Issues

Kontroversi Hwasa: Dilaporkan Polisi dan Kebebasan Berekspresi Artis Perempuan di Korea Selatan

Gerakan Hwasa di salah satu acara TV di Korea Selatan jadi cerminan misoginis dan patriarkisnya Korea Selatan.

Avatar
  • September 29, 2023
  • 5 min read
  • 979 Views
Kontroversi Hwasa: Dilaporkan Polisi dan Kebebasan Berekspresi Artis Perempuan di Korea Selatan

Pada Mei lalu, Hwasa, anggota girl grup MAMAMOO hadir di Festival Kampus Humaniora dan Ilmu Sosial Universitas Sungkyunkwan, Korea Selatan. Di sana ia tak tampil bersama grupnya melainkan sebagai anggota Dancing Queens on the Road, sebuah acara reality show baru di Korea Selatan. Acara itu diselenggarakan secara berkeliling ke berbagai tempat di Korea Selatan, sembari berinteraksi dengan para pecinta musik tanpa mengenal batas umur.

Ketika tampil di festival musik ini, performa Hwasa memang disambut antusias para penonton. Tapi, di satu momen ia membuat gerakan dance sambil menjilati tangan dengan lidahnya, lalu meletakkan tangan itu di antara selangkangan. Gerakan ini kemudian menimbulkan kontroversi di masyarakat luas, setelah klipnya tersebar secara online. Kritik pada Hwasa kemudian ciral di media sosial.

 

 

Dilansir dari OSEN, media di Korea Selatan, Asosiasi Hak Asasi Orang Tua dan Murid dari Universitas Sungkyunkwan sampai mengajukan gugatan hukum pada Hwasa. Mereka menilai penampilan Hwasa sangat vulgar dan tidak senonoh. Terutama karena dilakukan di universitas, tempat lebih banyak penontonnya adalah pelajar.

Polisi, pada 10 September, bahkan sempat memanggil Hwasa sebagai terlapor ke Kantor Polisi Seongdong di Seoul, Korea Selatan. Pihak kepolisian menanyakan beberapa pertanyaan terkait apa yang melatarbelakangi pertunjukan kontroversialnya selama tampil di Festival.

Tak hanya Hwasa, polisi juga memanggil pelapor utama dari perwakilan asosiasi tadi untuk menyelidiki lebih lanjut. Mereka juga akan meninjau teori hukum apa yang bisa dijatuhkan dan tuntutan seperti apa yang akan digunakan. Termasuk tentang kejelasan kasus Hwasa ini akan masuk ke ranah pidana atau tidak.

Baca juga: Konten pemaksaan jilbab Zavilda TV membuat kita belajar, dari toleransi agama hingga otoritas tubuh perempuan.

Kritikus Budaya Populer Korea Selatan Menanggapi Kasus Hwasa

Pro dan kontra atas kasus Hwasa juga jadi bahasan ramai di Korea Selatan. Hal ini terlihat dari beberapa komentar netizen pada situs Pann, portal web asal Korea Selatan Komentar bernada membela datang dari mereka yang menganggap  penampilan Hwasa sebagai bagian dari ekspresi dalam berkarya, dan tak mempermasalahkannya. Ada juga yang bilang jika festival universitas ini sudah ditonton oleh para mahasiswa—yang sudah termasuk kategori umur dewasa.

Sementara komentar-komentar bernada kontra mengatakan, meski pertunjukan  itu ditonton orang dewasa, gerakan Hwasa seharusnya tetap tak perlu jadi bagian pertunjukan.

Beberapa pemberitaan juga membahas tentang bias gender yang dihadapi Hwasa. Koreaboo, salah satu portal berita membahas backlash yang dihadapi Hwasa kemungkinan besar tak akan dirasakan artis laki-laki yang melakukan gerakan sensual dan seksi di atas panggung.

Baca juga: MAMAMOO: Percaya Diri Sumber Kekuatan Perempuan

Kasus Hwasa pun sempat dijadikan topik dalam program televisi CBS Kim Hyun Jung’s News Show. Mereka menampilkan dua perwakilan, dari Solidaritas Perlindungan Hak Asasi Manusia Orang Tua Siswa, Shin Min-hyang dan kritikus budaya populer Kim Heon-sik.

