December 5, 2025
Environment Issues Politics & Society

6 Pernyataan Asbun dari Pejabat Publik Saat Banjir

Saat korban banjir masih berjuang memulihkan hidup, beberapa pejabat justru melontarkan komentar yang dinilai tidak sensitif. Siapa saja pejabat yang ‘asbun’ itu?

  • December 5, 2025
  • 9 min read
  • 216 Views
6 Pernyataan Asbun dari Pejabat Publik Saat Banjir

Banjir bandang dan longsor yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa hari terakhir enggak cuma menghasilkan korban jiwa dan kerusakan fisik masif. Namun juga membuka perdebatan baru soal pernyataan kontroversial dari sejumlah pejabat publik. 

Di tengah ribuan korban yang masih berjuang memulihkan hidup, beberapa komentar pejabat justru dinilai tidak empatik, enggak relevan, bahkan berpotensi mempolitisasi situasi kedaruratan. 

Diskusi pun mengarah pada bagaimana pejabat publik seharusnya berkomunikasi saat krisis, hingga kurangnya sensitivitas yang rentan memperburuk kepercayaan warga terhadap pemerintah. 

Sementara, respons publik di media sosial memperlihatkan keresahan yang sama. Bahwa di tengah bencana sebesar ini, warga berharap pejabat hadir dengan empati dan solusi, bukan pernyataan yang defensif, meremehkan, atau bernuansa politik. 

Berikut rangkuman enam pernyataan pejabat yang paling banyak menuai kritik selama penanganan bencana di Sumatera belakangan ini. 

Baca Juga: Banjir  adalah Pengingat untuk Bertobat (Ekologis) 

1. Kepala BNPB Dinilai Mengecilkan Situasi Bencana 

Dalam artikel Tirto berjudul Ketika Pernyataan Pejabat Malah Memperkeruh Situasi Bencana, Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto sempat membantah narasi “situasi mencekam” yang beredar di media sosial. Menurutnya, kondisi lapangan tidak separah yang ramai di medsos. 

Ia mengatakan pemerintah belum menetapkan status bencana nasional karena “situasi di lapangan tidak mencekam seperti yang beredar di media sosial.” 

“Memang kemarin kelihatannya mencekam, ya, karena berseliweran di media sosial… Tapi begitu sampai di sini… kemudian tidak hujan,” ujar Suharyanto saat pertemuan media, Jumat (28/11). 

Suharyanto juga menambahkan beberapa wilayah di Sumatera Utara sebenarnya sudah lebih terkendali, kecuali Tapanuli Tengah yang masih terdampak serius. 

Namun pernyataan ini berubah setelah ia melihat langsung kondisi Tapanuli Selatan. Ketika berkunjung ke Desa Aek Garoga, Batang Toru, ia menyampaikan permintaan maaf kepada Bupati Tapanuli Selatan, Gus Irawan. 

Surprise (terkejut), saya tidak mengira seperti ini. Saya mohon maaf Pak Bupati. Ini bukan berarti kami tidak peduli,” kata Suharyanto, (1/12). 

Respons ini memicu diskusi publik tentang sensitivitas pejabat dalam merespons bencana yang berdampak langsung pada warga. 

Baca Juga: ‘Update’ Banjir Sumut: Warga Bantu Warga Saat Negara Tak Ada 

2. Kemenhut Dapat Sorotan Soal Asal-Usul Kayu Gelondongan 

Tak kalah ramai dibahas, pernyataan Kementerian Kehutanan (Kemenhut)—dipimpin Menteri Raja Juli Antoni—turut menuai kritik. Video viral yang memperlihatkan kayu-kayu gelondongan besar terbawa arus banjir di Sumatera membuat publik menghubungkannya dengan deforestasi

Menurut laporan Liputan 6, Kontroversi Pernyataan Kemenhut soal Asal Muasal Gelondongan Kayu Besar Terbawa Arus Banjir di , Kemenhut menyebut bahwa kayu tersebut kemungkinan merupakan kayu bekas tebangan yang sudah lapuk dan terseret banjir. 

Dirjen Gakkum Kemenhut, Dwi Januanto Nugroho, menjelaskan: 

Kayu-kayu itu diduga berasal dari area penggunaan lain (APL) dan dimiliki oleh Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT), mengikuti regulasi seperti SIPU (Sistem Informasi Penataan Hasil Hutan)” (28/11/2025). 

Ketika ditanya soal kemungkinan adanya pencucian kayu ilegal lewat skema PHAT, ia tidak menutup peluang tersebut. 

“Kawan-kawan masih ngecek, ya tapi kita sinyalir ke situ,” ujarnya. 

Pernyataan ini memicu kritik warganet karena banyak kayu dalam video terlihat terpotong rapi, bukan seperti kayu lapuk alami. 

Di sisi legislatif, Anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan meminta pemerintah membentuk tim investigasi untuk menelusuri asal kayu tersebut. 

“Apakah ada illegal logging? Dan siapa pelakunya?” kata Daniel kepada Antara, Sabtu (29/11/2025). 

Klarifikasi lanjutan dari Dwi Januanto menegaskan bahwa Kemenhut tidak pernah menutup kemungkinan adanya praktik ilegal, termasuk pembalakan liar. Ia menyebut kayu yang hanyut bisa berasal dari banyak sumber: pohon lapuk, material sungai, penebangan legal, hingga penyalahgunaan PHAT. 

Dalam klarifikasinya pada Minggu (30/11/2025), ia mengatakan: 

“Penjelasan kami tidak pernah dimaksudkan untuk menafikan kemungkinan adanya praktik ilegal… setiap unsur illegal logging tetap diproses sesuai ketentuan.” 

Selama 2025, Gakkum Kemenhut memang mengungkap sejumlah kasus besar, seperti: 

  • Aceh Tengah (Juni 2025): penebangan ilegal di luar kawasan PHAT dengan barang bukti 86,60 m³ kayu ilegal. 
  • Solok, Sumatera Barat (Agustus 2025): 152 batang kayu/log serta alat berat disita. 
  • Kepulauan Mentawai & Gresik (Oktober 2025): 4.610,16 m³ kayu bulat asal Hutan Sipora ikut disita. 
  • Sipirok, Tapanuli Selatan (Oktober 2025): empat truk bermuatan 44,25 m³ kayu bulat diamankan dengan dokumen PHAT bermasalah. 

Menurut Dwi: 

“Kejahatan kehutanan tidak lagi bekerja secara sederhana… kami menelusuri dokumen, alur barang, dan alur dana di belakangnya.” 

Baca Juga: Bantuan ‘Antek Asing’, Penjarahan, hingga Pejabat Performatif: 8 Fakta Penting Banjir   

3. Bupati Aceh Tenggara Salim Fakhry dan Seruan agar Prabowo Jadi Presiden Seumur Hidup 

Pernyataan Bupati Aceh Tenggara, Salim Fakhry, ikut menjadi sorotan setelah ia melontarkan komentar tak terduga di hadapan warga yang terdampak banjir bandang. Di tengah kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke wilayah tersebut, Salim menyerukan harapan agar Prabowo bisa menjadi Presiden RI seumur hidup—sebuah pernyataan yang membuat banyak pihak, termasuk Prabowo, terkejut. 

Pada (1/12), Prabowo datang langsung ke Aceh Tenggara untuk meninjau kerusakan yang ditimbulkan banjir bandang. Salim menyambut kedatangan Presiden dan mendampingi pertemuan dengan warga. 

“Alhamdulillah… yang kami banggakan, yang sangat kami hormati, Bapak Presiden Republik Indonesia,” ujar Salim dalam sambutannya. 

Ia mengaku tidak menyangka Prabowo akan datang langsung melihat kondisi masyarakat yang rumah dan lingkungannya hancur akibat banjir, terutama di Desa Bandar Banu, Kecamatan Bukit Tusabu. Menurutnya, kedatangan Presiden memberi harapan baru bagi warga yang sempat terisolasi. 

Dalam suasana penuh antusiasme itu, Salim mengajak warga menunjukkan dukungan mereka kepada Prabowo. 

“Kalau kita cinta kepada Bapak Presiden, angkat tanganmu semua… Tidak ada Presiden seperti beliau,” serunya. 

