Krisis Iklim Picu ‘Bedol Desa’ di Pantura, Negara Dimana?
Desa kami tenggelam oleh banjir rob dan terancam ‘hilang’ dari peta. Namun, tak ada kejelasan relokasi warga dari pemerintah.
Perubahan iklim relatif masih dianggap isu yang berjarak dengan manusia. Padahal efeknya mulai terasa di banyak tempat. Pada 2019, seluruh penduduk Dusun Simonet, Desa Wonokerto Kulon, Kabupaten Pekalongan, terpaksa berbondong-bondong mengungsi dari rumah. Banjir rob menggenangi bangunan-bangunan di dusun yang dulu terkenal dengan produksi melatinya. Garis pantai yang dulu berjarak 1 km dari rumah warga telah terkikis. Kini, rumah mereka tepat berada di bibir pantai.
Banjir rob serta abrasi yang terjadi lagi pada 2020 dan 2021 membuat warga harus mengubur impian untuk kembali ke rumah. Saat ini, banyak warga Dusun Simonet yang berpencar ke berbagai wilayah karena desa mereka tenggelam. Meski dusun ini terancam ‘hilang’ dari peta, tidak ada kejelasan seputar program relokasi warga dari pemerintah.
Tak hanya Dusun Simonet, fenomena kehilangan ruang hidup dan perpindahan massal akibat perubahan iklim (disebut juga migrasi iklim) juga terjadi di beberapa daerah lainnya di sepanjang pantai utara Jawa. Misalnya, sekitar 273 bidang tanah milik warga di tiga desa di pesisir Sayung, Demak, hilang akibat abrasi.
Seiring tahun berlalu, risiko semakin besar. Bank Pembangunan Asia (ADB) menyatakan Indonesia berada dalam urutan tiga teratas sebagai negara yang paling berisiko terdampak perubahan iklim. Menurut ADB, sekitar 1,4 juta warga akan terdampak banjir ekstrem pada 2035-2044. Sekitar 4,2 juta warga (terutama di pesisir) bakal terimbas banjir permanen pada 2070-2100 sehingga keberadaan rumah mereka terancam.
Sayangnya, risiko gelombang migrasi yang membesar tak berbanding lurus dengan kebijakan maupun program yang memadai. Saya mendapati persoalan perpindahan warga tidak termuat dalam kebijakan serta aturan di Indonesia. Ketiadaan regulasi ini akhirnya berdampak pada upaya penanggulangan migrasi di lapangan dan hak-hak masyarakat yang tidak terpenuhi.
Baca juga: Seberapa ‘Relate’ Generasi Z dengan Isu Krisis Iklim? Ini Kata Mereka
Absennya Urusan Migrasi Iklim
Saya menelaah Rencana Aksi Nasional – Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) dan Peta Jalan Target Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (Roadmap NDC).
Dokumen RAN-API berfungsi untuk mendetailkan strategi dan langkah intervensi terhadap dampak perubahan iklim dari berbagai sektor. Sementara itu, Roadmap NDC adalah dokumen referensi target dan strategi pelaksanaan adaptasi perubahan iklim. Masing-masing terbit pada 2014 dan 2016.
Dalam RAN-API, pemerintah berupaya meningkatkan ketahanan di empat sektor: Ekonomi, ekosistem, kesehatan, dan wilayah khusus (perkotaan, pesisir, dan pulau-pulau kecil). Penekanan terhadap peningkatan infrastruktur dan perencanaan tata ruang yang adaptif menjadi strategi dominan, terutama di bagian ekosistem dan wilayah khusus.
Sayangnya, mobilitas warga akibat perubahan iklim masih belum hadir di dalam kerangka kebijakan tersebut. Sebagaimana yang disebutkan dalam laporan para peneliti yang mengaji RAN-API, dokumen tersebut masih berfokus di dimensi teknis dan fisik (seperti infrastruktur) dari adaptasi terhadap perubahan iklim.
Isu migrasi iklim juga belum banyak dibahas dalam pembahasan ilmiah di Indonesia. Hanya ada satu mengenai fenomena ini, yaitu di Lombok dan satu studi yang berupaya mempelajari pola migrasi iklim di Indonesia. Studi yang kedua sendiri masih menggunakan data pengungsi bencana alam dari Internally Displacement Monitoring Center (IDMC) yang tidak spesifik membedakan tipe bencana penyebab relokasi.
Baca juga: Bukan ‘Heatwave’, tapi ‘Hot Spells’: Penjelasan Cuaca Panas Belakangan Ini
Bagaimana Dampaknya?
Ada tiga dampak akibat absennya urusan perpindahan warga dalam kebijakan pemerintah.
Pertama, pendekatan yang dipakai dalam kebijakan adaptasi perubahan iklim masih bersifat lokal. Mayoritas strategi dalam dua kebijakan tersebut masih menekankan kepada bentuk adaptasi yang sifatnya melindungi permukiman. Kebijakan tak berfokus kepada warga yang terdampak dan berpindah.
Kita bisa melihat program pemerintah pusat: Proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) di Jakarta dan Proyek Strategis Nasional Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD). Keduanya adalah contoh proyek yang bertujuan melindungi permukiman.
Proyek pemerintah daerah pun setali tiga uang. Studi dari lembaga riset untuk pembangunan berkelanjutan, BlueUrban (tidak dipublikasi), pada 2023 di Kabupaten dan Kota Pekalongan menunjukkan inisiatif pemerintah lokal masih terbatas kepada pembuatan tanggul laut untuk daerah terdampak banjir rob. Strategi serupa juga diterapkan pemerintah Indramayu, Jawa Barat, untuk mengatasi banjir rob di daerah Kandanghaur.
Kedua, ketiadaan fokus soal migrasi iklim berakibat pada absennya rencana sistematis pemberian kompensasi bagi warga terdampak perubahan iklim. Rencana sistematis penting agar warga mendapatkan kepastian kompensasi jika ruang hidup mereka hilang.
Di Pekalongan, pengadaan lahan relokasi bagi warga Dusun Simonet di daerah Teratebang hingga kini belum ada kemajuan. Sementara itu, di Demak, relokasi warga terdampak abrasi masih terbatas pada satu dusun, belum menjangkau penduduk dusun lainnya.
Ketiga, belum adanya upaya pemberdayaan masyarakat yang berpindah. Upaya pemberdayaan ini sangat penting. Migrasi iklim berpotensi menciptakan kerentanan baru karena warga terpaksa meninggalkan sumber penghidupan mereka.
Riset BlueUrban di Pekalongan menemukan warga Simonet kehilangan akses ke mata pencaharian, umumnya sebagai sebagai petani melati atau nelayan muara, karena desa mereka tenggelam.
Selain hilangnya mata pencaharian, kenaikan muka air laut juga membuat tanah sejumlah warga berstatus musnah. Sialnya, Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2022 hanya mengatur pemberian kompensasi sekitar 25 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Di Demak, besaran kompensasi ini menuai protes dari banyak warga karena jumlahnya yang dianggap terlalu kecil.
Baca juga: Mei 70 Tahun Silam, Perubahan Iklim Pertama Kali Viral
Merespons Migrasi Iklim
Pemerintah perlu menyertakan aspek perpindahan warga dalam kebijakan adaptasi perubahan iklim. Migrasi seharusnya bagian dari upaya adaptasi masyarakat terhadap peralihan bentang alam akibat perubahan iklim.
Pemerintah dapat melakukan beberapa langkah untuk menghadapi migrasi iklim.
Pertama, pengakuan status “pengungsi” bagi para migran iklim baik yang bermigrasi karena guncangan (shock) maupun tekanan (stress). Keduanya berbeda. Migrasi karena guncangan terjadi secara cepat sebagai respons seseorang terhadap bencana (kerap disebut “pengungsi”).
Sementara itu, perpindahan akibat tekanan timbul secara perlahan karena suatu faktor yang secara langsung ataupun tidak langsung mengancam kehidupan seseorang (misalnya kehilangan sumber penghidupan).
Secara formal, para migran iklim yang berpindah perlahan seringkali tidak dipandang sama dengan mereka yang berpindah akibat bencana cepat (guncangan). Padahal, tak mudah menyebut migrasi seseorang ataupun komunitas karena guncangan maupun tekanan. “Berpindah” adalah keputusan yang kompleks.
Fenomena ini juga terlihat pada studi tim BlueUrban di Pekalongan. Bencana hebat yang terjadi pada akhir 2019 memang memaksa banyak warga di Dusun Simonet untuk langsung berpindah. Namun, warga Desa Api-api–berada di sebelah Simonet pun–banyak bermigrasi keluar karena didorong oleh hilangnya penghasilan akibat abrasi.
Untuk mengatasi kerumitan ini, Indonesia dapat mencontoh Argentina. Negara ini mengumumkan komitmen untuk memfasilitasi migrasi yang teratur, aman, dan massal kepada warganya yang terdampak perubahan iklim. Mereka juga memberikan perlindungan sosial bagi “migran iklim” baik dari dalam maupun luar negeri yang belum diakui sebagai pengungsi oleh hukum internasional.
Kedua, pemerintah dapat memasukkan aspek migrasi iklim ke dalam Rencana Adaptasi Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang. Pemerintah Togo dan Ghana sudah menempuh langkah tersebut dengan menjadikan migrasi iklim sebagai salah satu prioritas adaptasi. Masuknya migrasi ke dalam rencana adaptasi nasional membuat mereka mampu memberikan sumber daya memadai untuk merumuskan upaya perlindungan, relokasi sistematis, dan program pemberdayaan para migran.
Ketiga, penguatan kapasitas pemerintah lokal di dalam merespons migrasi iklim. Penguatan kapasitas harus diarahkan untuk proses analisis permasalahan di lapangan dan pengembangan solusi yang tidak bersifat lokal (misalnya hanya di suatu dusun).
Pada akhirnya, pemerintah daerah menjadi pemangku kepentingan utama di dalam penanganan aspek ini. Sebab, mereka mengetahui kebutuhan jangka panjang dan sumber daya yang mampu dikerahkan di daerah masing-masing untuk menghadapi migrasi iklim.
Muhammad Soufi Cahya Gemilang, Research Officer, Resilience Development Initiative (RDI).
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Ilustrasi Karina Tungari