Culture Screen Raves

Merayakan Pride dengan Menangis Bersama ‘All Of Us Strangers’

Ada percakapan anak dan orang tua yang bukan cuma indah, tapi bikin mata bengkak di film ini.

Avatar
  • June 5, 2024
  • 5 min read
  • 1508 Views
Merayakan Pride dengan Menangis Bersama ‘All Of Us Strangers’

Di sebuah apartemen high-rise yang sepertinya tidak berpenghuni, Adam (Andrew Scott), seorang penulis skrip menjalani hari-harinya dengan begitu membosankan. Ia duduk di depan laptopnya dengan mata penuh kesedihan. Kalau tidak menghibur diri dengan menonton acara TV lama sambil makan biskuit, ia menghabiskan waktunya dengan mengonsumsi alkohol. Sesekali ia membuka foto-foto saat ia masih kecil, saat kedua orang tuanya masih ada.

Suatu malam, alarm emergency berbunyi dan memaksa Adam untuk ke luar apartemen. Dari jalanan ia melihat seorang laki-laki yang menatapnya dari apartemen. Saat Adam sudah kembali lagi ke apartemen, pintunya diketuk. Harry (Paul Mescal), lelaki yang dilihatnya dari jalanan itu kini ada di depannya, menawarkan untuk menghabiskan waktu bersama. Adam menolaknya padahal dia tahu benar sudah berapa lama ia tidak menyentuh atau bercakap-cakap dengan orang lain. Harry pergi dengan agak kecewa, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

 

 

Hidup Adam setelah kejadian tersebut berjalan seperti biasa. Ia menulis lagi dan kadang berpergian. Kemudian suatu hari ia memutuskan untuk pergi ke rumah masa kecilnya. Yang aneh ia melihat lampu menyala dan kehidupan di sana. Adam memutuskan untuk pergi ke rumah tersebut dan ia disambut oleh Bapak (Jamie Bell) dan Ibu (Claire Foy). Obrolan mereka saat makan malam rupanya membuat hidup Adam menjadi lebih berwarna. Ia juga memutuskan untuk menerima tawaran Harry menghabiskan waktu bersama.

Baca juga: 10 Film dan Serial TV Bertema LGBT yang Wajib Ditonton

Kesempatan Kembali ke Masa Lalu

Tidak semua pembuat film bisa membuat apa yang Andrew Haigh lakukan dalam All Of Us Strangers. Film ini tidak memiliki banyak pemain atau adegan dramatis raksasa. Semua adegannya terkesan sederhana. Tapi, semuanya terasa hidup, natural, manusiawi, dan nyata. Haigh bahkan tidak perlu repot-repot menjelaskan bagaimana sang karakter utama bisa menemui orang tuanya yang sudah meninggal saat ia masih kecil. Haigh tahu benar bahwa ini adalah sebuah kisah hantu yang universal. Bahkan ketika All Of Us Strangers masuk ke teritori abstrak, semua emosi yang muncul di layar tetap terasa familiar.

All Of Us Strangers akan memiliki pemaknaan yang berbeda bagi setiap penontonnya. Bagi penonton biasa, film ini akan jadi tontonan emosional. Tapi untuk orang-orang LGBTQ+, menyaksikan All Of Us Strangers adalah melihat refleksi masing-masing di layar kaca. Haigh tidak perlu menjelaskan apa pun dengan gamblang, tapi kita bisa mengerti keputusan-keputusan karakter utamanya. Kenapa Adam menutup diri, keengganannya untuk berinteraksi dengan orang lain, kepasrahannya soal menjalani hubungan. Semuanya terasa jelas padahal Haigh hanya memberikan jawabannya melalui subtext obrolan antara Adam dengan kedua orang tuanya.

Diadaptasi dari buku karangan Taichi Yamada berjudul Strangers, film ini sebenarnya sangat menakutkan. Manusia tidak akan pernah bisa kembali ke masa lalu untuk mempertanyakan hal-hal yang sudah terjadi. Dalam film ini Haigh mengajak penonton untuk bertanya-tanya apa yang terjadi jika kita mendapatkan kesempatan itu: kesempatan untuk bertanya kepada orang tua kita tentang kejadian-kejadian traumatis di masa lalu. Di sinilah All Of Us Strangers menjadi sebuah film yang menyiksa.

Ada tiga adegan yang menurut saya cukup menggelegar. Pertama, momen ketika Adam coming out kepada ibunya. Respons sang ibu bisa dibilang seperti exposure therapy—sesuatu yang akan membantu Adam dan kira, menyembuhkan luka besar. Adegan kedua adalah ketika Adam “terbang” ke momen mereka menghabiskan Natal terakhir bersama. Menyaksikan laki-laki dewasa menggunakan piama anak-anak seharusnya terlihat menggelikan. Tapi, dalam All Of Us Strangers, berkat akting Jamie Bell dan Claire Foy yang luar biasa, adegan ini jadi terlihat melankolis dan dramatis. 

Momen terakhir adalah ketika Adam bicara berdua dengan ayahnya. Mendengar si ayah meminta maaf soal perlakuannya di masa kecil Adam, ternyata tidak hanya memantik respons sang karakter utama, tapi juga penonton. Saya yakin bukan saya saja yang menangis saat sang ayah bermonolog minta maaf dan memilih anaknya ketimbang maskulinitas beracun yang bisa mematikan anaknya, hubungan mereka.

Baca juga: Belajar dari Film ‘Badhaai Do’, Menikah Bukan Solusi Bagi LGBTQ+

Siapkan Tisumu!

All Of Us Strangers memang bukan film blockbuster atau plot-driven drama yang dipenuhi dengan adegan-adegan besar. Tapi kalau kita mengukur emosi sebagai basisnya, film ini adalah bom nuklir. Saya tidak bisa membayangkan aktor-aktor lain untuk memerankan karakter-karakter ini karena keempat aktor dalam All Of Us Strangers memberikan penampilan terbaik mereka. Meskipun Jamie Bell dan Claire Foy usianya jauh lebih muda dari Andrew Scott, tapi mereka berhasil membuat lubang waktu itu tertutup. Mereka tidak hanya meyakinkan sebagai orang tua yang bertemu dengan anaknya kembali setelah sekian tahun tidak bertemu, tapi juga berhasil menunjukkan nuansa getir tanpa perlu mengucapkan sepatah kata pun dialog.

Baik Paul Mescal dan Andrew Scott adalah jenis aktor yang mirip. Mereka sepertinya diberkahi anugerah untuk bisa mempunyai chemistry dengan siapapun lawan main mereka. Dua aktor ini memiliki kemampuan mengakses emosi dengan baik, dari pertama kali mereka bertemu, saya sudah percaya bahwa mereka jatuh cinta. Mata mereka berbicara, bahkan dalam beberapa kasus berteriak dengan lantang. Hanya dengan satu tatapan mata, Scott bisa menunjukkan kegetiran dan luka. Hal yang sama juga ditunjukkan dengan Mescal. Hanya dengan satu lirikan, saya bisa merasakan betapa sepi hidup karakter yang ia mainkan.

Baca juga: Representasi LGBTQIA di Film ‘Superhero’

All Of Us Strangers adalah sebuah film tentang koneksi. Itulah sebabnya desain produksi film ini terlihat kosong dan sepi. Haigh memaksa penonton untuk melihat bagaimana karakter-karakternya berinteraksi dan menjalani hidup mereka. Jangan pedulikan sekeliling, yang penting hanyalah rasa. Bahkan kalau akhirnya rasa itu terlalu pahit untuk ditelan.

All Of Us Strangers dapat disaksikan di Disney+ Hotstar



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *