December 5, 2025
Culture Opini Screen Raves

Jangan Contoh Sore Sebab Semua Cinta Fana

Film “SORE: Istri dari Masa Depan” mengajak penonton percaya, cinta bisa menyelamatkan. Namun bukankah memproses duka terasa lebih manusiawi?

  • July 17, 2025
  • 5 min read
  • 4455 Views
Jangan Contoh Sore Sebab Semua Cinta Fana

*Artikel ini mengandung spoiler. 

“Kalau aku harus ngulang seribu kali pun, kayaknya aku bakal tetap milih kamu, deh.” 

Kalimat itu diucapkan Sore, tokoh utama dalam film SORE: Istri dari Masa Depan (2025), saat kembali ke masa lalu demi menyelamatkan Jonathan, suaminya. Jo mati muda akibat serangan jantung, yang dipicu kebiasaannya merokok dan mengonsumsi alkohol. Tak terima kehilangan, Sore memaksa dirinya kembali ke masa lalu berkali-kali, berharap bisa mengubah takdir dan membuat Jo meninggalkan kebiasaan buruknya. 

Setiap kali mencoba, Sore dihadapkan pada aturan keras: Jika ia memberi tahu Jo kematiannya sudah ditentukan, ia akan menghilang. Ia pun kembali ke titik awal, saat Jo belum mengenalnya. Meski terus gagal, ia mengulang proses tersebut ratusan kali. Hingga akhirnya, Jo mengubah gaya hidupnya. Walau tidak digambarkan secara eksplisit karena Sore, perjalanan waktu yang tak terhitung itu pada akhirnya memengaruhinya juga. 

Masalahnya, setelah film selesai, yang tertinggal justru rasa kosong dan ganjalan. Saya bertanya-tanya, mengapa Sore tidak membiarkan Jo mati? Mengapa ia memilih mengulang luka dan kegagalan berkali-kali daripada memproses duka itu? 

Sebagai seseorang yang belum lama putus cinta, saya merasa relate dengan dilema Sore. Saya pun sempat berharap ada cara untuk kembali dan memperbaiki masa lalu. Namun enggak seperti Sore, saya tidak punya kesempatan kedua. Di dunia nyata, hubungan lima tahun yang saya bayangkan akan berakhir di pelaminan, justru berakhir dalam kesedihan yang tidak bisa saya ubah. 

Bagian ketika Sore menyadari caranya selama ini memaksa Jo adalah bentuk ketidaktahuannya atas luka dalam diri Jo—trauma karena ditinggal ayah—menjadi titik balik cerita. Setelah berulang kali mencoba, Sore akhirnya menemukan cara yang lebih empatik. Namun tetap saja, itu hanya bisa terjadi karena ia memiliki kuasa untuk kembali dan mengulang. Realitas kita tidak menawarkan kemewahan itu. 

Saya pun sadar akhir bahagia yang didapat Sore hanyalah fiksi. Dalam kenyataan, kita tidak bisa menyelamatkan orang yang sudah pergi. Kita juga tidak bisa mengubah masa lalu, sekeras apa pun kita berharap. 

Baca Juga: 5 Ulasan Film Indonesia Pilihan 2024

Cinta yang Tak Abadi Bukanlah Penderitaan tapi Bentuk Keindahan 

Rasa tidak puas terhadap akhir film masih membayangi hingga perjalanan pulang. Saya terus bertanya: Benarkah manusia bisa mendapatkan kesempatan kedua memperbaiki masa lalu? Atau sebenarnya, cinta sejati justru ditandai dengan kemampuan menerima bahwa segalanya bisa berubah, bahkan berakhir? 

Perenungan ini membawa saya pada pemikiran Albert Camus, filsuf kelahiran Aljazair, dalam bukunya The Rebel (1951). Camus menyebut hidup, termasuk cinta, sebagai sesuatu yang absurd. Dalam absurditas itu, tidak ada yang pasti, termasuk cinta. Justru karena cinta bisa berubah dan hilang, maka satu-satunya cara mengabadikannya adalah dengan kematian. 

Camus menulis, manusia takut dicintai lebih sedikit, takut ditinggalkan, dan takut kehilangan. Maka, kematian menjadi jalan yang “menenangkan” karena di sanalah cinta tidak berubah. Ia berhenti di puncaknya. Bagi Camus, cinta bukan soal seberapa lama bersama atau menyelamatkan yang dicinta. Namun tentang kesadaran bahwa cinta bisa berakhir kapan saja, dan tetap memilih mencintai dalam ketidaktentuan itu. 

Dengan kerangka ini, saya mempertanyakan motif Sore. Apakah ia benar-benar mencintai Jo, atau hanya tak bisa hidup tanpanya? Bukankah jika benar cinta, ia bisa menerima kematian Jo dan membiarkannya menjadi kenangan yang utuh? Bahkan, kutipan Sore yang menyebut dirinya sebagai “istri Jo selamanya” justru bisa dipenuhi dengan kematian, karena hanya dalam kematian cinta tidak berubah bentuk dan orangnya. 

Film ini tidak memilih jalur itu. SORE menegaskan cinta adalah perjuangan menyelamatkan, bahkan jika itu melawan takdir dan waktu. Ia mengukuhkan narasi populer bahwa cinta ideal harus kekal, tidak boleh berubah, harus selalu saling memilih meski menyakitkan. 

Padahal, cinta tidak perlu abadi untuk disebut indah. Ia enggak harus berhasil, apalagi berakhir di pelaminan. Bahkan cinta yang kandas atau singgah sebentar, tetap bisa jadi bagian hidup yang layak dikenang. 

Sore mungkin merasa menang karena berhasil mengubah masa lalu. Namun bagi saya, keindahan cinta justru muncul ketika kita menyadari tidak semua cinta berhasil dan itu tidak apa-apa. 

Baca Juga: ‘Yuni’: Film ‘Coming of Age’ Feminis yang Soroti Pernikahan Anak

Duka adalah Bagian dari Manusia 

Alih-alih berusaha menyelamatkan Jo, seharusnya Sore diberi ruang untuk merangkul dukanya. Kita, manusia, tidak diciptakan untuk melawan kehilangan. Kita punya mekanisme untuk mengakui rasa sakit, menerima, dan pelan-pelan melanjutkan hidup. 

Referensi dalam American Journal of Psychiatry (2020) menyebut, penerimaan atas duka bukan berarti melupakan, tetapi memasukkan kehilangan ke dalam narasi hidup. Duka tidak dihapus, tetapi menjadi bagian dari siapa kita. 

Upaya Sore untuk menolak kenyataan dengan mengulang waktu justru mencerminkan sikap umum dalam budaya populer. Bahwa kesedihan harus dihindari, akhir bahagia wajib diperjuangkan dengan segala cara. Mohon maaf nih, Mbak Sore, kenyataan kan tidak bekerja seperti itu. Tidak semua luka bisa sembuh dengan kembali ke masa lalu. Kadang, satu-satunya jalan adalah menatap ke depan, sambil membawa luka itu bersama kita. 

Baca Juga: ‘Jatuh Cinta Seperti di Film-film’: Membedah Seraya Mengkritik Genre ‘Romcom’

Penelitian dari Megan Devine, penulis buku It’s OK That You’re Not OK (2017) juga menegaskan hal ini. Menurut Devine, cinta dan kehilangan bukanlah dua hal yang saling meniadakan. Justru dengan mengizinkan duka hadir, kita memberi cinta ruang untuk tumbuh dalam bentuk baru: Kenangan, penghargaan, atau bahkan kekuatan. 

Cinta tidak harus menyelamatkan. Kadang ia hanya perlu hadir, memberi makna, lalu pergi. Pun duka, alih-alih sesuatu yang harus disingkirkan, adalah pengingat paling jujur kita pernah mencinta. 

About Author

Zahra Pramuningtyas

Ara adalah calon guru biologi yang milih jadi wartawan. Suka kucing, kulineran dan nonton anime. Cita-citanya masuk ke dunia isekai, jadi penyihir bahagia dengan outfit lucu tiap hari, sembari membuat ramuan untuk dijual ke warga desa.