Issues Opini Politics & Society

Surat Terbuka untuk Miftah Maulana: Setop Berlindung di Balik Kata “Maaf Bercanda”

Olok-olok Miftah Maulana pada penjual es teh yang diklaim sebagai bercandaan, sama sekali tak lucu. Masalahnya, ia telah melakukan itu berulang kali.

Avatar
  • December 5, 2024
  • 7 min read
  • 378 Views
Surat Terbuka untuk Miftah Maulana: Setop Berlindung di Balik Kata “Maaf Bercanda”

Yang terhormat Miftah Maulana, Bapak Utusan Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan,

Saat melihat potongan videomu mengumpat penjual es teh dalam ceramah agama di Magelang, (20/11), saya ikut menarik napas panjang. Kamu bilang ke dia, “Es tehmu masih banyak enggak? Masih? Ya sana dijual, goblok! Kalau enggak laku, itu namanya takdir,” dalam Bahasa Jawa. Olok-olok ini disambut tawa yang berderai dari para tokoh agama di panggung, mulai Zaidah bin Yahya hingga Usman Ali. Bahkan badan Usman sampai berguncang lantaran menganggap perkataanmu lucu sekali.

 

 

Sementara Sunhaji, si penjual es teh cuma bisa diam di tengah kerumunan jemaah. Matanya nanar karena mengira dipanggil untuk diborong dagangannya olehmu. Kamu tahu lah, mirip seperti yang dilakukan penyanyi Niken Salindry, dalam video yang diunggah ulang Hafidz Alattas di X, (3/12) kemarin. Profesi yang justru kerap dilekati stigma itu, nyatanya lebih welas asih ketimbang kamu, Miftah.

Setelah video hinaan penjual es teh viral dan panen kecaman, kamu dan kawan-kawan sibuk mengipasi api. Ada yang membela dengan menyebutmu sebagai pemuka agama yang doyan bercanda. Ada yang menyebut gaya dakwahmu memang khas macam itu. Namun yang paling bikin mual adalah kamu langsung mengunggah video berisi “kebaikanmu” memborong dagangan penjual asongan—yang belakangan kamu hapus kembali seperti orang kebingungan.

Kamu memang sudah meminta maaf, juga mendatangi langsung rumah Sunhaji. Merangkulnya secara intimidatif, membuat saya meragukan ketulusanmu. Apakah permintaan maaf itu akan terlontar jika kamu tak ditekan dari berbagai arah, termasuk ditegur Mayor Teddy? Apakah permintaan maaf yang disambut tawaran meng-umroh-kan dan menawari Sunhaji jadi Banser, akan dilakukan jika sembilan petisi untuk memecatmu dari jabatan duniawi ini tak ramai diteken orang?

Buat saya, yang kamu lakukan terasa sangat personal. Bukan karena saya mengenal Sunhaji. Namun bapak saya dulu juga pernah harus berjualan keliling karena kondisi ekonomi keluarga kami yang relatif kekurangan. Bapak saya dulu bekerja sebagai guru honorer, tapi tentu saja kamu tahu, gaji ini bahkan takkan pernah cukup untuk memastikan dapur keluarga kami mengepul selama sebulan penuh. Karena itulah ia banyak menyambi pekerjaan lain. Ia pernah jualan kue pukis dan kerupuk keliling dengan motor bututnya.

Entah panas atau hujan, barang dagangan harus tetap dijajakan. Uang recehan yang kami hitung saban hari adalah berkah buat keluarga. Karenanya ketika dagangan tak laku, saya turut merasakan sakit dan lelahnya. Sama seperti Sunhaji yang saat itu berjualan es teh di majelismu, tapi belum cukup membawa uang buat keluarganya di rumah. “Saya tersinggung, wong saya lagi masuk, ada suara kayak gitu,” begitu kata Sunhaji, dan saya memahami perasaannya.

Baca juga: Surat Terbuka untuk KPU dari Minoritas Agama, Kenapa Pemilu Harus di Rabu Abu?

Yang Kamu Klaim Sebagai Humor, Sama Sekali Enggak Lucu

Miftah,

Bukan sekali dua kali kamu berlindung di balik kata bercanda saat warganet ramai mengkritik tindakanmu. Sebelumnya, kamu pernah menggoyang-goyangkan kepala istri di tempat umum, Oktober silam. Kamu berkilah, itu hal wajar dilakukan ke pasangan ketika gemas.

Di acara majelis yang lain, kamu juga pernah mengolok-olok penjual es teh dengan menyamakannya seperti monyet. “Anda tahu siapa yang digendong Si Buta dari Goa Hantu? Sekarang jualan es teh,” yang disambut grrrr dari jemaah. Sebelas dua belas dengan video Sunhaji, penjual es teh sebelumnya pun cuma bisa pasrah, diam.

Kamu juga pernah mengolok-olok Yanti Pesek, musisi senior dengan pernyataan merendahkan. Setelah memanggil Yati naik ke panggung dengan sebutan “Bajingan”, kamu masih sibuk menghinanya. “Saya bersyukur Bude Yati jelek makanya jadi sinden, kalau cantik jadi pelacur ini),” ungkapmu dalam Bahasa Jawa.

Meski Yati Pesek menunjukkan gestur tak nyaman, kamu tetap ngegas dengan bilang, jika iya benar berpasangan dengan Yati Pesek, Miftah takut meninggal duluan karena keracunan susu kedaluwarsa.

Beberapa kali kamu menyebut semua tindakan ini adalah bagian dari humor. Iya, memang banyak tokoh agama, ulama, atau kyai yang menggunakan humor sebagai alat ceramah atau pelengkap komunikasi. Dalam artikel di Kompas menyitir opini Heru Gendut Janarto “Olah Humor ala Gus Dur”, ia kerap melontar lelucon juga. Hal ini juga dikonfirmasi kawan-kawan Nahdlatul Ulama yang menyebut Presiden ke-4 RI itu senang guyon, meski guyonannya kerap di pinggir jurang alias dark joke.

Bedanya dengan Miftah, yang lebih banyak jadi objek humor itu bukan orang lain tapi dirinya sendiri. Sebagai contoh, masih dari artikel yang sama, Gus Dur mengaku berjuang ekstra buat menaklukkan hati Shinta Nuriyah, istrinya. ”Bayangkan, delapan tahun saya nunggu dia supaya mau. Dipikir-pikir, ternyata saya ini memang jelek, ya,” ungkapnya.

Atau contoh lain di mana dia melemparkan humor tentang dirinya dan wakil presiden, Megawati Soekarnoputri. ”Kami berdua akan jadi sebuah tim yang sempurna. Saya tidak bisa melihat, dia tidak bisa omong,” ucapnya dalam Bahasa Inggris.

Humor Gus Dur rasanya bisa kita maklumi, karena dia menelanjangi kelemahan atau kekurangannya tanpa menyakiti perasaan orang lain. Namun Miftah berbeda. Yang dilakukan dia tentu menyakiti hati orang lain. Yang lebih menyakitkan lagi saat membuat video permintaan maaf pun, ia masih sibuk berdalih bahwa ucapannya tak lebih dari humor belaka.

Ada yang bilang batas antara humor dan hinaan terbilang kabur. Namun sebenarnya, kita bisa mengidentifikasinya dengan sederhana. Selama itu menyakiti orang lain, maka kamu perlu berkaca lagi apakah yang diklaim sebagai humor sudah tepat dan etis. Dalam riset “Individual differences in uses of humor and their relation to psychological well-being: Development of the Humor Styles Questionnaire” yang terbit di Journal of Research in Personality (2003) dijelaskan, ada empat jenis humor.

Baca juga: Surat Terbuka untuk Ustaz Gaul Pujaan Ukhti dan Akhi

Pertama, humor afiliatif yang bertujuan untuk memperkuat hubungan kelompok atau mengurangi ketegangan. Biasanya ini dilakukan dengan menceritakan anekdot lucu atau olok-olok cerdas. Humor jenis ini biasanya tidak menyinggung siapa pun. Ada pemuka agama yang sering menggunakan humor ini, seperti Anwar Zahid dari Jawa Timur. Dengan gaya berdakwah yang khas Jawa Timur-an, ia kerap memasukkan humor lokal (internal joke) yang mungkin cuma dimengerti masyarakat setempat saja.

Kedua, humor self-defeating. Ini biasanya dilakukan dengan menjadikan diri sendiri sebagai objek candaan. Mirip seperti yang dilakukan Gus Dur saat menjelek-jelekkan diri sendiri, baik untuk hiburan pribadi atau bikin orang lain tertawa agar dapat merasa lebih diterima.

Ketiga, humor self-enhancing yang biasanya memanfaatkan berbagai lelucon kehidupan. Sederhananya seperti menemukan sisi lucu dari kehidupan di balik kecemasan dan kegelisahan kita. Humor macam ini digunakan untuk mengalihkan emosi negatif dan mengatasi masalah.

Keempat, humor agresif. Ini mencakup hinaan, olok-olok, kadang sarkasme yang tujuannya jelas untuk mempermalukan, merendahkan, atau menjatuhkan harga diri orang lain. Penggunaan humor ini biasanya dilakukan oleh orang yang justru kurang percaya diri atau punya misi menunjukkan kekuasaan (mendominasi) percakapan.

Baca juga: Surat Terbuka untuk Yusuf Mansur: Sedekah ya Sedekah, Bisnis ya Bisnis

Bahaya Humor Agresif

Lantas apa bahayanya humor jenis ini?

Miftah yang katanya sudah jadi Gus, gaya humor agresif cenderung berdampak buruk. Tak cuma untuk kesehatan mental orang yang jadi objeknya, tapi juga menciptakan ketegangan dan permusuhan. Orang yang jadi objek humor biasanya akan mengalami stres, kecemasan sosial, bahkan depresi. Efeknya mirip seperti perundungan verbal.

Terlebih dalam kasus olok-olokmu itu, ada indikasi pembiaran orang yang alih-alih mengingatkan, justru ikut menertawakan si penjual es teh di panggung. Selamat ya Miftah, kamu berhasil menggunakan pengaruhmu untuk menurunkan nilai kemanusiaan orang lain. Kamu secara tak langsung mengukuhkan posisimu sebagai pelaku perundungan ketimbang orang yang mengajarkan nilai-nilai kebijaksanaan.

Perkara perasaan Sunhaji, masa bodoh bukan?

Enggak cuma berimbas buruk buat sasaran humor, apabila ini dilontarkan oleh utusan presiden sepertimu, tentu akan punya efek lebih merusak. Sadarkah, selain melukai hati banyak orang yang membayar gaji bulananmu, tindakan ini juga bak menggali lubang kuburmu sendiri?

Kamu sedang merusak kredibilitasmu sebagai tokoh yang digadang-gadang sebagai pemengaruh, penjamin kerukunan beragama. Yang lebih gawat, bagaimana jika suatu hari kamu membuat kerusakan lebih besar, memicu ketegangan antar-umat beragama lalu dengan seenak jidat kamu bilang, “Maaf cuma bercanda.”



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *