Politics & Society

‘Laki-laki Baru’ dari Timor: Peran Pemuda Mengubah Budaya Patriarki

Di NTT, Gerakan Laki-Laki Baru bertujuan mentransformasi para pemuda yang rentan melakukan kekerasan menjadi anggota-anggota masyarakat yang bertanggung jawab, sensitif gender dan produktif.

Avatar
  • March 23, 2017
  • 9 min read
  • 1434 Views
‘Laki-laki Baru’ dari Timor: Peran Pemuda Mengubah Budaya Patriarki

Seperti kebanyakan laki-laki muda di Nusa Tenggara Timur, pada mulanya Bani berpegang pada kepercayaan bahwa anak laki-laki harus nakal, jika tidak ia akan disebut “banci”.

 

 

“Dulu, saya senang minum-minum – begitulah anak laki-laki di sini. Kalau tidak minum, bukan lelaki sejati,” kata mahasiswa berusia 25 tahun itu. “Jadi, saya dulu sering mabuk dengan teman-teman, lalu ketika mabuk, kalau ada orang lewat kami ajak berkelahi.”

Kebiasaan mabuk dan berkelahi itu berlangsung selama satu tahun. Hingga suatu hari, pada 2013, seorang teman dari gereja mendorong Bani agar ia mengikuti sebuah diskusi. Sang teman mengatakan,“ini penting buat beta,” kata Bani, mengingat ajakan yang tak ia sangka akan mengubah hidupnya.

Diskusi tersebut adalah bagian dari Gerakan Laki-laki Baru, sebuah program yang dikampanyekan oleh Circle of Imagine Society (CIS) Timor untuk mengurai masalah maskulinitas dalam budaya patriarkal dan mendorong kesetaraan gender di antara pemuda di Nusa Tenggara Timur.

Setelah mengikuti beberapa diskusi, Bani disadarkan bahwa jika ia tidak mulai berubah, ia hanya akan mengikuti jejak tradisi generasi sebelumnya.

“Dulu, saya biasa minum juga dengan Bapak. Lalu, saya pikir, kalau saya tetap seperti laki-laki lama, nanti sama dengan Bapak, saya jadi tidak berguna untuk keluarga dan masyarakat. Sejak saat itu, saya berkomitmen untuk berubah,” katanya.

Budaya NTT yang sangat patriarkal menempatkan anak laki-laki di posisi yang superior sehingga mereka seringkali diperlakukan spesial. Secara sosial, adalah normal bagi mereka untuk mabuk-mabukan, berkelahi, dan berganti-ganti pasangan. Di rumah, mereka dilayani oleh ibu dan saudara perempuan mereka, sementara ayah mereka bekerja untuk menafkahi keluarga. Hasilnya, banyak anak laki-laki tumbuh tanpa rasa tanggung jawab, tidak dapat diandalkan, dan terkadang rentan melakukan kekerasan.

Gerakan Laki-laki Baru bertujuan untuk mengubah paradigma sosial dalam masyarakat tersebut dan mengubah anak-anak muda, khususnya laki-laki, agar lebih sensitif terhadap permasalahan gender serta lebih produktif dalam komunitas mereka.

“Kami ingin menunjukkan bahwa laki-laki juga bisa sensitif dalam memahami masalah-masalah perempuan dan laki-laki tentu berkata ‘tidak’ pada kekerasan terhadap perempuan. Slogan kami, ‘laki-laki mendukung perempuan’,” kata William Fangidae, Koordinator CIS Timor, kepada Magdalene dan beberapa media lain dalam kunjungan bersama organisasi Oxfam ke NTT.

Gagasan Gerakan Laki-laki Baru di NTT pertama kali diperkenalkan oleh Aliansi Laki-laki Baru bersama Oxfam pada 2013. Program itu awalnya diperkenalkan sebgai diskusi panel di gereja, tempat yang berperan penting di provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Kristen itu.

CIS Timor sendiri didirikan pada September 1999 untuk menangani krisis pengungsi di perbatasan NTT dan Timor Leste. Setelah masalah pengungsi mulai reda, CIS Timor melebarkan sayap pada isu-isu kemanusiaan yang lain di seluruh wilayah di provinsi NTT. Sekarang, total 100 relawan, laki-laki dan perempuan, yang tergabung dalam CIS Timor.

“Kami secara spesifik menyasar para pemuda. Kami percaya bahwa hanya ada dua kemungkinan soal peran pemuda dalam masyarakat: sebagai ‘penyebab konflik’ atau ‘penyebab perdamaian’. Kita berupaya mendorong pemuda untuk lebih menjadi agen damai,” kata William, yang akrab dipanggil Willy.

CIS Timor juga secara sengaja membuat bahasa dan pendekatan mereka lebih peka pada situasi masyarakat.

“Tentu saja kita menyertakan perempuan, tapi kita tidak menggunakan kata-kata seperti ‘lawan patriarki’. Kita cenderung ingin langung menunjukkan pada masyarakat bahwa ‘tanpa patriarki, kita tetap bisa hidup’,” Willy menambahkan.
 

