Issues Politics & Society

Kisah Mereka yang Mengais Rupiah dari Timah 

Meski diklaim merugikan ekonomi negara, merusak lingkungan, dan mengorbankan kesehatan, banyak warga Bangka Belitung sulit lepas dari ketergantungan timah.

Avatar
  • May 8, 2024
  • 6 min read
  • 385 Views
Kisah Mereka yang Mengais Rupiah dari Timah 

April lalu, kita dihebohkan dengan dugaan korupsi PT Timah 2015-2022. Jaksa Agung menaksir, jumlah kerugian negara mencapai Rp271 triliun. Usai kasus ini mencuat, roda perekonomian di Bangka Belitung seketika lesu. Pasalnya, banyak warga yang menggantungkan hidupnya dari usaha timah. Dul salah satunya. 

Pria asal Kecamatan Membalong, Belitung itu sudah jadi penambang timah sejak 2015. Hasil tambang ini ia gunakan untuk menghidupi istri dan anak-anaknya. Namun, sejak kasus rasuah mencuat, Dul harus memutar otak mencari pekerjaan baru. 

 

 

Memang saat artikel ini ditulis, korupsi PT Timah telah memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan berdampak pula pada warga sekitar yang mengais rejeki dari timah. Persediaan timah yang dimiliki warga pun tak bisa dijual karena sebagian perusahaan menutup usahanya, lantaran takut kena razia. 

“Sekarang kondisi bisnis timah kayak gini. Buat makan aja susah, belum lagi bayarin sekolah anak, beli beras aja enggak mampu,” ucap Dul pada Magdalene.  

Ucapan Dul rupanya bukan pepesan kosong. Saat saya mudik Lebaran tempo hari, banyak sekali toko di Gantung Belitung Timur, yang biasanya ramai pengunjung bahkan di hari libur, tutup total. Bahkan, sepinya aktivitas perekonomian warga sudah terjadi berminggu-minggu sebelum Lebaran tiba.  

Sebagai orang asli Belitung, saya paham betul kenapa setiap bisnis timah melemah, perekonomian warga ikut ambruk. Itu tak lain karena doktrin turun-temurun bahwa warga Belitung takkan bisa hidup tanpa timah. Di sini timah dianggap sebagai satu-satunya sumber kesejahteraan. 

“Beberapa pengusaha meyakinkan masyarakat kalau ini satu-satunya jalan menuju kesejahteraan. Padahal jika timah dibabat habis, maka semua sektor dan ruang hidup rakyat di sana pun akan terpuruk,” ucap Melky Nahar, Koordinator Nasional, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) kepada Magdalene, April lalu. 

Baca juga: Membela Berujung Penjara: 5 Aktivis Lingkungan yang Dikriminalisasi Negara

Sejak Kapan Ketergantungan Timah Bermula? 

Komoditi timah di Bangka Belitung sudah terkenal sejak berabad-abad yang lalu. Enggak heran karena total produksi timah di daerah ini mencapai 90 persen dari total timah di Tanah Air, tulis Kompas. 

Saya membuka laman resmi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Di sana disebutkan, INVENTARIS ARSIP PT TIMAH (Persero) Tbk 1950-1991 mencatat, aktivitas tambang timah marak sejak akhir abad ke-17. Tepatnya sejak Kesultanan Palembang meneken perjanjian dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Kongsi Dagang Hindia Timur. Di sini mereka memberikan hak monopoli perdagangan timah di Bangka Belitung, dan tak boleh menjalin kerja sama dengan negara lain. 

Imbasnya, pada abad ke-18, banyak penambang Tiongkok sengaja didatangkan untuk memenuhi kuota timah yang tiba-tiba membludak. Hal ini juga salah satu faktor mengapa penduduk Bangka Belitung, mayoritas adalah keturunan Tionghoa, dan sebagian besar mengeruk untung dari bisnis timah. 

Para penambang Tiongkok ini juga membawa inovasi dengan menggali lubang lebih dalam—atau yang biasa disebut kolong. Sebagai informasi, sebelum kedatangan penambang luar, pencarian timah sebatas di permukaan daratan saja. 

Tiga tahun setelahnya, bisnis tambang mulai diambil alih oleh Belanda. Di masa inilah timbang timah berjaya di Bangka Belitung. Hal ini juga ditunjukkan dengan berdirinya tiga perusahaan pengolahan timah, yaitu Singkep Tin Exploitatie Maatschappij, Tin Winning Bedrijf, dan Gemeenschappelijke Mijnbouw Maatschappij Billiton. Meski sempat merosot pasca-Perang Dunia I, tapi industri ini selalu menemukan jalan untuk terus beroperasi. 

Baca juga: Wajib Lapor Barang Bawaan: Bukan Kali ini Saja Bea Cukai Bikin Repot 

Mulai Marak Penambang Timah Ilegal 

Dilansir dari Katadata, tiga perusahaan peninggalan Hindia Belanda di atas beralih status jadi perusahaan negara pada 1950-an. Tin Winning Bedrijf menjadi PN Tambang Timah Bangka, Gemeenschappelijke Mijnbouw Maatschaappij Billiton menjadi PN Tambang Timah Belitung, dan Singkep TIN Exploitatie Maatschappij menjadi PN Tambang Timah Singkep. 

Kemudian pemerintah membentuk Badan Pimpinan Umum atau BPU Timah untuk mengawasi ketiga PN (Perusahaan Negara) tersebut. Pada 1968 BPU Timah dan tiga perusahaan negara di bidang pertambangan timah, serta Projek Peleburan Timah Muntok atau PELTIM dilebur menjadi satu perusahaan baru, bernama PN Tambang Timah. 

Tapi setelah masa orde baru timbul, PN Tambang Timah ini berubah menjadi perseroan terbatas. Dan dibentuklah PT Timah (Persero) pada 1976 yang kita kenal sekarang. Penambangan timah pada era ini juga tak bisa sembarangan, karena semuanya dikuasai oleh PT Timah Tbk. 

Memasuki masa Reformasi 1998, industri timah kendati masih dimonopoli PT Timah, tapi juga dibarengi kehadiran penambang timah ilegal. Saya ingat, di zaman-zaman itu, banyak orang “mendadak kaya” karena aktivitas tambang ilegal. Ekonomi meningkat, tapi di sisi lain, lahan hijau di tanah kelahiran saya semakin tipis. Limbah dan kolong bekas pun ditinggalkan begitu saja tanpa mengindahkan aturan. Korupsi di saat bersamaan tak terhindarkan. 

“Melihat dari aspek ekonomi, peluang-peluang untuk para pemain tambang ilegal memang menguntungkan. Dari sisi biaya mungkin jauh lebih rendah. Tapi kita juga harus berbicara dari sisi offtaker-nya, dalam hal ini PT Timah juga melakukan hilirisasi,” ujar Kepala Center of Industry, Trade and Investment INDEF Andry Satrio Nugroho kepada Magdalene

Jika dilihat situasinya kini, semakin banyak perusahaan kecil yang mempekerjakan rakyat kecil untuk menambang timah secara ilegal. Mereka membuat masyarakat berpikir, bisnis timah cuma menghasilkan satu hal: Keuntungan besar. Sementara, ekses bisnis timah dan kerusakan lingkungan tak pernah jadi topik obrolan. 

Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia bilang pada Magdalene, dalam kasus korupsi terbaru Rp271 triliun, ada kerusakan lingkungan yang masuk dalam hitung-hitungan kerugian negara. “Enggak hanya perekonomian yang terdampak, ekologi pun ikut menjadi rusak akibat kolong bekas tambang timah dan juga limbah-limbahnya yang mencemari lingkungan,” ucapnya. 

Kita bisa melihat beberapa tahun belakangan banjir bandang mulai ramai terjadi di Bangka Belitung. Tak cuma itu, laut pun ikut tercemar karena aktivitas pertambangan di darat tak lagi menjanjikan. Belum lagi limbah yang dibuang sembarangan hingga mencemari air konsumsi warga sekitar.  

Baca juga: Politik Bahasa Penyintas Korupsi ala KPK, Hanya Ada Satu Kata: Lawan!

Pemerintah Harus Ambil Peran 

“Aku sih enggak muluk-muluk, kak. Semoga karena kasus korupsi Rp271 T kemarin, pemerintah bisa melihat satu hal. Bahwa masih banyak warga yang bergantung pada timah. Pemerintah perlu mulai memikirkan nasib kami yang terbiasa bergantung pada timah di masa depan,” ujar Yanto, penambang timah di Gantung, Belitung. 

Arie menambahkan, korupsi timah ini bisa jadi momentum berharga agar pemerintah berkaca.  

“Pemerintah sebenarnya harus banyak belajar, termasuk belajar hati-hati memberikan perizinan AMDAL, lingkungan, dll. kepada korporasi, khususnya di sektor sumber daya alam. Yang mereka pikirkan hanyalah keuntungan. Mereka tidak menghitung dampak kerugian lingkungannya gitu,” tuturnya. 

Tak cuma soal perizinan. Kontrol ketat saat dan pasca-aktivitas tambang juga mesti dikedepankan. Misalnya, manajemen tentang reklamasi lahan bekas timah. Menurut Arie, biaya reklamasi tersebut wajib disetor oleh perusahaan tambang yang terlibat. 


Avatar
About Author

Chika Ramadhea

Dulunya fobia kucing, sekarang pencinta kucing. Chika punya mimpi bisa backpacking ke Iceland.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *