Sewa Jet Pribadi KPU Bikin Geger, Sanksi DKPP Dinilai Ringan
Sejumlah petinggi Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, termasuk ketua, komisioner, hingga sekretaris jenderal, resmi dijatuhi sanksi peringatan keras oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam sidang pembacaan putusan untuk tujuh perkara di Ruang Sidang DKPP, Jakarta, (21/10).
Sanksi ini diberikan karena penggunaan private jet selama penyelenggaraan Pemilu 2024 dinilai tidak etis dan melanggar kode etik.
Isu penggunaan jet pribadi sebenarnya bukan hal baru. Pada pertengahan 2024, topik ini sudah sempat ramai diperbincangkan publik setelah diungkap oleh anggota DPR RI dalam rapat resmi bersama KPU.
Anggota DPR Soroti Gaya Hidup Pejabat KPU
Melansir Detik.com, Imbas Sewa Jet Pribadi Bikin KPU Kena Sanksi Keras, isu sewa jet pribadi oleh pejabat KPU mulai mencuat saat Komisi II DPR RI menggelar rapat bersama KPU pada 15 Mei 2024 di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Dalam rapat itu, anggota Fraksi Golkar Riswan Tony menyoroti gaya hidup para anggota KPU yang dinilai terlalu mewah dan sering bepergian dengan dana besar.
“Empat tahun ini ngapain aja mereka, tiap minggu ke sini, bolak-balik Jakarta. Kalau 2025 enggak ada Pilkada, anggarannya kecilkan saja, jangan miliar-miliar,” kata Riswan kala itu.
Ia juga menilai, besarnya anggaran membuat gaya hidup pejabat KPU berubah drastis. Ia bahkan menyindir mereka seperti “Don Juan” karena diduga sering dugem dan memakai jet pribadi.
Riswan lantas meminta DKPP untuk membuka secara transparan seluruh penggunaan anggaran tersebut.
Baca Juga: Dari THR hingga Liburan Luar Negeri: 5 Penyalahgunaan Wewenang Pejabat lewat Surat Negara
KPU Klaim Tak Melebihi Anggaran
Ketua KPU Mochammad Afifuddin membantah tudingan tersebut. Dilansir dari Tempo.co, Ketua KPU Klaim Nilai Kontrak Sewa Jet Pribadi Tak Melebihi Pagu Anggaran, Afifuddin menjelaskan bahwa nilai kontrak sewa jet pribadi selama Pemilu 2024 tidak melebihi pagu anggaran.
Ia menyebut, biaya sewa jet pribadi mencapai Rp46 miliar, dan KPU bahkan mendapat potongan harga dari nilai awal kontrak sebesar Rp65 miliar, sehingga terjadi efisiensi sekitar Rp19 miliar.
“Semua sudah sesuai aturan, sudah diperiksa oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dan diaudit BPK,” ujarnya pada (24/5).
Afifuddin juga bilang, seluruh dana berasal dari APBN dan tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) KPU. Menurutnya, tidak ada proses yang disembunyikan dan seluruh prosedur mengikuti aturan pengadaan barang/jasa pemerintah.
DKPP Jatuhkan Sanksi Peringatan Keras
Namun, hasil sidang DKPP tetap menyatakan adanya pelanggaran etik. Dikutip dari Tempo.co, DKPP Beri Sanksi Peringatan Keras ke Ketua dan 4 Komisioner KPU, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Ketua KPU Mochammad Afifuddin dan empat komisioner lainnya, Idham Kholik, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan August Mellaz, serta Sekjen KPU Bernad Darmawan Sutrisno.
Sidang yang dipimpin Ketua DKPP Heddy Lugito pada 21 Oktober 2025 menyebut, mereka terbukti menggunakan jet pribadi mewah jenis Embraer Legacy 650 yang dibiayai dari anggaran negara sebesar Rp90 miliar untuk kontrak sebulan (Januari–Februari 2024).
Sementara itu, satu-satunya komisioner KPU yang lolos dari sanksi adalah Betty Idroos, karena ia menolak menggunakan jet pribadi dalam menjalankan tugas.
Baca Juga: Ketika Anak Diracun Negara, Bisakah Orang Tua Menggugat?
DKPP: Tak Profesional dan Tak Sesuai Tujuan Awal
Anggota DKPP Ratna Dewi Pettalolo menilai, penggunaan jet pribadi oleh para komisioner dan sekjen KPU adalah tindakan tidak profesional.
“Terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu,” katanya.
Menurut Ratna, pesawat itu awalnya direncanakan untuk memantau distribusi logistik Pemilu ke daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Namun, hasil pemeriksaan menunjukkan 59 kali perjalanan jet pribadi itu tidak ada satu pun yang menuju daerah tersebut.
Anggota DKPP lainnya, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, menambahkan bahwa jet tersebut bahkan digunakan untuk perjalanan ke Bali dan Kuala Lumpur, Malaysia, dengan alasan mengecek perhitungan suara luar negeri serta uji kelayakan anggota penyelenggara pemilu di Riau, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur.
KPU: Pemakaian Jet Pribadi Karena Mobilitas Tinggi
Menanggapi hal itu, Afifuddin tetap bersikeras bahwa penggunaan jet pribadi dilakukan karena mobilitas yang sangat tinggi selama masa kampanye.
Ia menyebut, KPU sering harus mengunjungi tiga provinsi dalam sehari, sesuatu yang mustahil dilakukan dengan pesawat komersial reguler karena jadwal yang padat dan risiko keterlambatan.
“Ini murni kebutuhan teknis, bukan gaya hidup. Kami kejar waktu dan efisiensi koordinasi nasional,” kata Afifuddin dalam pernyataannya (Tempo, 24 Mei 2025).
Afifuddin juga menjelaskan bahwa masa kampanye Pemilu 2024 hanya 75 hari, jauh lebih singkat dibanding Pemilu 2019 yang berlangsung 263 hari. Kondisi ini membuat KPU harus bekerja ekstra cepat dalam menyiapkan dan mendistribusikan logistik.
“Situasi luar biasa butuh langkah operasional strategis. Bukan pemborosan atau pelanggaran hukum,” tegasnya.
Kontroversi soal penggunaan jet pribadi oleh pejabat KPU ini jadi titik awal sorotan publik terhadap integritas penyelenggara pemilu. Meski KPU sempat membantah adanya pelanggaran anggaran dan berdalih bahwa penggunaan jet dilakukan demi efisiensi kerja, banyak pihak menilai langkah tersebut justru mencerminkan gaya hidup elitis yang tidak pantas ditunjukkan oleh lembaga negara yang dibiayai uang rakyat.
Kritik semakin tajam setelah DKPP menjatuhkan sanksi etik berupa peringatan keras yang dianggap terlalu ringan. Dari sinilah, berbagai kelompok masyarakat sipil kemudian turun tangan menilai keputusan tersebut tidak cukup memberi efek jera bagi para pejabat KPU.
Baca Juga: Panduan Lengkap Cara Marah kepada Negara yang Baik dan Benar
Koalisi Sipil Nilai Sanksi DKPP terhadap Komisioner KPU Minim Efek Jera
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kembali jadi sorotan usai menjatuhkan sanksi berupa peringatan keras kepada lima komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait penggunaan jet pribadi mewah saat bertugas di Pemilu 2024. Namun, menurut koalisi masyarakat sipil, keputusan ini dinilai terlalu ringan dan tak memberikan efek jera yang cukup.
Dilansir dari Tempo.co, Koalisi Sipil Nilai Sanksi DKPP terhadap Komisioner KPU Minim Efek Jera, kelompok koalisi yang terdiri dari Themis Indonesia, Transparansi Internasional Indonesia (TII), dan Trend Asia atas nama Yayasan Dewi Keadilan Indonesia menilai langkah DKPP masih jauh dari prinsip penegakan etik yang kuat dan berkeadilan.
“Putusan DKPP mencerminkan langkah setengah hati dalam menegakkan akuntabilitas moral penyelenggara pemilu,” ujar Ibnu Syamsu, advokat dari Themis Indonesia, dalam keterangan tertulis kepada Tempo.
Lima komisioner yang dijatuhi sanksi adalah Ketua KPU Mochammad Afifuddin, serta empat anggota lainnya yaitu Idham Kholik, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan August Mellaz. Selain itu, Sekretaris Jenderal KPU Bernad Dermawan Sutrisno juga ikut dikenai peringatan keras.
Menurut anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, penyewaan jet pribadi tersebut menggunakan anggaran negara sebesar Rp 90 miliar dengan kontrak selama satu bulan, dari Januari hingga Februari 2024. Anggaran itu tercatat dalam pos pengadaan dukungan kendaraan distribusi logistik Pemilu.
Koalisi menilai penggunaan fasilitas mewah dengan dana publik bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi juga tanda kemunduran etika kelembagaan. Mereka menegaskan bahwa sanksi berupa peringatan keras tidak sebanding dengan bobot pelanggaran yang bisa mengikis kepercayaan publik terhadap integritas penyelenggara pemilu.
“Keputusan seperti ini bisa membuat publik berpikir bahwa pelanggaran etika tidak punya konsekuensi nyata,” kata Ibnu. “Dalam konteks tanggung jawab publik, tindakan semacam ini seharusnya dijatuhi sanksi berat, bahkan bisa sampai pemecatan untuk memastikan adanya efek jera dan pemulihan marwah KPU.”
Koalisi juga menekankan bahwa sebagai lembaga yang mengemban mandat rakyat, KPU seharusnya jadi contoh dalam menerapkan prinsip kesederhanaan, efisiensi, dan transparansi. Mereka menilai DKPP perlu lebih tegas dalam menegakkan standar etika, terutama saat pelanggaran dilakukan oleh lembaga yang seharusnya menjaga integritas demokrasi.
Meski begitu, Ibnu menyatakan pihaknya tetap menghormati keputusan DKPP. Ia berharap lembaga tersebut dapat lebih proporsional dalam menindak pelanggaran etika di masa depan.
“Penegakan etika yang lemah akan menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi Indonesia,” pungkasnya.
