Min-hyang mengatakan gerakan yang dibuat Hwasa di festival universitas kemarin sangat tidak pantas. Dan itu bisa menimbulkan ketidaknyamanan di masyarakat. Ia juga mengungkap keprihatinan terhadap penonton muda yang menerima tindakan Hwasa tersebut. Min-hyang jadi mempertanyakan apa bisa kontroversi Hwasa dijadikan sebagai kebebasan berekspresi dari seorang artis.

Di sisi lain, kritikus budaya populer, Kim Heon-sik punya pandangan berbeda. Ia mengungkapkan, kasus Hwasa ini sebenarnya tak lepas dari peran para ‘orang tua monster’. Heon-sik merujuk kata itu dari kasus bunuh diri seorang guru di sekolah dasar di Seoul baru-baru ini. Dilansir dari CNN, guru perempuan berumur 23 tahun ini meninggal karena stres akibat tekanan dan keluhan yang diberikan oleh orang tua murid. Heon-sik menambahkan kalau ini akibat dari contoh orang tua yang sombong dan terlalu mengganggu kebebasan dalam berseni.

Heon-sik menjelaskan orang tua monster atau monster parents adalah istilah yang diciptakan oleh pendidik Jepang Yoichi Mukoyama pada tahun 2007. Istilah ini dikaitkan dengan orang tua yang selalu ikut campur tangan dalam urusan sekolah dan cara mengajar guru-guru. Mereka selalu mengajukan keluhan yang berlebihan dan tuntutan tak masuk akal kepada sekolah. Akibatnya kadang guru-guru merasa stres dengan hal ini.

Heon-sik juga berpendapat lewat kasus Hwasa ini, orang tua seperti selalu ikut campur tangan berlebihan dalam segala aspek, dengan alasan pendidikan sang anak. Menurut Heon-sik mengritik dan mendiskusikan permasalahan tersebut sah-sah saja. Namun perlu diingat bahwa tak tepat rasanya jika organisasi orang tua hadir sebagai pihak ketiga dalam kasus ini. Padahal mereka sendiri tak pernah hadir dalam pertunjukan tersebut, tapi justru melaporkan ke pihak kepolisian.

Baca juga: Red Velvet, MAMAMOO, dan ITZY: Idola K-Pop dan Bahasa Feminis Mereka

Apa Kasus Hwasa Bisa Dijatuhi Hukuman?

Berdasarkan hasil wawancara The Korea Herald, surat berita harian berbahasa Inggris dari Korea Selatan bersama pengacara Shin Min-young dan Kang Jin-seok, kasus Hwasa kecil kemungkinannya untuk masuk ke ranah hukum. Meski dianggap melanggar moral terkait seksualitas, namun tindakan tersebut dilakukan sudah sesuai dengan praktik bisnis. Dan tidak melanggar aturan sosial.

Pengacara Min-young menambahkan Konstitusi Korea Selatan sendiri menjamin kebebasan berekspresi. Jika undang-undang mulai membatasi kebebasan berekspresi, pada akhirnya undang-undang tersebut akan membatasi bentuk-bentuk ekspresi yang dapat diterima.

Sedangkan pengacara Jin-seok mengatakan jika penampilan artis dibuat untuk tujuan artistik. Gerakan yang dibuat Hwasa pun bisa dilihat sebagai pertunjukan musik yang dibuat bukan untuk membangkitkan hasrat seksual.

Ia juga menjelaskan kebebasan berekspresi sekarang sudah dihormati. Hal ini berbeda dengan tahun 1980-an dan 1990-an, ketika sensor menjadi hal yang lumrah dalam film dan program televisi. Jadi kecil kemungkinan tindakan hukum akan dipakai untuk mengacu pada tindakan Hwasa kemarin.

Tapi jika suatu saat terjadi situasi serius yang sangat melanggar undang-undang ketidaksenonohan publik, maka menurutnya standar ketidaksenonohan publik mungkin akan dibahas oleh pengadilan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Chika Ramadhea

Dulunya fobia kucing, sekarang pencinta kucing. Chika punya mimpi bisa backpacking ke Iceland.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *