Issues Opini

Mau Bikin Kota Ramah Disabilitas? Saatnya Belajar dari Jogja

Bagaimana mempromosikan partisipasi dan inklusi sosial di kampung kota? Kita bisa belajar dari Jogja.

Avatar
  • March 6, 2024
  • 6 min read
  • 791 Views
Mau Bikin Kota Ramah Disabilitas? Saatnya Belajar dari Jogja

Sepertinya sudah jadi hal umum kalau kampung kota dijululi kumuh, padat, fasilitas dasar terbatas, dan hunian khusus wong cilik.

Meski begitu, kampung kota memiliki posisi penting dalam konteks urbanitas di Indonesia karena menjadi tempat hidup bagi mayoritas masyarakat perkotaan. Hal ini menempatkan kampung kota sebagai tempat tinggal kelompok rentan seperti masyarakat berpenghasilan rendah, lanjut usia (lansia), dan penyandang disabilitas.

 

 

Kampung kota adalah tipe permukiman khas, yang biasanya dibangun secara swadaya oleh migran dari pedesaan. Hunian di kampung kota memiliki setting informal. Warga kampung kota memiliki otonomi untuk menentukan lingkungan kehidupan mereka. Secara geografis, kampung kota memiliki karakteristik yang beragam. Contohnya adalah Kampung Ledok Code di Yogyakarta yang berasosiasi dengan Sungai Code dan Kampung Nelayan Kenjeran yang memiliki keterkaitan dengan kawasan pesisir di Surabaya, Jawa Timur.

Sebagai adaptasi dari penelitian kolaboratif saya bersama Ariane Utomo dan Ilan Wiesel dari Universitas Melbourne, Australia, yang diterbitkan di jurnal Disability & Society, artikel ini membahas bagaimana inklusi sosial bagi penyandang disabilitas dapat dipromosikan melalui aksi-aksi sederhana yang muncul dari interaksi penyandang disabilitas dengan elemen sosio-kultural kampung kota.

Mengambil studi kasus mobilitas 14 penyandang disabilitas di Tegalrejo, Kota Yogyakarta, saya akan fokus pada tiga praktik utama yang dapat mempromosikan dan/atau menghambat partisipasi dan inklusi sosial bagi penyandang disabilitas.

Apa saja praktik tersebut?

Baca juga: Seberapa Inklusif Fasilitas Umum di Ibu Kota: Pengalamanku Keliling Jakarta bareng Teman-teman Disabilitas

‘Ngalah’ Mendorong Inklusi Sosial

Ngalah (mengalah dalam bahasa Indonesia baku) merupakan salah satu praktik tertinggi dalam kultur masyarakat Jawa yang menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi.

Salah satu partisipan pengguna kursi roda, usia 55 tahun, yang kami wawancara bercerita, ketika ia pergi ke kolam pemancingan seorang diri dan melewati gang-gang kampung, pengendara sepeda motor mengalah dan memberikan ruang agar ia dapat lewat terlebih dahulu.

“Kalau ada motor atau mobil, mereka berhenti atau pelan-pelan (memberi jalan)”, tuturnya dalam sebuah sesi wawancara berjalan (go-along interview).

Pengalaman bertemu pengendara sepeda motor dengan sikap positif ini memberikan rasa aman ketika ia beraktivitas di luar rumah.

Pengalaman di atas sangat kontras dengan apa yang dituturkan oleh partisipan lain yang berusia 62 tahun. Ia merasa tidak aman dan takut ketika bertemu dengan pengendara sepeda motor karena pengalaman buruk yang pernah ia alami.

Tak mampu berjalan cepat karena menggunakan tongkat, ia merasa sering dianggap mengganggu arus lalu lintas. Pengendara sepeda motor kerap mengejek dan membunyikan klakson sebagai tanda untuk menepi agar kendaraan dapat lewat.

Pengalaman ini membuatnya enggan untuk melakukan aktivitas di luar rumah pada siang hari saat lingkungan kampung ramai karena ia takut hal yang sama akan terulang kembali.

Kedua cerita di atas menggambarkan perilaku ngalah dapat mengakomodasi munculnya sikap positif dan afektif dari orang lain. Sikap inilah yang akan mendorong inklusi sosial dan partisipasi dalam aktivitas sehari-hari, menutup pintu terjadinya eksklusi bagi penyandang disabilitas dalam arena publik.

Sebaliknya, praktik-praktik kurang baik seperti mengejek dan membunyikan klakson di jalan akan mendorong eksklusi penyandang disabilitas dan membuat mereka merasa tidak diinginkan kehadirannya di komunitas sekitar.

Perilaku ngalah juga dapat diterapkan dalam konteks lain, misalnya dengan memprioritaskan tempat duduk bagi penyandang disabilitas di acara hajatan kampung atau mempersilakan mereka masuk terlebih dahulu ke tempat ibadah.

Cara-cara sederhana ini merupakan bentuk penghormatan terhadap martabat penyandang disabilitas sehingga mereka dapat menjadi bagian dari komunitas masyarakat di kampung kota secara utuh.

Baca juga: Kereta Cepat Jakarta-Bandung Belum Ramah Penyandang Disabilitas: Riset Terbaru

‘Saling’ Menciptakan Hubungan Relasional

Saling dapat diartikan sebagai aksi timbal balik yang dilakukan antar individu seperti praktik peduli sesama atau tolong-menolong. Wawancara kami menunjukkan bahwa partisipan mempercayai saling sebagai nilai etika standar yang harus dipraktikkan baik oleh penyandang maupun bukan penyandang disabilitas.

Saling bukan hanya membuka ruang bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan asistensi baik dari anggota keluarga, teman, atau tetangga di sekitar rumah, namun juga mendapatkan dukungan untuk menegosiasi hambatan sehari-hari.

Partisipan kami bercerita bahwa warga kampung peduli dengan penyandang disabilitas yang ditandai dengan aksi-aksi baik yang mereka terima, seperti kerelaan untuk mengantar ke pasar, atau menyapa saat bertemu saat aktivitas jalan pagi.

Salah satu partisipan kami, usia 66 tahun, mengatakan “Ada tetangga. Tetangga mau (mengantar), Mas. Misalnya, tolong saya diantar (ke pasar). Banyak yang mau”.

Kebaikan-kebaikan kecil yang dirasakan oleh partisipan merupakan cerminan hubungan relasional mereka dengan kampung kota. Hal inilah yang akhirnya menumbuhkan kepercayaan dan berkontribusi meningkatkan ikatan partisipan dengan komunitas kampung.

Baca juga: Pandemi Perparah Akses Informasi bagi Komunitas Tuli

Pemakluman: Eksklusi yang Samar

Pemakluman merupakan kata yang kerap digunakan oleh partisipan kami untuk menggambarkan sikap komunitas yang mempersilakan penyandang disabilitas tidak menghadiri aktivitas kampung seperti gotong-royong, kerja bakti, pengajian, dan arisan.

Partisipan pengguna kursi roda berusia 83 tahun yang kami wawancara bercerita bahwa ia masih mendapatkan undangan untuk menghadiri rapat warga, namun ia tidak diharuskan untuk datang.

“Tadi malam ada pertemuan (RT), saya sudah enggak pernah datang. (Masih) Mendapat undangan tapi enggak datang. Seumpama mau datang ya boleh”, katanya.

Partisipan lain, 65 tahun, mengatakan selalu hadir dalam gotong-royong, namun perannya hanyalah sebatas penonton daripada menjadi peserta aktif. Karena memiliki keterbatasan mobilitas, warga memintanya untuk sekadar duduk dan mengobrol dengan warga lain, meski ia merasa bisa membantu menyelesaikan pekerjaan ringan.

Pemakluman, atau maklum dengan kondisi atau keadaan seseorang, merupakan hal yang umum dalam kultur masyarakat Jawa. Akan tetapi, pemakluman merupakan faktor yang dapat melanggengkan eksklusi penyandang disabilitas secara samar karena mereka tidak diekspektasikan untuk hadir dan berpartisipasi secara aktif dalam agenda kampung.

Melibatkan penyandang disabilitas secara aktif dalam agenda kampung sesuai dengan kemampuannya perlu dilakukan untuk menghindari menguatnya rasa ketidakberdayaan, perasaan menjadi beban, dan putusnya ikatan sosial mereka dengan komunitas.

Pembelajaran

Membangun kota yang inklusif hendaknya tidak hanya berorientasi pada infrastruktur saja, melainkan juga harus mempertimbangkan signifikansi aspek sosio-kultural dan dimulai dari bawah. Meski saat ini, konsep kota inklusi masih berbeda-beda, aspek sosio-kultural menjadi penting untuk dipertimbangkan, mengingat hubungan dan interaksi sosial di kampung kota masih dipandu oleh nilai-nilai kultural.

Temuan riset ini menjelaskan bagaimana interaksi antara penyandang disabilitas dengan faktor sosio-kultural di kampung kota dapat mewarnai narasi inklusi dan eksklusi. Secara praktis, temuan ini dapat menjadi referensi bagaimana menciptakan kota yang inklusif bagi penyandang disabilitas dengan mempertimbangkan konteks lokal.

Peran serta komunitas kampung kota melalui aksi-aksi baik yang sederhana, sikap positif dan afektif, serta memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk berpartisipasi aktif dalam acara kampung merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya keterbauran dan inklusi sosial di kampung secara khusus, dan di kota secara umum.

Lambang Septiawan, PhD Student – School of Geography, Earth, and Atmospheric Sciences, The University of Melbourne.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.


Avatar
About Author

Lambang Septiawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *