Kontes Kecantikan Sudah Seharusnya Dihilangkan
Kasus pelecehan seksual Miss Universe Indonesia memicu pertanyaan soal apakah kontes kecantikan masih relevan.
Enam orang kontestan Miss Universe Indonesia (MUID) mengajukan laporan dugaan pelecehan seksual kepada Polda Metro Jaya pada (7/8) silam. Bunyi laporannya, tulis CNN Indonesia, penyelenggara meminta kontestan memasuki ballroom dengan sekat seadanya guna melakukan body checking. Tak ada pemberitahuan, tak ada persetujuan.
Saat proses body checking, lima kontestan difoto hanya menggunakan celana dalam. Salah satu kontestan MUID Desak Putu Ratih Widiartha bercerita, para kontestan disuruh berpose tak pantas seperti mengangkang dan pose belakang yang memperlihatkan bokong.
“Bagian belakangnya seperti diintip dan saya saat itu sangat bingung dan tidak nyaman,” kata Ratih.
Kontestan lain Priskila Jelita juga mengalami intimidasi dan merasa dipermalukan selama proses body checking. Ketika dipaksa menanggalkan pakaian, ia berusaha menutup bagian dada yang justru membuat ia dibentak.
“Saya dianggap tidak bangga akan tubuh saya sendiri. Saya di situ merasa agak tertekan, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa karena takut itu masuk sebagai salah satu penilaian,” ungkapnya.
Mellisa Anggraini, kuasa hukum pelapor pemegang lisensi MUID PT Capella Swastika Karya berdalih, tindakan ini dilakukan untuk memeriksa luka, selulit atau tato pada tubuh para kontestan yang dianggap sebagai ketidaksempurnaan pada tubuh.
Tak lama setelahnya, organisasi Miss Universe memutuskan untuk mengakhiri kontrak dengan waralaba PT Capella Swastika Karya dan Direktur Nasional untuk Indonesia, Poppy Capella. Melalui akun instagram resmi mereka, organisasi Miss Universe menyampaikan, kasus pelecehan yang terjadi di Miss Universe Indonesia jelas tidak memenuhi standar merek, etika, atau ekspektasi yang telah mereka uraikan dalam buku panduan dan kode etik waralaba.
Baca juga: Ikut Kontes Kecantikan Bikin Saya Muak dengan Standar ‘Keperempuanan’
Kontes Kecantikan yang Penuh Objektifikasi
L. Ayu Saraswati, profesor di Departemen Kajian Perempuan, Gender, dan Seksualitas Universitas Hawaii menyayangkan pelecehan tersebut. Menurutnya, pelecehan seksual di kontes kecantikan semakin meneguhkan adanya objektifikasi perempuan. Dari dulu hingga sekarang, kata Ayu, kontes kecantikan selalu mengandalkan objektifikasi perempuan untuk mempertahankan eksistensinya.
Citra perempuan disederhanakan sebatas komoditas tubuh atau objek yang diperjualbelikan. Ia menjelma dalam penampilan fisiknya perempuan yang dianggap paling penting dan dihargai. Perempuan pada akhirnya hadir cuma untuk dipandang, dievaluasi, diobjektifikasi, bahkan diseksualisasi.
“Mereka disuruh berbaris dan di-rate berdasarkan penampilan mereka. Perempuan direduksi jadi angka penilaian saja yang membuat mereka jadi rentan mengalami kekerasan,” kata Ayu pada Magdalene.
Pernyataan Ayu terkait objektifikasi sebagai masalah abadi kontes kecantikan memang bukan omong kosong belaka. Dikutip dari Racked, kontes kecantikan pertama kali muncul pada 1854 saat PT Barnum mempromosikan berbagai kontes seperti kontes anjing dan bunga.
Dalam kontes kecantikannya, Barnum meminta para perempuan tampil di atas panggung dan dinilai berdasarkan kecantikan fisik mereka. Konsep yang sama persis dengan kontes kecantikan yang langgeng hingga kini. Kontes kecantikan semacam ini kemudian tersebar luas di karnaval dan hiburan kelas pekerja lainnya di mana penampilan fisik perempuan jadi atraksi utama.
Tak sampai situ saja, Barnum juga menciptakan kontes kecantikan fotografi. Berbeda dengan kontes kecantikan langsung, kontes kecantikan fotografi mengandalkan penilaian penampilan perempuan didasarkan pada foto-foto yang mereka kirimkan. Kontes kecantikan ini lalu cepat menyebar di masyarakat kelas menengah dan atas dan digunakan oleh surat kabar dan dewan kota untuk tujuan promosi.
Enam dekade berlalu dan kontes kecantikan modern pun dimulai. Itu diawali oleh “Kontes Kecantikan Antar Kota di Atlantic City” (nantinya berubah menjadi Miss America), kontes kecantikan yang dimulai pada 1921 ini bertujuan untuk menarik lebih banyak turis ke Atlantic City selama musim panas.
Para pemenang dari kontes dinilai para juri dan penonton yang hadir lewat tepuk tangan yang dihitung sebagai 50 persen suara. Pemenang kontes mendapatkan piala, dan mengacu pada penampilan dalam kontes popularitas awal, kontestan bakal dipertimbangkan untuk berpartisipasi dalam acara keesokan harinya yang disebut “Bather’s Revue.” Kontes yang menghadirkan sekitar 200 perempuan dengan pakaian renang.
Dari titik inilah kontes kecantikan mulai berkembang secara perlahan, tidak hanya di Amerika tetapi juga dunia. Dua di antaranya ditandai dengan kemunculan Miss World di 1951 dan Miss Universe pada 1952.
Baca juga: Pesanku pada Adik-adik Perempuan Tentang Standar Kecantikan
Andalkan Ideologi Kecantikan yang Problematik
Pada 2019, Zozibini Tunzi, ratu kecantikan Afrika Selatan memenangkan Miss Universe. Dalam pidato kemenangannya, dia bilang pada dunia, tumbuh di dunia di mana perempuan yang mirip dengan dirinya (berkulit gelap) tidak pernah dianggap cantik. Ia berharap kemenangan ini disaksikan oleh banyak anak perempuan dan menumbuhkan kekuatan serta kepercayaan diri.
Pidatonya indah. Bagi banyak orang, kemenangannya adalah titik balik dari kontes kecantikan yang dalam beberapa tahun ini punya citra yang lebih progresif dengan merangkul berbagai perempuan dengan berbagai identitas sosial dan warna kulit. Namun, apakah citra progresif ini cukup? Jawabannya tidak.
Menurut Ayu. mau seprogresif apapun, kontes kecantikan selalu bertumpu pada akar penindasan perempuan, yaitu ideologi kecantikan. Ideologi ini memaksa perempuan melihat penampilan sebagai satu-satunya aset yang ia punya yang dan sayangnya penampilan ini juga didikte lewat standar kecantikan ideal yang merusak. Bahwa untuk jadi cantik perempuan misalnya harus berkulit cerah, langsing tanpa selulit, dan terlihat muda tanpa kerutan.
“Yang berbeda dalam beauty pageant itu kalau saya lihat cuma bentuk pakaiannya. Bentuk atau feature tubuh dan wajahnya sama. Bahkan ada warnaisme juga, perempuan kulit hitam yang kulitnya lebih cerah akan lebih dipilih,” kata Ayu.
Tak heran ketika tubuh atau penampilan alami perempuan tidak sesuai dengan standar kecantikan ideal, perempuan harus menutupi “keburukan” atau bahkan memperbaikinya. Upaya pengendalian tubuh perempuan pun tak terelakkan. Ini bisa dibuktikan dengan menjamurnya tren diet ketat atau operasi plastik.
Baca juga: Kulit Putih, Standar Kecantikan Peninggalan Pra-Kolonialisme yang Masih Populer
“Perempuan didorong untuk memodifikasi, memperbaiki dan mengubah tubuh atau penampilan alami mereka agar sesuai dengan standar kecantikan ideal tersebut. Ini membuat mereka jadi lebih banyak invest lebih banyak waktu, energi, uang dan sumber daya emosional untuk sesuatu yang bahkan impossible to achieve,” tambahnya.
Parahnya lagi, ideologi kecantikan ternyata tidak hanya berhenti pada standar kecantikan ideal dalam urusan penampilan tetapi juga pada sikap. Dalam artikel yang diterbitkan oleh Red Elephant Foundation di Medium ideologi kecantikan dalam kontes kecantikan juga memasang standar tegas pada feminitas ideal.
Para perempuan diharapkan melenggang dengan anggun di atas panggung, menjawab pertanyaan dengan cara yang tidak mengancam atau tidak kontroversial, dan selalu tersenyum untuk menunjukkan kebahagiaan. Tak cuma penampilan saja yang didikte tetapi sikap mereka dibatasi melalui norma-norma dan perilaku tertentu yang dianggap pantas dan diterima oleh masyarakat.
Dengan ideologi kecantikan macam ini, perempuan dibagi berdasarkan usia, berat badan, warna kulit, masa muda, dll. “Perempuan yang dianggap cantik akan lebih banyak dapat akses. Ini yang bermasalah. Makanya jawabannya bukan lagi dengan membuat kontes kecantikan lebih inklusif, tetapi kontes kecantikan benar-benar harus dihilangkan dan ideologi kecantikan itu harus dihancurkan,” tutup Ayu.