Sebelum pandemi Covid-19, tak pernah terbayang aku akan menikah lagi di usia 43 tahun. Dua bulan usai akad, suamiku kembali ke Australia untuk bekerja. Rencananya aku menyusul setelah urusan anak dan tetek bengek dokumen selesai. Namun, tak ada yang menduga perbatasan Australia akan ditutup pada Maret 2020. Ini membuyarkan semua rencana yang sudah kami susun sempurna selama setahun terakhir.
Visa dan exemption for immediate family akhirnya rampung setelah delapan belas bulan. Pada 7 Juli 2021, aku terbang ke Sydney. Aturan di sana super ketat. Setiap pendatang wajib menjalani karantina empat belas hari di hotel yang ditunjuk pemerintah, dengan biaya sekitar AUD3.000. Aku ditempatkan di Amora Hotel Jamison Sydney, dan di sinilah babak baru yang tidak terduga dimulai: Perjuangan melawan rindu kuliner Indonesia.
Menu hotel terasa sangat asing buat lidah “perut kampung” sepertiku. Sarapan yang biasanya bubur ayam, nasi uduk, atau lontong sayur berganti menjadi roti, sereal, dan croissant. Setengah jam setelah makan, lapar kembali datang. Benar-benar kenyang yang fana. Makan siang tak kalah membingungkan: Lentil, salad, dan makanan sehat lain yang sebetulnya tidak salah. Masalahnya, aku butuh nasi dan sambal untuk merasa benar-benar makan.
Baca juga: Diplomasi Kuliner: Sedia Makanan Indonesia di Tapas Bar Porto

Kerinduan itu memuncak beberapa hari kemudian. Aku mengunduh Uber Eats, mencari restoran Indonesia, dan menemukan nasi rendang. Bayangannya langsung muncul, kuah gulai, sambal ijo, daun singkong, rendang pekat ala warung Padang. Sebelum makanan datang saja aku sudah bahagia dan ngiler dibuatnya.
Ketika bungkus makanan kubuka, harapanku runtuh. Yang terpampang cuma daging kecil-kecil, bumbu tidak kental, sambal sedikit dan tidak pedas. Jauh dari rasa Bopet Mini, langgananku di Benhil, Jakarta. Sejak kekecewaan itulah, aku meminta chilli flake ke kamar setiap hari. Sebuah ikhtiar kecil agar makanan hotel terasa lebih akrab di lidah.
Memasuki hari ketujuh, bayangan Indomie cabe rawit mulai muncul hampir setiap jam. Beruntung seorang teman yang baru selesai karantina mengirimkan “paket penyelamat”. Isinya Pop Mie berbagai rasa, cabai rawit segar, saus sambal, camilan Indonesia, dan teh botol. Rasanya seperti menerima sebungkus rumah.
Baca juga: Bikin Oncom di Kanada: Hidupkan Kuliner Tradisional bagi Diaspora Indonesia
Dapur yang Melipat Jarak
Empat tahun hidup di Australia membuatku mulai terbiasa dengan pola makan suami, meski rindu makanan Indonesia tidak pernah benar-benar hilang. Bakso, mi ayam, ketoprak gerobakan, asinan Betawi, sate kambing, sate Maranggi—menyebutnya satu per satu saja sudah cukup untuk memunculkan aroma dalam ingatan.
Sydney punya restoran Indonesia, tetapi rasanya sering terasa “nyaris, tapi tidak sama”. Mungkin karena konteksnya berbeda. Tidak ada hiruk-pikuk warung, tidak ada abang gerobak yang mengulek sambal, tidak ada nasi panas yang mengepul begitu disajikan. Masakan Indonesia tidak hanya soal bumbu tapi juga suasana.
Akhirnya aku mengambil jalan lain: Belajar memasak sendiri. Aku mulai dari YouTube dan resep online. Lama-lama, pastel buatanku jadi lumayan. Rawonku bisa diterima lidahku sendiri. Bahkan aku berhasil membuat bakso. Suamiku selalu kucoba libatkan, menjadi tester (Baca: korban) pertama untuk setiap percobaan dapurku.
Baca juga: ‘Duk Duk’ Cobek: Suara Kecil yang Selalu Membawaku Pulang
Aneh juga membayangkan karantina yang membuatku rindu makanan Indonesia, ternyata mendorongku jadi “koki dadakan.” Dapur kecil kami di Sydney pun berubah menjadi pintu kecil menuju rumah yang jauh.
Rindu tidak pernah benar-benar hilang, tapi sekarang aku punya cara untuk menjangkaunya. Adalah ulekan, wajan, dan sambal pedas buatan tangan sendiri. Perut kenyang, hati pun ikut senang. Mungkin memang begitu korelasi jodoh, menu, dan hidup yang berjalan tak terduga: Sesuatu bisa terasa asing dulu, sebelum akhirnya menjadi rumah.
Pinny tinggal di Sydney, Australia dan bekerja di hospitality industri yang membuatnya selalu ceria dan murah senyum. Pinny adalah seorang Ibu yang tangguh, energik, dan punya prinsip pantang menyerah dalam menjalani hidup.
Artikel ini merupakan bagian dari serial yang ditulis dan disusun oleh komunitas penulis diaspora Magdalene. Mereka banyak menceritakan soal suka duka hidup di negara asing dan bagaimana mengatasinya saat jauh dari rumah.
















