Laki-laki Tahu Apa tentang Perempuan
Untuk semua urusan dengan laki-laki, saya tak lagi menggunakan perasaan. Sebuah cerita pendek.
Saya sudah banyak berurusan dengan laki-laki. Baik yang lajang, yang mengaku masih lajang, maupun yang jelas-jelas tak lajang. Semuanya sudah.
Dalam hidup, saya memusuhi usia saya sendiri. Saya tak pernah merasa kesulitan mengurangi angka pada timbangan saya, namun saya selalu jengkel karena sesering apa pun saya melakukan perawatan, wajah saya mulai menampakkan tanda-tanda menua. Saya takut. Saya tidak mau terlihat seperti pakaian kusut. Saya saja tidak menginginkannya, apalagi laki-laki.
Suatu ketika salah satu di antara mereka ingin tahu saya dan bicara seakan lebih tahu dari apa yang saya ketahui. “Sampai kapan kamu mau main-main? Bukankah lebih baik kamu berhenti dan segera bersungguh-sungguh menikah?”
“Lantas setelah menikah mau apa? Saya tidak mau repot-repot berada dalam keadaan yang tidak lebih baik.”
Ia belum juga menyerah. “Tidakkah kamu ingin punya suami dan anak kelak?”
“Saya tidak tahu. Apa menurutmu itu perlu?”
“Ya, mungkin saja. Siapa tahu kamu akan lebih bahagia bila begitu.”
“Bila menikah membuat bahagia, lalu kenapa kamu masih selingkuh dengan saya?”
Skak mat. Laki-laki itu diam.
Untuk semua urusan dengan laki-laki, saya tak lagi menggunakan perasaan. Hanya sekali saya ceroboh, sewaktu masih lugu, saya memenuhi hati saya dengan seorang laki-laki. Saya ingat bagaimana kata-kata manis yang selalu ia ucapkan. Namun saya salah. Terlalu salah. Laki-laki itu tidak memiliki niat baik terhadap saya. Diambil paksanya keperawanan saya.
Saya malu dan menangis sejadi-jadinya. Mengurung dalam kamar, saya mengadu pada langit-langit. Saya diam. Tidak, saya lebih diam dari yang biasanya.
Lambat laun bangkai itu tercium juga. Ibu saya yang pertama kali menciumnya. Ibu memberondong saya dengan banyak pertanyaan. Saya tak kuasa menjawab satu saja di antaranya.
Diam. Saya menunduk pasrah. Ibu geram, diseretnya saya untuk memakai test pack. Seperti yang bisa saya kira, ia mengamuk sejadi-jadinya. Saya positif hamil.
Baginya, ini kegagalan. Berkali-kali saya dengar ibu mengatai saya bodoh. Saya bilang saya dipaksa, tapi ibu tidak mau tahu. Saya tidak tahu mengapa ia tak merutuki laki-laki itu juga.
Untuk pertama kalinya saya merasa sakit yang teramat. Saya dikuret. Cengkeraman pada sisi-sisi ranjang tak cukup melampiaskan apa yang saya rasa. Sungguh, sejak saat itu saya mati dan terlahir lagi sebagai perempuan yang tak lagi sama.
Setelah peristiwa itu, saya pernah juga hampir menikah, tapi tak pernah terjadi. Saya bisa mengingat, mata laki-laki itu mendelik saat saya mengakui apa yang pernah terjadi dengan saya. Ia mengatai saya murahan, dan cercaan lainnya. Tapi sama seperti ibu saya, tak sepatah kata pun ia mengumpat laki-laki itu.
Saya tahu ia suka main perempuan. Sekalipun saya menikah dengan laki-laki itu, bila saya masa bodoh dan tetap sabar, nasib yang paling mujur pun hanya jadi istri tuanya. Teronggok di rumah paling sederhana dengan perabot tua yang bahkan jumlahnya kalah dari perempuan yang pernah ditidurinya.
***
“Kalau istriku ampun deh, Ras. Badannya melar, lemaknya di mana-mana. Sudah kusuruh ikut senam, salsa, zumba apa aja deh, tapi nggak ada hasilnya juga. Beda sama kamu Laras. Kamu pintar ngerawat badan, bikin aku betah berlama-lama dengan kamu.”
