December 5, 2025
Culture Feminism A to Z Gender & Sexuality History Issues

Di Balik Fenomena Kopi Pangku: Jeratan Ekonomi Sulit dan Mata Keranjang Patriarki

Fenomena kopi pangku lahir dari mata keranjang patriarki yang lagi-lagi, cuma menjerat dan merugikan perempuan.

  • October 28, 2025
  • 5 min read
  • 2895 Views
Di Balik Fenomena Kopi Pangku: Jeratan Ekonomi Sulit dan Mata Keranjang Patriarki

Penampilan, bagi Rosa, bukan sekadar soal kecantikan. Itu bagian dari pekerjaannya. Riasan wajah yang rapi dan baju yang menarik bisa menentukan besarnya tip yang ia terima malam itu. Dari uang tambahan itu, Rosa membeli beras, membayar sewa kamar, menabung sedikit untuk membeli alat make up baru—modal kecil yang terus ia putar agar dapur keluarganya tetap mengepul.

Diana—bukan nama sebenarnya—hidup dengan cara serupa. Ia tak punya banyak pilihan selain bertahan di profesi ini. Rosa dan Diana, dua perempuan asal Ponorogo, bekerja di warung kopi pangku. Kisah mereka terekam dalam riset Perempuan dan Warung Kopi: Sebuah Perspektif Fenomenologi, yang disusun Titis Dwi Haryuni dan Anggaunita Kiranantika dari Universitas Negeri Malang (UNM).

Dalam riset itu, para perempuan pelayan kopi pangku terima upah per bulan hanya sekitar Rp800 ribu hingga Rp900 ribu. 

Selebihnya bergantung pada kesediaan menemani pelanggan di luar jam kerja. Dalam beberapa kasus, layanan itu mencakup hubungan seksual—sebuah sistem yang sudah diatur dengan rapi, mulai dari pemesanan di warung hingga penjemputan setelah tempat itu tutup.

Bagi perempuan dengan ijazah SMP dan pilihan kerja yang nyaris tak ada, warung kopi pangku menjadi jalan paling realistis. Di ruang berlampu temaram itu, kopi tak lagi sekadar minuman. Ia menjadi simbol perlawanan diam terhadap hidup yang keras—antara tuntutan ekonomi dan moralitas yang kerap tak berpihak pada mereka.

Sebagian besar perempuan pelayan tinggal di tempat yang sama dengan pemilik warung. Mereka tak bebas pulang sesuka hati. Jam kerja membentang tanpa batas: malam melayani pelanggan, pagi membantu menjual kebutuhan harian. Hidup mereka berlangsung di antara meja kayu, gelas kopi panas, dan tatapan laki-laki yang datang silih berganti.

Menurut Samsul Hidayat Aswin, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Pontianak, warung kopi semacam ini sudah lama menjadi ruang sosial bagi masyarakat kelas pekerja. 

Baca juga: Bagaimana Perempuan Indonesia dengan HIV dan AIDS Berjuang dengan Stigma

Namun, di tengah tekanan ekonomi, fungsinya bergeser. “Warung semacam ini kini menjadi ruang hiburan sekaligus sumber penghidupan,” ujarnya pada Magdalene (17/10).

“Selama struktur sosial-ekonomi masyarakat belum banyak berubah, praktik seperti kopi pangku akan terus beradaptasi dan menemukan cara untuk tetap eksis,” tambah Aswin.

Fenomena ini diyakini berakar dari Gresik, Jawa Timur—daerah yang akrab dengan tuak dan warung rakyat. Dari sana, model warung seperti ini menyebar cepat ke berbagai kota. 

Di Malang, orang mengenalnya dengan sebutan kopi cetol. Dari luar, bangunannya tampak seperti warung biasa: meja kayu, aroma kopi hitam, obrolan kecil. Namun di balik secangkir kopi yang disuguhkan, tubuh perempuan menjadi bagian dari layanan—dipeluk, dipangku, atau diajak bercengkrama, demi beberapa lembar uang.

Perempuan yang Dihukum karena Bertahan Hidup

Menjadi pekerja di warung kopi pangku berarti hidup dalam tekanan ganda: kebutuhan ekonomi dan stigma sosial. Dalam riset Faqihil Muqoddam dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Eksistensi Pelayan Perempuan Warung Kopi Pangkon di Desa Abar-Abir Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik, perempuan pekerja di warung kopi pangku kerap dianggap mencoreng moral desa. 

Seorang warga yang diwawancarai Faqihil menceritakan razia di balai desa. Saat itu, para perempuan pekerja warung didata dan diberi peringatan keras. Pemerintah desa bahkan memberlakukan jam buka dan tutup warung, dengan ancaman pembubaran jika melampaui batas waktu. 

Bagi para pekerja, situasinya tak sesederhana itu. Mereka tahu pandangan masyarakat terhadap pekerjaan mereka buruk, tapi tak banyak pilihan untuk berpaling. 

Baca juga: ‘Korpus Uterus’: Saat Rahim Jadi Medan Kontrol Tubuh Perempuan

“Kalaupun saya melakukan kejelekan, ya saya terima dipandang jelek. Tapi kalau tidak melakukan dan tetap disamaratakan, itu yang saya nggak terima. Tapi mau bagaimana lagi, kami pendatang, cuma bisa menerima,” tutur salah satu informan penelitian Faqihil. 

Penelitian lain oleh Ferry Wahyu Arladin dari Universitas Brawijaya, The Exploitation of Women’s Body in the Practice of Warung Kopi Pangku, menunjukkan bagaimana razia aparat sering kali menyasar tubuh perempuan, bukan pemilik warung atau pelanggan. Dalam satu penggerebekan di Jombang tahun 2018, dua puluh perempuan ditangkap, sementara pemilik usaha tak tersentuh hukum.

Bukan Salah Perempuan

Menurut Soe Tjen Marching, Dosen Senior Departemen Bahasa dan Kebudayaan, School of Oriental and African Studies, University of London, pilihan perempuan untuk bekerja di warung kopi pangku adalah bentuk agensi. Sebuah cara bertahan hidup dalam sistem yang gagal melindungi mereka. 

“Kalau belum ada fasilitas yang memberi mereka kehidupan lebih baik, apa kita masih pantas menstigma mereka? Bagi saya, itu tidak adil,” ujar Soe kepada Magdalene (16/10). 

Paradoks warung kopi pangku memperlihatkan bagaimana ekonomi dan moralitas saling berkelindan dalam mengatur tubuh perempuan. Tubuh mereka menjadi ruang tawar antara kebutuhan hidup dan pandangan masyarakat yang menilai moralitas.

Sementara itu, ditambahkan Soe, sistem patriarki terus mengokohkan ketimpangan: aparat merazia perempuan, sementara pelanggan dan pemilik warung luput dari tanggung jawab. Menurut Soe Tjen Marching, persoalannya bukan pada perempuan, melainkan pada struktur yang gagal memberi ruang aman dan setara.

“Para pekerja seks ini bagi saya seringkali jauh lebih jujur daripada kebanyakan politikus. Politikus sering kali jauh lebih merusak lingkungan dan negara. Kenapa tidak politikus korup saja yang dikejar-kejar, daripada mengejar perempuan yang mencari nafkah seperti ini?” ujar Soe.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Safika Rahmawati

Safika adalah sosok yang suka melamun dan punya cita-cita hidup tenang di desa di kaki gunung. Tapi kalau harus tinggal di kota dulu, enggak masalah—asalkan bisa rebahan tanpa rasa bersalah sambil menikmati suara burung gereja di dalam kamar.