Gerakan Ayah Ambil Rapor: Simbol Kehadiran yang Gagal Sentuh Akar Masalah
Penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Poppy R. Dihardjo mengkritisi Surat Edaran (SE) Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga) Wihaji tentang Gerakan Ayah Mengambil Rapor (Gemar), yang dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan kehadiran ayah dalam kehidupan anak.
Melalui surat edaran tersebut, Wihaji menghimbau para gubernur, wali kota, bupati, serta pemimpin daerah lainnya untuk melaksanakan kebijakan Gemar di wilayah masing-masing. Dilansir dari Detik, Wihaji menyebut kebijakan ini merujuk pada data yang menunjukkan sekitar 25 persen anak Indonesia tumbuh tanpa figur ayah atau mengalami kondisi fatherless.
Kepada awak media, Wihaji berharap surat edaran tersebut dipatuhi oleh kepala daerah sebagai upaya meningkatkan peran ayah dalam tumbuh kembang anak.
“Surat edaran dan bentuk himbauan ini kayak cuma sekadar simbolis, enggak substantif. Bapak-bapak hadir secara fisik tapi absen secara emosional,” kata Poppy dalam pesan singkat kepada Magdalene pada (19/12).
Bagi Poppy, anaknya yang tumbuh dengan ayah sebagai pelaku KDRT tetap mengalami fatherless secara psikologis. Kehadiran ayah secara fisik, menurutnya, tidak otomatis mencerminkan peran ayah yang bertanggung jawab dan berperan aktif dalam kehidupan anak.
Poppy mengatakan kebijakan Gemar berpotensi menimbulkan persoalan baru bagi dirinya sebagai ibu tunggal.
“Saat ini aku nggak tahu mantan suamiku ada di mana. Bayangkan kalau kemudian sekolah menghimbau berkali-kali, dihimbau untuk bapaknya saja yang ngambil rapor ke sekolah. Pada akhirnya ini malah jadi tekanan lagi ke aku ataupun ke anak,” ujarnya. “Dan ini sebetulnya berpotensi buka ruang kekerasan baru.”
Kekhawatiran tersebut, menurut Poppy, bukan tanpa dasar. Di sejumlah daerah seperti Cimahi, Jakarta, dan Bogor, pihak sekolah dilaporkan menolak kehadiran ibu untuk mengambil rapor.
“Aku sudah menduga sih bentuk penolakan sekolah itu akan terjadi, tapi bagi aku ibu yang single parent, lagi-lagi kita harus jelasin situasinya ke guru, ke lingkungan, segala macam gitu. It’s exhausting. Buat aku yang single parent melelahkan secara emosional sebetulnya,” ujarnya.
“Kayak kita dipaksa untuk menjawab buat orang yang bahkan udah nggak ada lagi di hidup kita. Ini sebenarnya enggak menjawab akar fatherless-nya,” lanjutnya.
Poppy juga mempertanyakan aspek implementasi kebijakan tersebut di lapangan.
“Kalau misalnya bapaknya diminta untuk hadir, kayak gimana nyarinya? Mungkin pengalaman pribadi aku gitu ya,” tuturnya. “Anakku nggak butuh bapak yang hanya nongol di sekolah untuk ambil rapor, tapi butuh bapak yang bertanggung jawab dalam hidupnya, yang mau berperan aktif dalam hidupnya.”
Menurut Poppy, baik ayah maupun ibu memiliki fungsi yang setara dalam pengasuhan dan pendidikan anak, tanpa seharusnya dibedakan melalui aturan yang kaku.
Pandangan serupa disampaikan Liena Jasmine dari Cery6manis, kumpulan emak-emak konten kreator. Ia menilai kebijakan Mendukbangga tersebut belum mempertimbangkan keragaman kondisi keluarga di masyarakat.
“Memang ada sisi yang kurang tepat, karena tidak semua anak mempunyai ayah (yatim) atau yang ayahnya sedang bekerja di luar kota atau luar negeri, yang mungkin bisa membuat sedih beberapa siswa,” katanya kepada Magdalene melalui pesan singkat (19/12).
Kritik juga datang dari wali murid lain, Enday Hidayat, yang memiliki empat anak. Ia menilai surat edaran Mendukbangga berpotensi menjadi bentuk pemaksaan terhadap orang tua.
“Pemerintah memang perlu meningkatkan keterlibatan ayah dalam pendidikan dan pengasuhan anak. Tapi surat edaran ini seperti aturan yang bersifat memaksa,” katanya.
