Sambil mematut diri di depan cermin, saya tersenyum tipis. Pujian macam ini seringkali saya dengar. Keluhannya juga sama saja. Mereka saja yang tidak pakai logika. Jelas badan istri mereka berubah, istri kalian kan melahirkan anak!
“Duh, payah pokoknya istriku, masak saja nggak becus.”
“Kuno, coba posisi baru saja dibilang aneh! Maunya yang lurus-lurus saja. Mana menarik hubungan kami, Ras.”
Saya hanya diam dan mengangguk-angguk untuk membuat mereka merasa menang. Saya tahu pemikiran mereka salah. Tapi saya tidak meluruskan, karena saya bukanlah penasihat pernikahan. Saya hanya dibayar untuk membuat mereka merasa senang. Kesenangan yang tak seujung kuku pun bertahan.
***
Bertahun-tahun hidup tenang sebagai simpanan suami orang, tapi nyatanya bukan tanpa risiko. Bukan soal labrakan dari istri-istri yang suaminya pernah saya tiduri, masalahnya adalah… saya hamil.
Dan inilah yang membuat hidup saya berubah jadi tak tenang. Saya selalu merasa takut dan cemas. Setiap langkah, seolah ada yang terus mengawasi. Jika biasanya saya berjalan dengan percaya diri, angkuh dalam balutan bodycon dress mahal, sekarang jalan ke minimarket dengan celana kulot pun saya merasa malu. Rasanya tatapan orang-orang itu menelanjangi saya, seakan mereka melihat segala dosa yang saya lakukan. Ini benar-benar membuat saya frustrasi.
***
Saya mengelus perut saya sendiri, dan mulai berpikir kalau seandainya ada yang menginginkan kamu. Seorang laki-laki sebagai ayahmu. Yang gagah dan jantan yang dengan bangga menyebut kamu darah dagingnya. Ah, ‘seandainya’ sungguh kata yang mujarab untuk mendatangkan perasaan sepi sesudahnya.
Mungkin saya sudah agak mabuk. Entah mengapa perasaan menginginkan itu tiba-tiba makin menyergap. Saya memejamkan mata. Membayangkan sesosok laki-laki yang baik. Yang garis wajahnya keras, namun hatinya penuh kelembutan. Bayangan godaan harum tubuhnya menari-nari dalam kepala saya.
Ia mengajak saya dansa dalam dekapannya. Membelai lembut rambut saya. Berbicara sambil menatap ke dalam mata saya. Saya perempuannya. Dalam hati, dan dalam hidupnya hanya saya.
Saya terus berpura-pura. Membayangkan tangannya merengkuh saya. Sekali saja saya ingin ia mengelus pipi saya dengan penuh perasaan. Sekali saja.
Tak ada lagu pengiring, hanya angin sebagai pendamping kami. Air mata saya mulai jatuh menyirami semua omong kosong ini. Namun sungguh saya tidak ingin berhenti. Seakan guratan penderitaan ini sudah lama ingin saya keluarkan.
Laki-laki itu mengelus perut saya, sambil tersenyum. Kemudian saya memeluknya dan larut dalam luapan kegembiraan.
***
Keesokan paginya, sebuah headline beserta fotonya yang hampir setengah halaman di koran pagi ini mengejutkan beberapa laki-laki. Semua mengenali siapa sosok itu, perempuan hamil jatuh dari apartemennya.
Ada yang mengenalinya lewat baju tidur yang dikenakannya, ada yang tidak bisa lupa akan rambutnya yang tergerai sebahu, dan ada yang tidak menyangka bahwa perempuan itu hamil, yang mungkin adalah anaknya.
Dalam hati mereka masing-masing ada kelegaan tersendiri karena tidak menjalin hubungan gelap dengannya lagi. Mereka tak akan tersangkut masalah ini yang dapat membahayakan mereka. Sudah pasti polisi kira itu hanya murni kecelakaan atau memang bunuh diri.
Di antara sesap kopi hitam, terselip perasaan kasihan, perempuan itu tetap seorang diri, mungkinkah ada yang akan menangisi kepergiannya. Sekali lagi mereka menghela napas, mengenang Laras.