December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

Ketika Suara Lokal Menghilang: Gurun Berita dan Jalan Keluar bagi Demokrasi

Ketika berita lokal menghilang, komunitas rentan kehilangan suara dan akses informasi vital. Artikel ini mengulas krisis gurun berita di Indonesia dan dunia, serta menawarkan jalan keluar yang solutif.

  • October 8, 2025
  • 5 min read
  • 478 Views
Ketika Suara Lokal Menghilang: Gurun Berita dan Jalan Keluar bagi Demokrasi

Apakah Anda menyadari bahwa koran lokal yang dulu rutin kita baca kini lenyap, atau berubah menjadi kumpulan siaran pers yang hambar? Bayangkan jika pada 2018 tidak ada jurnalis yang meliput wabah campak dan busung lapar di Asmat, atau tsunami Mentawai 2010, atau perjuangan masyarakat adat Poco Leok menolak proyek geothermal. Tanpa liputan itu, bencana dan konflik akan berlalu dalam diam.

Kekuasaan tak terawasi, bantuan tersendat, dan suara rakyat terbungkam. Inilah yang disebut news desert atau gurun berita, ketika komunitas kehilangan akses ke informasi vital yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup dan berpartisipasi dalam demokrasi.

Baca juga: Jurnalis Merangkap ‘Buzzer’ Pemerintah di TikTok

Ketika media berita profesional menghilang, kebutuhan masyarakat akan informasi sebetulnya tidak ikut lenyap. Sebaliknya, ruang kosong itu diisi oleh sumber alternatif, sering kali tanpa verifikasi. Peneliti seperti Luisa Torre dan koleganya di Portugal (2024) menemukan bagaimana warga kota Manteigas, yang tidak memiliki media lokal, justru mengandalkan laman Facebook wali kotanya saat terjadi kebakaran hutan.

Di Inggris, penelitian Sarah Barclay dan tim (2024) menunjukkan grup komunitas daring menjadi rujukan utama informasi publik. Informasi tetap ada, tetapi kualitasnya tidak terjamin. Dalam ruang tanpa penjaga gerbang jurnalistik ini, rumor dan disinformasi dengan mudah menyebar, sebagaimana terjadi di Aceh ketika sentimen anti-Rohingya viral di media sosial hingga memicu kekerasan terhadap pengungsi.

Lebih jauh, gurun berita ternyata juga bisa tersembunyi di kota besar yang ramai. Studi di Philadelphia yang dilakukan Victor Pickard bersama Thomas Neff dan Pawel Popiel (2022) menemukan kesenjangan informasi yang tajam. Warga kaya dan berpendidikan lebih banyak menerima liputan tentang kesehatan masyarakat selama pandemi COVID-19, sementara komunitas miskin justru disuguhi berita kriminal. Ini berarti bahwa di tengah kelimpahan media sekalipun, akses terhadap informasi penting tetap tidak merata, memperkuat jurang sosial yang sudah ada.

Pertanyaan berikutnya adalah mengapa berita lokal bisa mati di satu tempat, tetapi bertahan di tempat lain. Peneliti Abby Youran Qin dari University of Wisconsin-Madison (2024) menyimpulkan bahwa media mengikuti logika pasar, bukan kebutuhan publik. Wilayah dengan keragaman etnis tinggi atau pertumbuhan penduduk miskin dianggap tidak menguntungkan, sehingga ditinggalkan.

Ironisnya, pertumbuhan populasi tidak otomatis menarik media, justru bisa memperburuk ketiadaan berita jika pertumbuhan itu datang dari kelompok kurang makmur.

Perubahan model bisnis semakin memperparah situasi. Pendapatan iklan tersedot ke Google dan Facebook, sementara sistem langganan digital belum menutupi kerugian. Media besar akhirnya lebih memilih audiens “gemuk” di kota makmur, meninggalkan komunitas yang sebenarnya paling membutuhkan informasi.

Fenomena ini terasa akrab di Indonesia. Dewan Pers mencatat hanya 1.819 media terverifikasi hingga Februari 2024, dengan distribusi sangat timpang. Kawasan Timur Indonesia dan wilayah kepulauan nyaris tak memiliki media lokal yang kuat. Banyak isu strategis, dari krisis kesehatan hingga konflik sumber daya, luput dari liputan.

Masalah lain adalah kepemilikan media yang dikuasai oligopoli berorientasi laba, sebagaimana dicatat peneliti media Ross Tapsell (2014), membuat liputan berfokus pada isu komersial dan menyingkirkan suara masyarakat pinggiran. Gurun berita di Indonesia tidak selalu berarti ketiadaan media fisik, melainkan juga minimnya keberagaman narasi. Di tengah kondisi ini, sejumlah media alternatif mulai bermunculan, menawarkan cerita berbeda dan memberi ruang pada kelompok marginal, meski keberlangsungan mereka masih rapuh.

Baca juga: Perang Threads Vs Twitter, Apa Artinya Buat Jurnalis dan Jurnalisme?

Menyelamatkan berita lokal sebagai barang publik

Di tengah krisis ini, ada secercah harapan. Di Colorado, Amerika Serikat, sebuah media kecil bernama Sopris Sun berhasil bertahan dengan menjadi milik komunitasnya. Studi yang dilakukan Patrick Ferrucci dan Katherine Alaimo (2019) menunjukkan bahwa pendekatan semacam ini memberi dampak positif karena media menjadi bagian dari kehidupan warga, bukan sekadar penyampai informasi. Studi David Hayes (2025) yang lebih luas juga memperlihatkan bahwa masyarakat yang terpapar berita dari media nirlaba lebih aktif dalam kehidupan sipil.

Contoh ini menunjukkan bahwa masa depan berita lokal mungkin tidak bisa lagi bergantung pada model komersial murni. Jurnalisme perlu dipandang sebagai barang publik, seperti perpustakaan atau taman kota, yakni sesuatu yang keberadaannya penting untuk demokrasi dan kesejahteraan bersama.

Jika demikian, maka intervensi kebijakan menjadi tak terhindarkan. Subsidi publik yang dirancang dengan transparan bisa menjadi salah satu jalan, memberi dukungan pada media tanpa mengorbankan independensi redaksi. Model nirlaba atau komunitas juga perlu dipertimbangkan, karena memungkinkan media membangun kedekatan dengan audiens dan membuka sumber pendanaan beragam.

Di Indonesia, tantangan utama tetap pada infrastruktur digital yang belum merata, terutama di wilayah kepulauan. Tanpa akses internet yang memadai, media alternatif sekalipun sulit menjangkau masyarakat. Selain itu, kolaborasi antara media, universitas, LSM, dan komunitas dapat memperkuat liputan berbasis riset, sementara literasi media di tingkat masyarakat sangat penting agar publik mampu membedakan berita kredibel dari rumor.

Baca juga: Semua Mau Jadi ‘Content Creator’: Profesi Jurnalis Sepi Peminat, Masa Depan Jurnalisme Suram?

Kita sudah melihat bagaimana mekanisme pasar gagal menyediakan berita lokal. Jalan keluarnya adalah mengubah cara pandang kita terhadap jurnalisme, bukan semata produk komersial, melainkan infrastruktur publik yang harus dijaga bersama. Jika berita lokal adalah fondasi demokrasi, maka pertanyaan yang tidak bisa dihindari adalah: siapa yang bertanggung jawab untuk memastikan kelangsungannya? Negara, komunitas, atau kita semua sebagai warga?

Febrina Galuh Permanasari adalah Direktur Eksekutif Aliansi Jurnalis Independen (AJI), pemerhati isu kebebasan pers, cek fakta, dan pengembangan jurnalis di Indonesia dan Asia Tenggara. Saat ini sedang menempuh Pendidikan Magister Ilmu Komunikasi di UI.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Febrina Galuh Permanasari