“Di sini, kalau anak laki-laki panggil ‘Ma’ satu kali, itu artinya dia ingin kopi, panggil ‘Ma’ dua kali artinya minta makan. Dulu, kalau saya pulang dan tidak ada makanan di dapur, saya pukul saudara, minta dia buatkan makanan.”

Dalam program Laki-Laki Baru tersebut, pelatihan mengenai isu gender dan kekerasan baru diberikan kepada pemuda-pemuda lokal kemudian. Setelah masa pelatihan, mereka akan menjadi Community Organizer (C.O.) yang bertanggung jawab memberikan pengetahuan mereka pada publik yang lebih luas. Mereka juga diajarkan tentang cara-cara mengidentifikasi jenis-jenis kekerasan dalam rumah tangga.

“Setelah diberi pelatihan, C.O. akan membentuk sebuah komunitas tempat mereka berbagi pengetahuan pada pemuda-pemuda yang lain,” kata Willy.


William Fangidae, Koordinator CIS Timor

Menyoal ‘anak laki-laki harus nakal’

Selain transformasi terkait kebiasaannya minum-minum, perilaku Bani di rumahnya, di desa Tunfeu Kupang juga mulai berubah.

“Di sini, kalau anak laki-laki panggil ‘Ma’ satu kali, itu artinya dia ingin kopi, panggil ‘Ma’ dua kali artinya makan. Dulu, kalau saya pulang dan tidak ada makanan di dapur, saya pukul saudara (perempuan), minta dia buatkan makanan,” kata Bani.

“Namun setelah 2015, saya mulai membantu ibu saya di rumah, mencuci piring atau memasak. Kadang-kadang juga bantu teman-teman perempuan di gereja. Beberapa orang bilang, ‘Kenapa nggak pakai rok saja sekalian?’ Tapi saya mengerti sekarang bahwa sebagai laki-laki baru, saya bisa bekerja bersama perempuan,” ujarnya.

Ia juga mulai membantu orangtuanya bekerja di kebun dan tidak lagi menghabiskan waktu mengendarai motor secara ugal-ugalan, mabuk-mabukan atau berkelahi. Ia juga berpartisipasi mengurus “Kebun Belajar” milik komunitas CIS Timor, lahan setengah hektar yang digunakan untuk menanam ubi ungu.

“Sejak saat itu, orang-orang mulai memperhatikan apa yang kami lakukan. Mereka pada akhirnya berkata, ‘Oh, beginilah seharusnya laki-laki,” kata Bani.

Perubahan tentu saja tidak terjadi tanpa permasalahan. Ayah Bani mengolok-oloknya ketika ia pertama kali membantu ibunya dengan pekerjaan rumah. Namun, setelah ayahnya bertemu dengan teman-temannya dari CIS Timor, ayahnya memahami maksud mereka dan lambat laun mulai berubah.

“Kami berbicara soal itu dan saya bilang, ‘Bapak, Bapak sudah tua, bagaimana kalau nanti Bapak sakit?’ Sekarang Bapak saya sudah tidak minum-minum lagi.”

Bani juga menggambarkan bagaimana keluarganya menjadi lebih baik. Sebelumnya, anggota keluarga makan secara terpisah – Bani di dapur, ayahnya di ruang makan di depan. Sekarang, mereka bisa duduk bersama di satu meja dan saling berbincang, jelas Bani.

“Setelah proses yang panjang, saya menyadari bahwa ada perubahan dalam cara saya berpikir dan berbicara. Sekarang, saya bisa lebih mendengarkan dan menghargai orang lain.”

Teman-teman Bani juga terhenyak dengan perubahan yang terjadi padanya. Awalnya, mereka tidak senang melihat Bani, yang tadinya ‘pemimpin’ mereka, tidak lagi mengkonsumsi minuman keras. Namun, akhir-akhir ini, perubahan Bani mulai mempengaruhi mereka juga.

Willy mengingat-ingat reputasi Bani di masa lalu: “Dulu, kalau ada Bani, selalu ada botol [minuman keras]. Meski anak laki-laki itu kecil, kurus – yang kalau dia mabuk tubuhnya tertiup angin bisa roboh – asal dia kuat minum, dia dianggap paling ‘jagoan’.”

Itulah mengapa, slogan untuk mendorong anak-anak muda berhenti minum adalah “Dari Sopi ke Kopi”, Sopi adalah minuman lokal beralkohol.


Bani P. Sabloit, Anggota Laki-laki Baru CIS Timor memakai t-shirt “Laki-laki sejati itu ‘sonde’ (tidak) pake kekerasan bro”

Perspektif soal konstruksi sosial

Berbeda dengan Bani, Yoksan, 23, yang bergabung dengan gerakan itu pada 2013, sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah. Ia dibesarkan oleh orangtuanya untuk membantu mencuci piring, mencuci baju dan memasak. Namun ada satu hal yang ia jadikan batas: membantu ibunya menjual sayur di pasar.

Bagi anak-anak muda NTT, membantu di pasar dianggap tabu dan memicu penghinaan, seolah-olah “harga diri telah dijatuhkan ke tanah”.

“Sebelum Laki-laki Baru, saya belum pernah melakukan hal yang berarti,” kata Yoksan. “Saya ingin membantu ibu saya, tapi dulu terlalu malu untuk melakukannya. Tapi setelah ikut gerakan, saya jadi sadar, kalau bukan saya yang bantu Mama, siapa lagi?”

Sebelumnya, ia hanya membantu mengangkat dagangan dari dalam pasar ke pangkalan. Ia terus melakukannya, hingga pada akhirnya, ia sudah terbiasa dan tidak lagi gengsi menjual sayur di pasar.

Meski orangtuanya selalu mendukung keterlibatannya dalam gerakan, masyarakat dimana ia tinggal awalnya tidak senang dengan gagasan tersebut.

“Orang-orang, tetangga saya, menstigmatisasi kami. Mereka mengatakan bahwa laki-laki yang melakukan pekerjaan rumah tangga akan membawa pengaruh buruk pada anak laki-laki lainnya,” kata Yoksan.

“Satu orang pernah berkata pada saya: ‘Kawin saja sudah!’ Lah, apa hubungannya menikah dengan cuci piring? Tidak ada!”

Setelah lebih memahami dirinya melalui gerakan, ia merasa dirinya berubah sebagai seorang laki-laki.

“Setelah proses panjang, saya akhirnya sadar ada perubahan pada cara saya berpikir dan berbicara. Sekarang, saya lebih bisa mendengarkan dan menghargai orang lain,” ujarnya.

Program tersebut juga mendorong pemuda untuk berbicara dan mengungkapkan pendapat mereka.

Willy menjelaskan, “Kami melatih mereka bagaimana cara menyampaikan pikiran mereka dengan lebih terstruktur dan sistematis. Pernah ada satu orang yang tidak bisa bicara sepatah kata pun. Jadi, kami kumpul di sana sampai tengah malam sembari menunggu dia mulai bicara. Sebelumnya, mereka ini hanya bisa bicara kalau sedang mabuk, kalau sadar tidak akan ada kata-kata yang keluar.”

Meski demikian, Willy mengatakan bahwa hal tersebut bukan sepenuhnya salah mereka. Masyarakat sering menganggap anak muda tidak cukup tahu untuk berpendapat dan seringkali tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, gerakan Laki-laki Baru juga berupaya mengubah persepsi lama tentang pemuda.


Yoksan Imanuel Koa, Anggota Laki-laki Baru CIS Timor

Komitmen untuk kesetaraan

Gerakan tersebut juga telah mengubah cara berpacaran para anak muda.

Bani bercerita, “Sebelum ada gerakan, kalau kita mau ajak pacar kita jalan-jalan, kita suruh mereka lompat dari jendela, lalu menemui kita di depan gang. Tapi, sekarang kita tau bagaimana semestinya memperlakukan mereka dengan lebih baik. Kita jemput di rumah, kita bicara dengan orangtuanya.”

“Sejujurnya, sekarang saya merasa lebih nyaman. Saya jadi lebih akrab dengan orangtuanya dan saya bisa memberitahu jam berapa kami akan pulang. Kami merasa lebih tenang karena jika di jalan terjadi sesuatu, orangtua tahu di mana mereka bisa mencari kami,” kata Bani.

Salah seorang teman Bani, yang terkenal sebagai “playboy kampung”, dulunya gemar membanggakan pengalaman-pengalaman seksualnya dengan banyak perempuan dan bahkan beberapa kali melakukan pelecehan dan kekerasan verbal. Kini ia juga telah berubah, kata Bani.

“Ia ingin menunjukkan pada masyarakat bahwa ia bisa berubah. Ia bisa mulai bicara pada perempuan secara normal, tanpa menggoda mereka. Dan sekarang ia setia pada satu pasangan saja,” tambahnya.

Komunitas Laki-laki Baru juga harus menyatakan komitmennya ketika mereka menikah, yakni dengan membacakan “Deklarasi Komitmen”. Isi dari deklarasi tersebut adalah janji untuk mencintai, menghormati dan tidak melakukan kekerasan pada istri, serta turut melakukan pekerjaan rumah, menafkahi dan bertanggungjawab pada keluarga. Aspek penting lain dari deklarasi tersebut adalah seks konsensual: seorang suami harus meminta persetujuan istrinya untuk berhubungan seksual.

Masing-masing “Laki-laki Baru” harus membacakan deklarasi tersebut dalam resepsi pernikahannya, sehingga para tamu dapat bertindak sebagai saksi yang dapat menuntut janjinya jika suatu saat ia melanggar.

“Mereka harus memajang deklarasi tersebut di dinding rumah mereka agar mereka tak lupa pada janji yang mereka sampaikan,” kata Willy.

Artikel ini juga tersedia dalam versi Bahasa Inggris.



#waveforequality


Avatar
About Author

Ayunda Nurvitasari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *