Laporan TaskForce KBGO: Sekolah Masih Jadi Prepetator Buat Korban KBGO Anak
Jumlah korban KBGO anak kian hari, kian bertambah. Dalam hal ini, sekolah perlu ambil bagian untuk keberlangsungan masa depan korban.
“Belakangan, kenapa banyak kasus yang korbannya anak-anak, ya?” Pertanyaan ini menjadi kalimat pembuka laporan “Refleksi 3 Tahun TaskForce KBGO terkait Korban KBGO Anak”. Satu tahun terakhir ini merupakan tahun-tahun yang berat karena semakin lama, intensitas korban anak dalam kasus KBGO semakin bertambah.
Pada proses pendampingan, usia korban kerap kali jadi kendala tersendiri dalam proses penyelesaiannya. Salah satu tim TaskForce KBGO, Amalia Puri Handayani merasa terbata-bata saat menyelesaikan perkara kasus KBGO pada anak. Dengan batas usia legal 18 tahun, sering kali pendamping mengalami kesulitan saat meminta persetujuan perwalian orang dewasa ketika kasusnya ingin dilanjut ke ranah hukum. Persepsi wali dan pihak sekolah terhadap KBGO pun menjadi penting dalam penyelesaian kasusnya.
Penilaian wali dan pihak sekolah terkait KBGO pada anak merupakan hal krusial. Jika tidak tepat, dampak buruk pada korban anak bisa jadi tidak terelakkan. Pada beberapa kasus, persepsi terkait KBGO pada anak yang keliru justru menimbulkan efek diskriminasi, hingga berujung pada pengeluaran korban dari sekolah.
Baca juga: Neraka Jurnalis Perempuan: Kena KBGO, Tak Dilindungi Perusahaan Media
Seperti salah satu kasus yang terjadi di Sorong pada 2023 silam. Dikutip dari Tribun.com, akibat tindakan non-consensual dissemination of intimate images (NCII) yang menimpanya, seorang siswi (N) harus menanggung konsekuensi dikeluarkan dari sekolah (drop-out) karena dianggap merusak nama baik sekolah.
Kasus N bukan satu-satunya kasus KBGO pada anak yang terjadi belakangan ini. Riset terbaru yang diterbitkan oleh TaskForce KBGO mencatat dari 148 aduan yang diterima dalam 3 tahun terakhir, terdapat 31 kasus yang korbannya berusia 15-18 tahun. Pelaku utama dari kasus yang menimpa anak mayoritas adalah kenalan daring yang ditemui dari media sosial hingga online games seperti Mobile Legend dan Genshin Impact. Pelaku anonim pun menempati posisi pelaku utama terbanyak kedua pada kasus KBGO yang menimpa korban usia anak.
Motif pelaku hadir dalam berbagai bentuk. Pengancaman penyebaran foto dan video intim korban (NCII) sendiri menempati posisi pertama dengan total aduan sebanyak 22 kasus dalam 3 tahun terakhir. Selanjutnya, bentuk KBGO sering kali ditemui dengan modus child grooming dalam bentuk sexting, sextortion, hingga live streaming kekerasan seksual
TaskForce KBGO sendiri mengakui bahwa penting untuk menjaga sinergi antar lembaga dalam menangani kasus KBGO pada anak. Dalam laporan refleksi 3 tahunan, TaskForce mengakui bahwa perlu adanya kolaborasi yang sinergis antara organisasi penyedia layanan untuk kekerasan terhadap anak, wali korban, dan terlebih lagi, institusi pendidikan.
Baca juga: Kasus KBGO Masih Marak, Bukti Platform Medsos Belum Jadi Ruang Aman
Ibu dan Bapak Guru Penting Diberi Pelatihan
Penilaian sekolah dalam kasus KBGO yang menimpa anak adalah hal yang penting pada proses penyelesaian kasus kekerasan berbasis gender online. Sayangnya, hingga saat ini, penilaian dan penafsiran tenaga pendidik dan sekolah dalam kasus KBGO pada anak justru banyak muncul dalam bentuk yang tidak diharapkan.
Anggapan korban adalah aib bagi sekolah masih sering ditemukan. Menurut Dinda Yura, perwakilan dari Purple Code Collective, dekonstruksi terhadap persepsi ini masih menjadi PR besar bagi kita semua.
“Sinergitas dari kasus-kasus yang ditangani dengan apa yang dikampanyekan menjadi penting dan yang perlu dibongkar itu memang persepsinya. Ini juga termasuk persepsi pada tenaga pendidik. Kita semua tahu ini adalah PR yang harus dikerjakan secara terus menerus,” ungkapnya saat sesi tanggapan pada Refleksi 3 Tahun TaskForce KBGO.
Patricia Cindy, salah satu tim TaskForce KBGO juga turut membagikan pandangannya terkait kasus KBGO korban anak yang melibatkan pihak sekolah. Diwawancarai secara terpisah pada 31 Mei 2024 lalu, Cindy menuturkan bahwa persepsi tenaga pendidik terhadap KBGO yang menimpa anak sangatlah berpengaruh terutama pada proses hukum yang sedang dijalankan.
“Bicara tentang pengaruhnya, perspektif guru itu pengaruhnya besar banget ya. Dari kasus yang pernah didampingi dan melibatkan anak, korban ini pernah terancam untuk dikeluarkan dari sekolah dan ini sangat berpengaruh terhadap proses advokasinya” jelas Cindy.
Pada kasus lain yang ditangani TaskForce KBGO, persepsi yang keliru terhadap korban KBGO anak juga bisa merugikan kedua belah pihak. Menurut Cindy, penilaian keliru yang muncul dari tenaga pendidik bisa menghilangkan hak pemenuhan atas pendidikan pada anak yang berhadapan dengan hukum.
“Perspektif yang tidak berpihak pada korban ini memang sangat berpengaruh pada anak. Terlebih kalau pelakunya juga sama-sama anak ya, proses pemenuhan hak atas pendidikan pelaku dan korban ini jadi enggak terjamin. Sekolah sebetulnya enggak bisa serta merta mengeluarkan anak dari sekolah.” tambahnya.
Baca juga: Ancaman Deepfake: KBGO dan Gerak Perempuan yang Makin Rentan
Apa yang Bisa Dilakukan Sekolah?
Pada proses penanganan kasus KBGO anak, sekolah punya andil besar pada pemenuhan hak pendidikan bagi korban maupun pelaku. Cindy, dari TaskForce KBGO menyampaikan bahwa hal ini perlu dilakukan sesuai dengan mandat yang diberikan negara melalui Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
“Sebetulnya, kita sendiri sudah punya payung hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Jadi, apabila ada kasus kekerasan seksual, khususnya dalam bentuk KBGO, sekolah enggak bisa serta merta mengeluarkan si anak dari sekolah. Sekolah justru harus membantu anak yang terlibat dalam kasus ini dalam bentuk dukungan apa pun,” jelas Cindy.
Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan sendiri memuat beberapa hal terkait apa saja yang perlu dipenuhi oleh sekolah apabila terjadi kekerasan pada satuan pendidikan. Selain menjamin pemenuhan hak atas pendidikan bagi korban maupun pelaku usia anak, aturan ini juga secara spesifik mengatur apa saja yang perlu dilakukan sekolah ketika terjadi tindak kekerasan dalam satuan pendidikan.
Sekolah perlu menjamin beberapa bentuk pendampingan pada korban maupun pelaku. Pendampingan ini meliputi beberapa bentuk seperti pendampingan sosial, psikologis, layanan kesehatan, advokasi, dan hingga bantuan hukum.