Issues

Kontroversi Pembukaan Olimpiade Paris 2024: ‘Queerphobia’ hingga Kritik ‘The Last Supper’

Upacara pembukaan Olimpiade Paris 2024 dianggap menistakan agama karena menampilkan ‘drag queens’. Padahal kenyataannya tak seperti itu.

Avatar
  • August 2, 2024
  • 5 min read
  • 738 Views
Kontroversi Pembukaan Olimpiade Paris 2024: ‘Queerphobia’ hingga Kritik ‘The Last Supper’

Akhir pekan lalu, orang-orang di media sosial (medsos) ramai membicarakan upacara pembukaan Olimpiade Paris 2024. Fokusnya bukan soal kemegahan, jajaran figur publik yang datang, atau penampilan Celine Dion. Namun tablo—visualisasi teatrikal—yang dimeriahkan oleh drag queens dan penari. 

Mereka berdiri di balik meja panjang. Salah satu drag queen di tengah barisan, mengenakan riasan kepala. Kemudian muncul drag queen lain di atas meja, dengan tubuh dicat biru, memakai mahkota bunga, dan hiasan bunga di sekelilingnya. 

 

 

Menurut sebagian orang, tablo tersebut mengejek dan memarodikan lukisan “The Last Supper” karya Leonardo da Vinci. Perjamuan ini sakral bagi umat kristiani, lantaran termasuk dalam kisah sengsara Yesus. Dalam Alkitab tertulis, Perjamuan Malam Terakhir dilakukan Yesus bersama ke-12 murid-Nya sebelum Ia ditangkap dan disalibkan. 

Alasan itulah yang melatarbelakangi sejumlah netizen di medsos—termasuk beberapa tokoh publik seperti Elon Musk dan Piers Morgan—melayangkan tudingan penistaan agama. Mereka bilang, penampilan penari dan drag queens enggak menghargai orang kristiani. Bahkan ada juga komentar queerfobik, yang menilai Olimpiade Paris 2024 adalah woke agendaterhadap queer.  

Namun, apa yang sebenarnya ingin disampaikan lewat tablo di upacara pembukaan Olimpiade Paris 2024? 

Baca Juga: ‘RuPaul’s Drag Race’: Toleransi, Keberagaman, Inklusivitas 

Di Balik Kontroversi Drag Queens di Olimpiade Paris 2024 

Sebenarnya, tablo di Olimpiade Paris 2024 enggak merujuk pada lukisan “The Last Supper”. Lewat akun resmi di X (dulunya Twitter), The Olympics menginterpretasikan Dionysus, dewa perayaan dan pembuat anggur dalam mitologi Yunani. 

“Interpretasi Dewa Yunani Dionysus menyadarkan kita tentang absurditas dan kekerasan di antara manusia,” tulis The Olympics. 

Adalah lukisan “The Feast of the Gods” karya Jan van Bijlert pada 1635, yang digambarkan lewat tablo di Olimpiade Paris 2024. Lukisan ini menampilkan perayaan bacchanal—pesta yang dilakukan para Dewa Yunani untuk merayakan Dionysus. 

Selain Dionysus yang terlihat memegang anggur, ada beberapa Dewa Yunani lain dalam lukisan itu: Apollo dewa matahari, Neptunus yang memegang trisula, Diana dari bulan, dan Venus si dewi cinta. Kemudian ada Minerva—dewi kebijaksanaan, dan Mars sebagai dewa perang. 

Tak dimungkiri, ada kemiripan antara lukisan karya da Vinci dan van Bijlert, yaitu di meja panjang yang membuatnya kelihatan seperti perjamuan. Bijlert sendiri terinspirasi dari “The Last Supper” untuk menggambarkan sebuah pesta. 

Penjelasan di atas diungkapkan oleh sejarawan seni dan arsitektur asal Belanda, Walther Schoonenberg, di akun X-nya. Ia menambahkan, karya Bijlert adalah referensi yang tepat, untuk menggambarkan para dewa Yunani sedang berkumpul di Gunung Olimpus—tempat pertandingan Olimpiade awalnya dilaksanakan. Karena itu, tablo Olimpiade Paris 2024 enggak menyinggung orang kristiani. 

Bahkan, koreografer upacara pembuka Olimpiade Paris 2024, Thomas Jolly menjelaskan, idenya adalah membuat pesta pagan besar-besaran yang berkaitan dengan para Dewa Yunani. Ia enggak punya intensi merendahkan siapa pun lewat karya, dan ingin menyuarakan toleransi terhadap keragaman identitas gender dan seksual. Karenanya, tablo ini dibintangi oleh aktor Prancis Philippe Katerine, yang memerankan Dionysus dengan tubuh yang hampir telanjang dan dicat biru. 

“Saya ingin perayaan ini jadi momen orang-orang berkumpul, sekaligus menyorot kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan yang jadi nilai-nilai negara republik ini,” ujar Jolly. 

Perihal merayakan toleransi dan tak ada intensi mengejek kelompok agama, juga disampaikan oleh juru bicara Olimpiade Paris 2024, Anne Descamps, maupun International Olympic Committee (IOC). Mereka meminta maaf pada orang-orang yang tersinggung. Yang artinya mengakui bahwa The Olympics melakukan kesalahan dan keributan. 

Padahal, enggak ada salahnya menunjukkan keragaman identitas gender dan seksualitas, lewat tablo yang diperankan oleh drag queens—terlepas dari apa pun yang digambarkan. Permintaan maaf Descamps dan IOC justru mencerminkan, The Olympics tunduk pada masyarakat dan nilai-nilai heteronormatif. 

Bardin pun bilang, mereka yang terkejut dengan penampilan drag queens enggak ingin orang-orang queer terlihat, berhubungan dengan seni, agama, atau bagian dari Prancis. 

Baca Juga: Olimpiade Berlin 1936 Hingga Piala Dunia Qatar 2022: Kisah Tuan Rumah Diboikot 

Pernyataan Kontra Netizen yang Queerfobik 

Hugo Bardin—yang dikenal sebagai drag queen bernama Paloma dan membintangi tablo Olimpiade Paris—menyayangkan permintaan maaf Descamps dan IOC. Saat diwawancara Reuters ia bilang, secara enggak langsung, The Olympics menyatakan telah melakukan hal yang merugikan. Sementara realitasnya bukan demikian. 

“Orang-orang resah bukan karena lukisan itu (The Last Supper) kembali direproduksi. Tapi karena orang-orang queer yang melakukannya,” jelas Bardin. 

Soalnya, karya da Vinci tersebut cukup banyak diperagakan ulang lewat berbagai medium, bahkan enggak melulu dalam konteks religius. Misalnya episode The Simpsons di musim ke-16 berjudul “Thank God It’s Doomsday”. Kemudian video klip “Humble” oleh Kendrick Lamar, dan Watchmen (2009) garapan Zack Snyder—saat merayakan Sally Jupiter yang pensiun memberantas kejahatan. 

Karena itu, orang-orang yang terkejut, berkomentar bahwa tablo Olimpiade Paris 2024 adalah woke agenda, atau menilai drag queens enggak pantas tampil, sebenarnya mencerminkan queerfobia. Bardin pun bilang, mereka yang terkejut dengan penampilan drag queens enggak ingin orang-orang queer terlihat, berhubungan dengan seni, agama, atau bagian dari Prancis. 

Baca Juga: Dari ODHIV sampai AFAB, Representasi Pemenang Drag Race yang Makin Beragam 

Lagi pula, drag bukanlah pertunjukan untuk menyenangkan siapa pun. Apalagi budaya patriarki dan nilai-nilai heteronormatif di masyarakat yang mengopresi. Drag justru ingin mengkritik ketidaksetaraan gender dan memberikan kebebasan berekspresi.  

“Drag queens pengen nunjukin, kita bisa kok memainkan aturan-aturan itu (nilai-nilai heteronormatif) sekaligus menyatukan orang-orang,” kata Bardin. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *