Issues Politics & Society

#KamiBersamaSukatani dan Ketakutan Negara pada Karya Seni 

‘Art is love, art is power’. Namun bagaimana jika yang punya ‘power’ untuk menyeleksi kebenaran cuma Prabowo Subianto?

Avatar
  • February 21, 2025
  • 6 min read
  • 1041 Views
#KamiBersamaSukatani dan Ketakutan Negara pada Karya Seni 

Adagium bahwa setiap hari adalah parade kemuakan jadi warga di negara sendiri, tampaknya tak berlebihan. Kemarin (20/2), Sukatani membuat video klarifikasi atas lagu “Bayar, Bayar, Bayar” dari album “Gelap Gumpita” (2023), di Instagram @sukatani.band. Band Punk New Wave asal Purbalingga, Jawa Tengah yang terbiasa manggung dengan topeng itu, memperlihatkan wajah, lalu membaca teks di hadapannya. 

“Kami memohon maaf sebesar-besarnya kepada Bapak Kapolri dan institusi Polri atas lagu ciptaan kami dengan judul ‘Bayar, Bayar, Bayar’ yang berujung pada lagu ini ditarik dari peredaran… Pernyataan yang kami buat ini dengan sebenarnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.” 

 

Lirik lagu ‘Bayar bayar bayar’ oleh Band Sukatani

Tak butuh waktu lama sampai lagu berisi kritik pada institusi kepolisian ini menghilang dari berbagai platform streaming. Namun, sejumlah kalangan sangsi jika tak ada unsur intimidasi kepada Lutfi dan Novi. Terlebih Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Artanto telah membenarkan kepada media, mereka sempat mendatangi dua personil Sukatani itu untuk meminta klarifikasi: Apa maksud dan tujuan pembuatan lagu, (20/2). 

Solidaritas yang ditandai dengan tagar #KamiBersamaSukatani akhirnya mulai membanjiri linimassa. Bahkan beberapa musisi seperti Baskara Putra, Fanny Soegi, Bisma Karisma, Awan .Feast, sampai Voice of Baceprot sengaja mengunggah ulang lagu Sukatani. Komentar ACAP (All Cops are Bastard) dan 1312 juga kompak disuarakan warganet. 

Baca Juga: Kampus Seharusnya Jadi Tempat Aman Nyatanya Tidak 

Pembungkaman Seniman Bukan Sekali Terjadi 

Sayangnya, pembungkaman karya seni di Indonesia bukan kali pertama terjadi di penghujung era Jokowi dan awal rezim Prabowo-Gibran. Enggak heran jika catatan Freedom House menunjukkan demokrasi Indonesia 2024 terperosok di angka 57 persen. Sementara, kebebasan sipil cuma 28 persen. Bahkan sering kali aparat dimanfaatkan sebagai alat negara untuk membatasi kebebasan berpendapat

Sebelumnya, intimidasi dan pembungkaman seniman yang bersuara kritis juga menimpa Teater Payung Hitam. Magdalene berkesempatan mengobrol dengan Rahman Shaleh, seniman Teater Payung Hitam soal pembungkaman yang dialaminya. Ia bercerita, pada (15/2), harusnya Teater Payung Hitam mementaskan lakon “Wawancara dengan Mulyono” di studio Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI), Bandung. 

Namun untuk pertama kalinya, kampus yang sedianya menjamin kebebasan berekspresi mahasiswa itu menggembok studio juga mencabut baliho, membuat mereka urung tampil. “Respons dari pihak kampus begitu barbar. Teater digembok di kampus seni. Konon katanya ISBI Bandung adalah kampus merdeka tapi teater telah dilarang. Digembok oleh pimpinan instansi pendidikan seni. Tragis memang tapi tetap harus kita lawan,” katanya, (19/2) lalu. 

“Kita melawannya dengan pikiran, dengan akal sehat kita. Dengan karya-karya seni yg memberikan penyadaran kepada masyarakat,” imbuhnya. 

Pengalaman Teater Payung Hitam juga pernah menimpa pelukis Yosef Suprapto saat akan menampilkan tiga puluh lukisan di Galeri Nasional, 23 Desember 2024. Saat itu, ia diminta menurunkan lima lukisan di antaranya, dengan dalih “mesum” hingga tak sesuai dengan tema dan bobot pameran. Padahal pesan lukisan-lukisan Yos penting karena menyoal ketimpangan sosial dan kedaulatan pangan petani. 

Rahman turut mengomentari pembredelan lukisan seniman asal Jogja tersebut. Menurutnya, ini dilatarbelakangi oleh paranoia dari para birokrat, pejabat pemerintahan, instansi pendidikan seni, serta politisi yang ditunjuk hidungnya—dalam hal ini adalah Jokowi. 

Yos sepakat. Baik pembredelan lukisan atau pelarangan pentas teater, dua-duanya adalah bentuk pembungkaman. Secara khusus ia bahkan mengomentari keputusan Retno Dwimarwati, Rektor ISBI yang tak memahami esensi dunia seni dan pendidikan. “Bagiku, Retno justru layak jadi politikus fasis yang represif. Ini harus dilawan demi tegaknya sebuah peradaban yang lebih baik di negeri ini,” kata Yos saat dihubungi Magdalene.  

Sumber foto oleh akun X Political Jokes ID

Yos sendiri mendefinisikan seni sebagai bentuk ekspresi masyarakat, alih-alih individu. Karena itu, membungkam karya seni sama saja seperti membungkam suara rakyat. 

“Seni rupa yang baik adalah seni rupa jujur yang mengungkap keadaaan dan keresahan. Sebab, ini adalah sebuah perjuangan untuk memenangkan hidup. Saya bilang karya-karya seni akan mampu membangun kesadaraan riil pada masyarakat,” ujarnya. 

Ketika pemerintah Prabowo, lanjutnya, memilih membungkam karya seni, maka ini semakin meneguhkan keyakinan publik bahwa Prabowo arogan dalam menghadapi kritik.  

Baca Juga: Di balik Ucapan Ndasmu Prabowo 

Ogah Diam, Seniman dan Rakyat Lantang Melawan 

Seniman Dolorosa Sinaga juga ikut geram dengan pembungkaman yang dialami Sukatani, Yos, maupun Teater Payung Hitam. Kepada Magdalene ia mengungkapkan, negara mestinya tak punya kapasitas untuk membungkam atau melarang kerja-kerja kreatif masyarakat. 

“Sebaliknya, negara harus hadir untuk melindungi karya intelektual atau property rights seniman. Sebab karya-karya ini memiliki validitas hukum sebagai medium komunikasi sosial politik dan kanal ekspresi demokratis. Karena itu, kita seniman tidak boleh takut berkarya. Hak asasi manusia itu melekat pada setiap individu,” tuturnya. 

Terlebih, kata dia, seni punya kekuatan untuk melawan pemerintah yang represif. “Seni menurut saya memiliki kekuatan dan daya gugat yang luar biasa untuk mendorong lahirnya gerakan masyarakat untuk keadilan dan demokrasi,” tandasnya. 

Senada dengan Dolorosa, Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia juga menyerukan kritik pada pemerintah. Terkait pembungkaman Sukatani misalnya, Amnesty Internasional Indonesia mendesak Kapolri untuk segera mengambil tindakan koreksi atas dugaan intimidasi kepada musisi itu. 

“Tidak mungkin kelompok musik Sukatani membuat video permohonan maaf yang ditujukan kepada Kapolri dan jajarannya. Kami mengingatkan Polri agar tidak secara terburu-buru membuat sanggahan. Sebab itu hanya akan menambah blunder di tengah rendahnya kepercayaan masyarakat dan tingginya sorotan negatif pada kinerja Polri,” ungkapnya. 

Seharusnya, Kapolri bisa legowo menerima kritik sebagai pembelajaran. Terlebih sebelumnya, Kapolri pernah berjanji, siapa pun yang paling keras menjadi pengkritik kepolisian, akan menjadi sahabat Kapolri.  

Baca Juga: Bagaimana Prabowo Poles Citra dari Pelanggar HAM ke Gemoy

Tips Tetap Aman Menjadi Vokal 

Di tempat terpisah, Hafizh Nabiyyin, Kadiv Kebebasan Berekspresi Safenet, organisasi yang berfokus pada ruang digital dan kebebasan berekspresi juga angkat bicara. Dia bilang, ketakutan akan karya seni sudah terlihat jelas di era Jokowi. Ini adalah mentalitas Orde Baru yang kembali dimunculkan. 

“Dulu Jokowi berhasil membungkam kebebasan berekspresi warga, tanpa berdampak serius terhadap tingkat elektabilitas atau kepuasan publik atasnya. Kami pikir cara itu juga direplikasi oleh Prabowo-Gibran sekarang. Jadi ada semacam tongkat estafet represi digital yang tujuannya untuk membungkam kritik terhadap pemerintah,” terangnya pada Magdalene, (19/2).  

Karena kita tak pernah tahu apakah pembungkaman terhadap rakyat akan semakin intens hari-hari ke depan, Safenet berbagi tips untuk menjaga keselamatan. 

Pertama, kita perlu membekali diri dengan dasar-dasar hukum, terutama terkait hak ekspresi di media sosial. Tujuannya agar kita enggak terjebak dengan pasal-pasal karet di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Kedua, kita perlu mempelajari mitigasi serangan-serangan digital karena ini juga sering dialami oleh rakyat yang ikut bersolidaritas dengan korban pembungkaman. “Beberapa kali kami menemukan kasus orang yang bersuara kemudian akunnya diretas,” jelasnya. 

Ketiga, kita perlu sama-sama mendorong mekanisme perlindungan yang lebih kuat terhadap kebebasan berekspresi. Sejauh ini payung perlindungan kebebasan berekspresi selain di Pasal 28C ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD, juga ada di UU HAM Pasal 23 ayat (2), Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 3 Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works, Pasal 19 International Covenant On Civil And Political Rights, juga Pasal 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Budaya.

Namun keberadaan pasal-pasal karet di UU ITE membuat ancaman kepada mereka yang vokal, jadi semakin kentara. Karena itu, kita harus mendesak pemerintah untuk menyediakan peraturan yang akomodatif terhadap rakyat. 

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.



#waveforequality
Avatar
About Author

Ahmad Khudori

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *