegangan emosi pada kaum urban, seperti misalnya perasaan terputus dari akar budaya.

 

 

Di tengah dampak dan ketegangan tersebut, konser dangdut koplo yang dipentaskan oleh artis-artis seperti Ndarboy Genk dan Happy Asmara menjadi medium bagi pendatang berlatar budaya Jawa untuk terhubung kembali dengan budaya asal mereka. Pasalnya, konser dangdut koplo menawarkan “ruang nostalgia” yang terbentuk lewat interaksi sosial dan pengalaman indrawi selama konser berlangsung.

Penelitian yang kami lakukan di Jakarta dan Bogor pada 2023 (belum dipublikasikan) menemukan bahwa pertunjukan musik mempertemukan nilai-nilai tradisional dan modern bagi para pendatang dari Jawa yang tinggal di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Para perantau ini menganggap bahwa dangdut koplo tidak semata-mata genre musik, tetapi juga ruang yang memungkinkan untuk menghadirkan kampung halaman di perantauan.

Baca juga: Dangdut Koplo ala Denny Caknan: Usaha Bikin Bahasa Jawa Jadi ‘Muda’

Artinya, kegiatan menghadiri konser musik menjadi lebih dari sekadar hiburan—ia juga menciptakan identitas budaya dan rasa memiliki antarpendengar dalam komunitas mereka.

Identitas Budaya dalam Musik

Bagi para pendatang, transisi menuju kehidupan urban datang bersama tuntutan untuk beradaptasi dengan gaya hidup baru, norma sosial berbeda, dan berasimilasi ke dalam budaya anyar. Perkotaan mungkin memberikan kesempatan berlimpah, tetapi sekaligus mengasingkan para perantau dari kenyamanan dan kebiasaan hidup di tempat asal.

Keterasingan ini membuat mereka terjebak dalam arus modernitas yang tidak jarang toksik karena ruang kota adalah ruang persaingan. Akibatnya, para pendatang membutuhkan penawar dalam bentuk sesuatu yang membangkitkan kembali keterhubungan mereka dengan nilai-nilai budaya asal.

Bagi para urbanisan (orang yang pindah dari desa ke kota), konser dangdut koplo menyediakan koneksi tersebut. Ia menjadi ruang emosi yang sangat kuat, tempat berimajinasi bagi para perantau untuk dapat “kembali” ke akar mereka melalui, salah satunya, lirik berbahasa Jawa yang menarasikan tema keseharian.

Sebagai contoh, penggalan lirik lagu dari Ndarboy Genk “Ibarat koyo kutoku Jogja, kowe cen istimewa” (Ibarat kotaku Jogja, kamu paling istimewa) dan “Terminal Madiun Ngawi kenanganku” yang dinyanyikan Happy Asmara dan Denny Caknan, menunjukkan kondisi ini.

Dalam salah satu sesi wawancara yang kami lakukan, penggagas komunitas Konco Ndarboy, sebutan fandom dari Ndarboy Genk, menjelaskan bahwa “Konser (Dangdut Koplo) iki ibarate tempat melepas penat dari gawean, aku yo iso kelingan sing mbiyen ning kampungku krungu lagu-lagu ngene ambek konco-konco, tetonggo” (Konser Dangdut Koplo ini ibaratnya tempat melepas penat dari pekerjaan, aku juga bisa mengingat masa-masa dulu di kampung dengar lagu-lagu seperti ini bersama teman-teman dan tetangga).

Praktik Kernostalgia dalam Konser Dangdut Koplo

Nostalgia adalah perasaan yang muncul akibat adanya kerinduan terhadap masa lalu yang ideal. Konsep ini dapat digunakan untuk memahami mengapa konser-konser dangdut koplo sangat menyentuh bagi penontonnya, khususnya para urbanisan yang berlatar budaya Jawa.

Teoretikus budaya dari Universitas Harvard, Amerika Serikat (AS) Svetlana Boym membagi jenis nostalgia ke dalam dua kategori, yaitu restoratif dan reflektif.

Nostalgia restoratif bertujuan membangun ulang dan menghidupkan kembali pengalaman masa lalu. Dalam konteks pertunjukan panggung Ndarboy Genk dan Happy Asmara, jenis nostalgia ini membawa audiens terhubung dengan kampung halaman mereka melalui kumpul bersama dalam sebuah ruang konser.

Baca juga: 15 Menit Urusan Privat ‘Basri dan Salma dalam Komedi yang Terus Berputar’

Konser ini menciptakan kembali perasaan batin yang khas di pedesaan atau kota kecil tempat para urbanisan dan para tetangga mereka merayakan pencapaian bersama-sama. Ini memungkinkan naiknya tingkat resiliensi untuk terus bergerak maju di tengah desakan lingkungan urban yang kompetitif.

Nostalgia juga punya daya reflektif yang menjelaskan bagaimana individu menggunakan wahana konser musik sebagai titik tolak untuk memahami keadaan diri mereka di masa sekarang—bernegosiasi dengan tuntutan kehidupan urban.

Untuk perantau yang menghadapi tekanan di tengah lingkungan kota, nostalgia tipe ini memungkinkan mereka mengapresiasi dari mana mereka berasal dan juga meneguhkan identitas mereka.

Menciptakan ‘Sense of Belonging’

Selain menambah jejaring pertemanan, konser dangdut koplo juga memupuk rasa kebersamaan dan solidaritas antarurbanisan. Konco Ndarboy berperan sebagai jaringan sosial yang menghubungkan orang-orang berlatar belakang budaya yang sama dan memiliki ketertarikan dengan dangdut koplo. Penggemar berinteraksi, berbagi cerita, dan merayakan akar budaya mereka secara kolektif—kembali ke kehidupan komunal yang telah terdistorsi oleh gaya hidup individualistik khas urban.

Dengan datang ke konser dan berpartisipasi dalam acara fandom, urbanisan berlatar budaya Jawa dapat menciptakan kembali imajinasi “berada di rumah” bersama para saudara dan handai taulan.

Baca juga: Denny Caknan, Domestifikasi Perempuan, dan ‘Red Flag’ Mas-mas Jawa Misoginis

Ketika globalisasi dan urbanisasi terus membentuk ulang identitas masyarakat, konser dangdut koplo memungkinkan para urbanisan berbudaya Jawa untuk menemukan ketenangan batin dan merayakan asal usul mereka dengan cara yang sejalan dengan kehidupan baru mereka di kota-kota besar.

Di dalam konser, mereka seolah keluar sejenak dari kompleksitas kehidupan perkotaan, dan terhubung kembali dengan asal-usul mereka. Ini sekaligus sebagai pengingat mengenai pentingnya rasa kemelekatan terhadap komunitas asal di tengah-tengah tantangan kehidupan modern di kota metropolitan.

Jordy Satria Widodo, Dosen Kajian Sastra dan Budaya, Universitas Pakuan dan Padel Muhamad Rallie Rivaldy, Dosen Ilmu Sastra, Universitas Pakuan

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jordy Satria Widodo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *