Culture Prose & Poem

Mewah itu Langit Biru

Jakarta semakin tersegregasi antara dunia Atas dan Bawah, yang terpisah lautan.

Avatar
  • November 28, 2019
  • 7 min read
  • 109 Views
Mewah itu Langit Biru

Jenar Citta Kumolo telah menjadi kaya raya dalam semalam.

Jenar membuka mata di sofa jumbonya. Ia terbaring di antara susunan bantal katun halus. Sofa empuk itu terasa asing. Begitu pun ruang lapang bergaya Skandinavia tempat ia terjaga. Langit-langitnya tinggi, dicat putih. Di tengah, meja marmer dan kaca. Di bawah, karpet sutra. Interior ruangan itu mahal tanpa mengucap kata.

 

 

Di manakah aku ini? Rumah. Itu meragukan. Sebuah ritme merayap ke telinga. Ombak.

Jenar mengedip. Sinar matahari pagi merembes jendela dan menyapu ubin dingin. Perempuan itu menutup muka dengan tangan.

Pemandangan luar biasa cantik, seperti lukisan megah, tampak di sudut itu: sudut ruangan dengan tembok-tembok kaca luar biasa tebal, transparan. Kaca itu satu-satunya batas antara ruang tengah Jenar dengan laut luas hijau kebiruan yang terhampar berkilometer jauhnya. Ombak berlomba menggulung tinggi sebelum terhempas di bebatuan hitam mengkilap. Langit biru cerah, bersih dari awan.

Mungkin dia sudah mati lalu terdampar di surga.

Jenar tahu rumah ultra mewah itu miliknya, meski seharusnya bukan.

Beberapa minggu lalu, Jenar telah membeli cermin ajaib dari pasar loak di Senen. Modelnya sederhana tapi menarik: melengkung di atas dan persegi di bawah, seperti pintu busur. Tingginya senormal cermin ukuran penuh, namun lebarnya cukup lebih dari biasa. Bingkainya tembaga.

Sang penjual bilang segala impian bisa terwujud jikalau Jenar bangun setiap pagi, berdiri di hadapan cermin itu, dan mengucap permintaan keras-keras. Tidak ada ketentuan berapa hari atau berapa minggu atau bahkan berapa bulan. Kalau cukup yakin, pasti terkabul. Jenar tertawa. Ia menyukai cermin itu karena dapat memberi ilusi kamar sempitnya lebih tinggi dan besar. Jenar memberikan tips kepada si penjual jenaka. Lalu mengangkat cermin itu hati-hati ke atas mobil pickup sewaan.

Setiap pagi sejak itu, Jenar memang tidak pernah lupa menyapa si cermin. Mengucapkan keras-keras keinginan hatinya. Apa yang menjadi mimpi jiwanya.

Aku ingin menjadi kaya raya dan tinggal di rumah paling cantik di dunia.

Aku ingin menjadi sangat, sangat kaya.

Aku ingin menjadi kaya raya dan tinggal di rumah paling cantik di dunia.

Aku ingin menjadi sangat, sangat kaya.

Bukan karena Jenar percaya apa yang dikatakan si penjual cermin. Orang bisa ngomong apa saja untuk menjual sesuatu. Jenar cuma berpikir, apa salahnya memberi motivasi diri sendiri? Mulanya terasa aneh, namun lama-lama Jenar tidak peduli. Ia mulai tersenyum-senyum sendiri saat mengucapkan mantranya itu.

Di antara malam-malam panjang begadang dan kantong yang pas-pasan untuk membeli bahan demi kuliah arsitek yang sulit setengah mati itu, Jenar berkali-kali tergoda untuk drop out dan membuka toko hotdog hipster di Pasar Santa. Namun sejak ada si cermin, dan bicara padanya, Jenar merasa dia bisa membalik gunung.

Baca juga: Besok Giliranku Mati

Pada hari ke empat puluh sembilan, Jenar memanjat tempat tidur reyot dalam kamar sempit miliknya di sebuah kos kusam di Slipi itu dan pergi tidur. Saat bangun, Jenar menemukan dirinya di sini, di rumah cantik di pinggir laut.

Jenar bergegas menyalakan televisi, yang besarnya hampir setengah dinding. Stasiun berita sedang menyiarkan siaran pagi dalam bahasa Indonesia (Peringatan Gelombang Panas). Hari itu hari Minggu.

Jenar mengambil ponsel dari atas meja, ingin tahu di mana persisnya ia berada. Di Bali? Lombok mungkin? Peta digital di layar menunjukkan Jakarta yang bentuknya sudah berubah. Jenar melotot. Ia masih ada di Slipi. Daerah yang seharusnya berjarak dua belas kilometer dari garis pantai.

Mengapa tempat ini tiba-tiba berada di pinggir laut?

Mungkin sebaiknya ia mengecek kompleks sekitar. Jenar beranjak menuju pintu. Sebuah layar hologram tiba-tiba muncul menghalangi.

Heat wave alert. Please suit up appropriately.

Peringatan gelombang panas. Mohon berpakaian yang sesuai..

Apa-apaan, pikir Jenar.

Ia menemukan sebuah rak penyimpan terusan baju proteksi berwarna perak–seperti jas petugas pemadam kebakaran jika terbuat dari aluminium. Lengkap dengan sarung tangan, sepatu lars, dan pelindung kepala senada. Males banget, pikir Jenar.

Ia harus menjelajah rumah besar itu selama dua puluh menit sebelum menemukan lift menuju lantai bawah tanah, yang tentu saja, menyimpan tiga mobil anti-panas terparkir manis.

Jenar masuk ke salah satunya, lalu memacu mahakarya itu di atas jalanan mulus. Pemandangan laut sempurna terus membuka di sisi kanan. Pohon-pohon rindang menjulang. Hanya saja, pohon-pohon itu tidak kelihatan alami. Jenar menepis dugaannya sendiri. Namun pikirannya tidak mau diam. Ia kini berpikir tentang laut. Tentang apa yang berada di bawah air biru cantik itu, mengingat garis pantai telah pindah dua belas kilometer… Jenar bergidik.

Perempuan itu menggelengkan kepala sehingga rambutnya yang terpotong modis seleher mengibas muka. Ini tidak kelihatan seperti Slipi sama sekali. Slipi yang sibuk, terkurung asap knalpot hampir setiap saat. Slipi dan Jakarta yang dikenalnya dulu rasanya seperti mimpi yang jauh.

Jalanan mirip tol yang ditempuh Jenar tiba-tiba menukik ke terowongan bawah tanah. Dalam dan panjang. Lampu-lampu kuning temaram terpasang di kanan kiri. Hampir lima belas menit berlalu dan Jenar masih melaju di terowongan. Beberapa kali terowongan itu menukik. Semakin dalam ke perut bumi.

Jenar sudah berniat mau putar balik ketika terowongan itu tiba-tiba mendatar, lalu membuka jadi ruang yang demikian lapang. Begitu lapang hingga ujungnya tidak terlihat. Langit-langit semennya menjulang tinggi, digantungi ribuan bola lampu yang bisa dihidupkan dan dimatikan sesuai jadwal. Dataran luas itu terbagi dalam ratusan blok–satu blok terdiri dari selusin bangunan.

Baca juga: Ketika Cut Nyak Dien Terlempar ke Mesin Waktu

Ia melaju makin dalam. Atap dan kaca mobilnya memantulkan cahaya dari ribuan bohlam yang tergantung tinggi di atas, yang kini berpendar perlahan dan berubah warna dari kuning redup menjadi putih terang. Seperti malam menjadi pagi.

Jenar menutup mulut dengan tangan. Ia hampir pingsan.

Ini Kota Jakarta bawah tanah.

Jenar menemukan tempat parkir tidak jauh dari sebuah salon. Sebetulnya dia tidak yakin itu tempat parkir sungguhan. Karena tidak ada mobil lain, rasanya tidak apa ditinggal sebentar.

Jenar melangkah turun dan mulai melahap setiap detail Jakarta baru itu. Meski ribuan bola lampu di atas telah menyala, kota itu tidak dapat terang seutuhnya.

Tidak ada metromini. Tidak ada motor berdempet seperti ikan asin. Tidak ada bajaj bising. Sepeda di mana-mana. Meski tidak ada mesin kendaraan, udara tetap panas. Udara di sana diam, tidak bergerak, mengurung siapa saja yang mengambil napas. Karena sirkulasi minim, ia juga terasa sangat pengap. Jenar tidak tahu bagaimana orang dapat tinggal di sini.

Banyak warteg serta toko belum buka. Kecuali sebuah pasar minggu tak jauh dari perempatan kedua di depan. Para lelaki membetulkan sarung, memakai peci, menggelar terpal-terpal. Para perempuan menata dagangan. Tumpukan selada, kol, bayam, kangkung, dan tomat perlahan dibangun. Sayur mayur itu tampak layu. Seperti sudah mati dua kali. Ada juga sedikit ragam kacang. Tidak ada bau amis ikan segar baru dibawa dari laut. Jajaran daging sapi dan ayam pun absen.

Ketika itu jam delapan pagi. Warga yang ingin sekadar meluruskan kaki mulai keluar. Mereka bermunculan setelah menaiki semacam tangga terowongan menganga di sana-sini. Sepertinya rumah-rumah itu memanjang jauh lebih dalam ke bawah. Layaknya apartemen terbalik: alih-alih ke atas, ia menjulang ke bawah. Bagian yang terlihat oleh Jenar adalah satu atau dua lantai teratas, serta atap.

Orang-orang Bawah kurus dan pucat. Gerak-gerik mereka lemah. Beberapa jelas sakit parah. Banyak yang hanya bisa duduk lemas di kursi roda. Anak-anak berperut buncit duduk di pangkuan kakek-nenek mereka. Sulit ditebak siapa yang akan mati duluan.

Sedapat mungkin, mereka bercengkerama di taman-taman kota yang tersebar. Ukuran satu taman kota tidak terlalu luas–hanya cukup untuk beberapa pohon dan semak buatan, menaungi atau mengelilingi beberapa tempat duduk memanjang.

Beberapa orang melihat Jenar celingukan. Mereka berhenti dan menatapnya aneh. Mereka tahu Jenar datang dari Atas. Kelihatan jelas dari pakaiannya yang disetrika rapi. Rambutnya yang modis. Wajah-wajah pucat kurang matahari dan gizi itu terus bertambah, mengelilingi Jenar, berbisik-bisik di antara mereka.

Jenar hanya bisa menunduk, menatap sandal Gucci-nya. Kerumunan orang itu makin lama makin tebal. Jenar merasa napasnya semakin cepat. Jantungnya berdebar. Ia tidak sanggup mengangkat kepala. Ngeri sendiri ia membayangkan apa yang terjadi pada kota-kota lain, atau bahkan negara-negara lain. Apa mereka juga membangun kota bawah tanah? Seberapa banyak yang mengungsi? Berapa populasi dunia saat ini?

Jenar melirik jam tangan Swiss di tangan kiri. Waktu sarapan. Mungkin dia masih bisa makan daging ayam sintetis yang dilihatnya di kulkas tadi. Ditariknya napas panjang.

“Bukan salahku,” katanya, mengangkat bahu. Jenar menerobos kerumunan, memanjat mobil anti-panasnya dan kembali ke dunia Atas–dunia yang kini miliknya.

Orang-orang Bawah hanya dapat menyaksikan semua itu, sementara Jenar menghilang ditelan terowongan panjang yang memisahkan kedua dunia mereka.


Avatar
About Author

Antonia Timmerman