Tak berhenti di situ, Salim menyampaikan harapan agar Prabowo bisa menjabat sebagai Presiden RI seumur hidup. 

“Insyaallah tadi ada video yang dibuat Bapak Presiden, kalau bisa Bapak Prabowo menjadi Presiden seumur hidup,” katanya. 

Pernyataan ini, dikutip dari Media Indonesia, Bencana Sumatera dan Pejabat Negara yang Dinilai Nirempati, dinilai tidak pantas disampaikan saat masyarakat masih bergulat dengan dampak bencana. Fernando Emas, Direktur Rumah Politik Indonesia, menyebut komentar tersebut berpotensi mempolitisasi situasi kedaruratan dan mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan pembinaan agar kepala daerah lebih berhati-hati ketika berbicara di ruang publik. 

4. Pernyataan Prabowo: Tidak Nyambung dengan Akar Masalah Banjir Sumatera 

Dalam laporan Kompas, Prabowo ke Korban Banjir di Padang: Kalian Suka Enggak kalau Saya Sikat Itu Maling Semua?, suasana dialog Presiden Prabowo Subianto dengan warga terdampak banjir di Kasai Permai, Padang Pariaman (1/12/2025), sempat menjadi sorotan. Di hadapan para pengungsi, Prabowo menyinggung soal upayanya “menyikat maling negara” agar kekayaan Indonesia tidak bocor dan bisa dialirkan kembali ke rakyat. “Supaya tidak ada kebocoran, tidak ada maling-maling yang mencuri uang rakyat,” ujarnya. Pertanyaan lanjutannya—“Kalian suka enggak kalau saya sikat itu maling-maling semua?”—langsung disambut riuh warga. 

Prabowo menegaskan bahwa uang hasil rampasan koruptor nantinya akan digunakan untuk program-program yang menyentuh masyarakat. Ia juga menyampaikan apresiasi atas keteguhan warga menghadapi bencana, sembari menekankan pentingnya solidaritas dan kebersamaan. 

Masalahnya, narasi soal koruptor dan “maling negara” ini tidak menjawab penyebab banjir Sumatera. Bencana besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat justru diduga kuat terkait pembukaan lahan besar-besaran, termasuk pembabatan hutan untuk perkebunan sawit, yang menghilangkan tutupan vegetasi dan memperburuk kerentanan hidrologis. Pernyataan presiden, meski mendapat sambutan hangat, terasa melompat jauh dari akar persoalan ekologis di lapangan. 

Tidak berhenti di situ, Presiden Prabowo juga menyinggung pentingnya pendidikan lingkungan masuk ke dalam silabus sekolah. Mengutip Antara, Banyak bencana, Prabowo minta pendidikan lingkungan masuk ke silabus, ia menekankan bahwa perubahan iklim dan pemanasan global harus menjadi bagian dari pembelajaran agar generasi muda paham pentingnya menjaga hutan dan sungai. 

Namun lagi-lagi, pernyataan ini terdengar kurang nyambung dengan konteks bencana yang sedang dibahas. Menambahkan topik pendidikan lingkungan ke kurikulum memang penting, tetapi tidak menjawab isu mendesak: praktik industri ekstraktif dan deforestasi yang selama bertahun-tahun merusak bentang alam Sumatera. Ketika sebagian besar banjir disebabkan hilangnya hutan penahan air, respons yang lebih dibutuhkan justru adalah evaluasi perizinan, pengawasan ketat, dan keberanian menindak pembabatan ilegal—bukan sekadar wacana kurikulum. 

Prabowo juga menyampaikan bahwa pemerintah telah mengirimkan bantuan melalui jalur darat dan udara. Namun kondisi medan sulit, jalan-jalan terputus, dan cuaca ekstrem membuat penanganan di lapangan tidak mudah. 

Baca Juga: ‘Tiga Hari Tak Ada Kabar dari Anak Saya’: Kisah Korban Banjir   

5. Klarifikasi Panglima TNI: Dianggap Tidak Sensitif pada Korban 

Video viral yang menunjukkan warga memungut beras bantuan yang berserakan di tanah memicu banyak pertanyaan publik. Dalam artikel Antara, Panglima jelaskan penyebab tercecernya beras bantuan korban banjir, insiden itu terjadi di  Utara. Beras tersebut tercecer karena kemasannya pecah setelah dijatuhkan dari helikopter TNI—metode yang akhirnya membuat warga harus mengambil butir demi butir bantuan dari tanah. 

Mengutip Viva, TNI Pastikan Insiden Beras Hancur untuk Korban Bencana di  Tak Terulang, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menjelaskan bahwa lokasi bencana menyulitkan pendaratan sehingga bantuan harus “dilemparkan” dari udara. Ia menyebut keputusan pilot diambil demi keselamatan anggota dan perlindungan alutsista. “Daripada dibawa lagi ke pangkalan udara, lebih baik di-drop dan dapat dimanfaatkan masyarakat,” katanya dalam konferensi pers di Lanud Halim Perdanakusuma (3/12/2025). 

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak juga menyampaikan pandangan serupa. Menurutnya, helikopter tidak bisa mendarat sembarangan karena landasan harus benar-benar siap. “Karena kondisi bantuan harus diberikan, kita coba untuk dilempar,” kata Maruli. 

Masalahnya, klarifikasi dari Panglima TNI dan KSAD justru memunculkan kritik baru. Alih-alih menjelaskan solusi atau meminta maaf atas penyaluran bantuan yang membahayakan martabat korban, pernyataan mereka terdengar seperti pembenaran bahwa “melempar” bantuan adalah opsi terbaik. 

Bagi banyak orang, narasi ini terkesan tidak sensitif—bahkan seperti menyiratkan bahwa lebih baik berasnya dilempar saja ketimbang memastikan korban menerima bantuan dengan aman dan layak. Dalam konteks bencana yang sudah membuat warga kehilangan rumah, harta, dan rasa aman, komunikasi seperti ini terasa sangat jauh dari empati. 

6. Warga Masih Sulit Makan, Menpora Erick Thohir Malah Rencanakan Kirim Alat Olahraga 

Saat warga di wilayah bencana masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar, wacana bantuan baru dari pemerintah justru memicu perdebatan. Dikutip dari Warta Kota, Di Tengah Warga Kesulitan Makan, Menpora Erick Thohir Berencana Kirim Alat Olahraga, Kementerian Pemuda dan Olahraga tengah menyiapkan program pemulihan jangka menengah dengan mendistribusikan alat-alat olahraga buatan lokal ke masyarakat terdampak. Langkah ini disebut sebagai bagian dari pemulihan psikososial melalui aktivitas fisik. 

Menteri Pemuda dan Olahraga, Erick Thohir, mengatakan bantuan tersebut akan disalurkan beberapa bulan ke depan, setelah fase tanggap darurat selesai. “Nanti pascabencana… kami mulai kembali membahagikan para korban bencana, salah satunya dengan mendistribusikan alat-alat olahraga,” ujar Erick, dikutip dari Antara (3/12/2025). Ia menambahkan bahwa seluruh alat olahraga yang akan dibagikan merupakan produk dalam negeri, sekaligus bentuk dukungan terhadap industri olahraga Indonesia. 

Menurut Erick, pemulihan pascabencana tidak hanya soal infrastruktur atau bantuan ekonomi, tetapi juga menyentuh kesehatan mental dan kebugaran warga. Kebijakan ini selaras dengan pendekatan Kemenpora yang melihat olahraga sebagai medium pemersatu dan sarana pemulihan komunitas. 

Namun rencana tersebut menuai respons beragam di publik. Banyak warganet mempertanyakan prioritas kebijakan ini, mengingat kebutuhan warga yang mendesak adalah makanan, tempat tinggal, dan layanan dasar. Di platform X, seorang pengguna bahkan menulis, “Orang pada kelaparan kok disuruh olahraga toh, Pak!” 

Sentimen itu mencerminkan kegelisahan yang cukup kuat: bahwa pemulihan bencana seharusnya dimulai dari kebutuhan paling fundamental sebelum melangkah ke program-program pendukung lainnya. Hingga kini, Kemenpora belum memberikan tanggapan langsung terkait kritik warganet tersebut. 

About Author

Kevin Seftian

Kevin merupakan SEO Specialist di Magdalene, yang sekarang bercita-cita ingin menjadi dog walker.