Issues Opini Politics & Society

Tak Perlu Jadi Dosen Seperti Saya untuk Marah dengan Gelar ‘Honoris Causa’ Raffi Ahmad 

Kritik publik atas gelar kehormatan Raffi Ahmad jadi bukti bahwa kultur pemujaan selebriti perlahan mulai runtuh.

Avatar
  • October 4, 2024
  • 6 min read
  • 859 Views
Tak Perlu Jadi Dosen Seperti Saya untuk Marah dengan Gelar ‘Honoris Causa’ Raffi Ahmad 

Gelar Doktor Honoris Causa yang diperoleh selebriti Raffi Ahmad telah memancing amarah warganet. Beramai-ramai warganet menguliti dan mencari informasi seputar kredibilitas kampus pemberi gelar. Dari penelusuran Google Maps ditemukan, kampus tersebut secara fisik merupakan hotel dan area perkantoran, alih-alih institusi pendidikan. 

Pihak kampus yang kebakaran jenggot lantas memberi penjelasan. Namun, bukannya memadamkan kecurigaan publik, kejanggalan-kejanggalan lain satu per satu terkuak. Salah satunya dicatutnya foto wajah Gita Savitri yang diklaim sebagai alumni kampus dengan nama Anita Sari. 

 

 

Lepas dari beragam kejanggalan itu, gelar Doktor Honoris Causa memang sering digunakan oleh para figur publik untuk membangun reputasi. Seolah ingin memenuhi keinginan membangun reputasi, banyak kampus yang akhirnya “menawarkan” pemberian gelar dengan membayar nominal tertentu. 

Ini kontras dengan dosen seperti saya yang mengejar gelar doktor demi alasan profesionalitas dan kesejahteraan upah. Tak jarang untuk mengantongi gelar doktor, akademisi harus berdarah-darah kuliah S3 sembari mengajar di siang hari lalu mengerjakan riset di waktu yang lain. Namun, kamu tak harus menjadi dosen seperti saya untuk terusik dengan pemberian gelar kepada selebriti macam Raffi Ahmad dan ini alasannya. 

Baca juga: Honoris Causa Raffi Ahmad, Gelar Doktor Harusnya Tak Sebercanda itu 

Masyarakat yang Memuja Simbol 

Fenomena kemarahan publik dan ngebetnya selebriti mengejar gelar kehormatan bisa dijelaskan dengan meminjam pernyataan Pierre Bordieu. Sosiolog Perancis itu mengategorikan kekuatan menjadi empat, yaitu economic capital, social capital, cultural capital, dan symbolic capital. Economic capital berkaitan dengan kekayaan, kepemilikan faktor produksi, serta aset yang dapat digunakan untuk menghasilkan uang. Sedangkan social capital merupakan jejaring yang dimiliki seseorang, yang dapat digunakan sebagai sebuah sumber daya. Cultural capital adalah kekayaan dalam bentuk pendidikan, penghargaan, maupun keterampilan. 

Sementara, symbolic capital merupakan hasil dari economic dan cultural capital, yang membuat seseorang dapat pengakuan luas dari publik. Sebagai contoh, ilmuwan memperoleh pengakuan luas dari masyarakat, berkat publikasinya yang sering dimuat di media massa. Seorang artis bisa saja memiliki economic capital dan social capital, akan tetapi mereka belum tentu memiliki apa yang disebut dengan symbolic capital.  

Menurut Oliver Driessen, pada tulisannya, Celebrity Capital: Redefining Celebrity using Field Theory (2013), symbolic capital hanya berlaku pada satu bidang  tertentu. Dengan kata lain, di dunia entertainment, Raffi Ahmad sudah mendapatkan pengakuan yang cukup, sebagai seorang artis, presenter, dan pengusaha hiburan. Akan tetapi, untuk ekspansi pada bidang lain, Raffi perlu mendapatkan rekognisi yang dapat diakui oleh publik, salah satunya melalui gelar Doktor Honoris Causa.  

Perilaku Raffi Ahmad ini didukung oleh karakter masyarakat Indonesia yang memuja hal-hal berbau simbolis. Perlu kita ingat pada fenomena perempuan yang memuja kaum bersegaram, di mana salah satunya, karena seragam angkatan bersenjata melambangkan keamanan dan posisi yang tinggi di  mata masyarakat.

Akibat pemujaan simbol ini, banyak yang memilih mencari jalan pintas, dibandingkan melalui sebuah proses. Padahal, proses dibutuhkan untuk mengasah kompetensi yang dimiliki seseorang, agar ia memiliki kualifikasi yang sesuai dengan gelar atau status yang dia inginkan.  

Baca Juga: Obral Gelar Honoris Causa di Tahun Politik, Apa Mau Kampus? 

Runtuhnya Kultur Pemujaan Seleb 

Salah satu hal yang menarik dari kasus ini adalah skeptisisme publik terhadap kredibilitas lembaga yang memberikan Raffi gelar terkait. Hal ini berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya, dimana publik akan mencari pembenaran untuk segala hal yang dilakukan oleh idola. Sebelumnya pada 2021, Raffi Ahmad pernah mengalami kontroversi terkait posisinya sebagai penerima vaksin Covid-19 pertama di Indonesia. Akan tetapi, kontroversi tersebut meredup sering dengan permohonan maaf Raffi Ahmad yang disampaikan kepada publik.  

Banyak ahli membahas fenomena ini dengan mengaitkannya pada “celebrity culture”. Celebrity culture adalah budaya di mana figur publik menjadikan diri dan kehidupannya sebagai komoditas alias bahan jualan. The Hedgehog Review, situs yang dikelola oleh Institue for Advanced Studies in Culture di University of Virginia, menyatakan celebrity culture mirip dengan agama, di mana para fans memuja artis idola, seperti seorang Nabi. 

Hal menarik lain di luar konteks selebriti, seseorang harus memiliki prestasi tertentu, atau meraih penghargaan untuk mendapatkan pengakuan publik. Sebagai contoh, akademisi seperti saya harus memiliki publikasi yang berkualitas, serta track record pendidikan dari institusi yang bereputasi yang baik, untuk mendapatkan pengakuan yang layak.

Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk selebriti. Banyak selebriti tidak memiliki talenta yang menonjol, akan tetapi karena mendapatkan eksposur tepat, mereka mampu menjadikan popularitas sebagai sumber penghasilan.  

Tidak heran jika banyak selebritis yang menjual kehidupan pribadi atau membuat sensasi agar selalu mendapatkan perhatian publik. Indikasinya terang benderang terlihat dari banyaknya selebriti yang menayangkan kehidupan pribadi melalui saluran Youtube mereka, dan memonetisasinya.

Raffi Ahmad selama ini terkenal melalui konten-kontennya yang mengekspos kekayaan dan gaya hidup mewah. Pada masanya, masyarakat menggunakan kontennya sebagai sarana hiburan atau escapism dari kehidupan mereka sehari-hari. Akan tetapi, perkembangan akhir-akhir ini, membuat masyarakat mulai mempertanyakan figur publik yang tampil dengan persona terentu.  

Davidson bilang, selebritis memiliki unsur pengidolaan. Unsur pengidolaan berarti selebritis tidak hanya disukai karena kemampuan atau bakat tapi persona mereka. Tidak heran, jika apa yang dilakukan oleh selebriti menjadi tren (trendsetter) yang diikuti oleh masyarakat.  

Akan tetapi, kondisi perekonomian selama beberapa tahun terakhir telah menyebabkan adanya perubahan dalam kultur pemujaan tersebut. Masyarakat tidak lagi menjadikan gaya hidup selebritis sebagai acuan mereka. Sebaliknya, publik mulai mengkritisi apa kontribusi yang diberikan sosok-sosok pesohor tersebut kepada masyarakat. Terlebih, pesohor kerap kurang sensitif mempertontonkan gaya hidup lavish di tengah masyarakat yang tengah berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.  

Baca Juga: Jangan Panggil Saya ‘Prof’: Sebuah Apresiasi untuk Rektor UII 

Masyarakat Harus Tetap Kritis 

Salah satu hal yang berbahaya dari celebrity culture adalah seringnya popularitas para artis ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain. Seringnya, fans mereka yang akan mengikuti apa aja yang dilakukan oleh sang idola.  

Kita lihat saja bagaimana selebritis secara tidak sengaja ikut mempromosikan produk pemutih abal-abal, atau judi online. Selain dapat menjerumuskan para pengikutnya, bukan rahasia lagi jika partai politik sering memanfaatkan popularitas selebritis untuk mempromosikan partai mereka sekaligus untuk mendapatkan kursi di parlemen.   

Seringnya, hal tersebut dilakukan tanpa mempertimbangkan efek jangka panjang. Selebritis yang berada di parlemen, akan menjadi pembuat kebijakan yang menentukan nasib masyarakat luas. Menyerahkan posisi sentral kepada orang-orang yang tidak memiliki kualifikasi, bak mempertaruhkan nasib dengan berjudi.

Kasus gelar Doktor Honoris Causa Raffi Ahmad merupakan salah satu bukti yang menunjukkan runtuhnya budaya pemujaan pesohor di Indonesia. Sebelumnya, fenomena ini juga terjadi pada menantu Presiden yang segera demisioner. Tentu, kita tidak membenarkan apa yang disebut dengan perilaku witch-hunting. Namun, semakin kritisnya masyarakat terhadap pesohor, jadi pertanda bahwa di masa depan dunia kita enggak suram-suram amat.

Rizkiya Ayu Maulida adalah Dosen Ilmu Komunikasi yang tertarik pada isu kesetaraan gender, keadilan sosial,  dan dinamika relasi antarmanusia. Ia senang berbagi perspektif personal di Instagram @rizkiyamaulida.   



#waveforequality


Avatar
About Author

Rizkiya Ayu Maulida

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *