LDR: Hubungan Cinta yang Memabukkan
Lebih baik saya menjadi sosok yang berdikari daripada harus menjalin hubungan asmara dengan kompleksitas permasalahan yang membuat sesak hati setiap hari.
Dulu saya tidak merisaukan jika harus menjalin hubungan jarak jauh, biasa kita kenal dengan Long Distance Relationship (LDR). Seperti yang orang-orang katakan, kunci keberhasilan dari sebuah hubungan jarak jauh yang terpenting adalah lancarnya komunikasi dan keterbukaan antarpasangan. Saya pun sudah menerapkan kedua kunci utama tersebut, namun masih saja harus kandas di tengah jalan.
“Dari tadi ke mana aja? Ditelepon berkali-kali enggak diangkat. Lagi sama orang lain? Ok, lanjutin, deh,” begitu ucapan pasangan saya beberapa kali setiap kita bercakap melalui panggilan video ataupun dering panggilan suara. Cukup menghela napas, rasanya sudah menjadi makanan pokok yang disajikan kepada saya setiap pagi, siang, sore, ataupun malam hari.
Kami memutuskan untuk menjalani hubungan jarak jauh atau LDR ini sejak akhir Maret lalu. Terhitung kisah asmara kami hingga akhir kini hanya empat bulan setengah, belum genap lima bulan. Sebelumnya, kami bertemu melalui Twitter. Saya mengenalnya sebuah akun anonim yang menarik perhatian saya. Akhirnya saya pun memberanikan diri mengirim pesan dan singkat cerita perkenalan kami berlanjut di aplikasi WhatsApp.
Kami sama-sama sudah merintis karier, namun yang membedakan, saya masih berkutat juga dengan perkuliahan. Tempat dinasnya berada di Majalengka, sedangkan saya di Yogyakarta. Sebenarnya, bisa saja setiap beberapa minggu sekali kita bertemu, namun semenjak adanya pandemi, semuanya menjadi tak terkendali. Lagi pula, kita juga masih sadar akan kewajiban dan tanggung jawab pribadi, mana saja yang harus diprioritaskan dahulu di dalam kehidupan masing-masing, selain hubungan.
Baca juga: Pelajaran Berharga dari Hidup Bersama di Usia 19
Pada jalinan hubungan awal, masih cukup hangat kedekatan kami, meskipun hanya bisa menatap layar gawai masing-masing. Setiap waktu senggang, kami berdua menyempatkan diri untuk panggilan video. Sekadar menampakkan wajah satu sama lain, rasanya sudah lebih dari cukup untuk mengobati rindu. Persis layaknya anak beranjak dewasa yang sedang kasmaran.
Sampai-sampai, kami pun juga sudah memiliki rencana perjalanan dan aktivitas yang akan dilakukan bersama ketika sudah berjumpa kembali—hingga detik ini pun saya masih menyematkannya di dalam pesan berbintang di aplikasi.
Namun, lambat laun irama hubungan yang kami rasakan sudah berbeda. Mulai bermunculan masalah-masalah kecil yang berdatangan seperti ego yang tak terkendalikan, kecemburuan, komunikasi yang semakin alot, dan kurangnya kesadaran untuk berbenah diri. Tidak, saya tidak berniat menyudutkannya, saya pun salah. Saya juga perlu berbenah.
Kompleksitas permasalahan yang hadir lainnya adalah hubungan backstreet. Saya kurang nyaman dengan keputusan hubungan semacam itu. Sejak pertama kami menjalin hubungan di awal, tak ada kesepakatan yang aneh-aneh. Hingga tiba di pertengahan, semuanya dilontarkan. Katanya, ia tak ingin jika teman-teman dan keluarganya ada yang mengetahui hubungan kami. Terus saya bertanya, mengapa? Jawaban yang saya terima juga tak jelas. Alasan yang ia berikan tak masuk akal. Lantas, saya berpikiran, apakah sehina itu saya di mata dia? Pun, saya juga tak ingin mengeruk habis segala privasinya, lalu apa yang harus disembunyikan?
Baca juga: 5 Tipe Cowok di Aplikasi Kencan yang Tampak Normal Tapi ‘Unmatchable’
Belum pulih dari permasalahan yang sebelumnya, sudah beranjak ke permasalahan berikutnya. Tak ada jeda untuk kami bernapas lega. Setiap harinya diisi dengan amarah dalam hubungan yang meletup-letup. Rasanya, tak ada hari tanpa keributan. Kami masih belum bisa andal untuk mengendalikan emosi diri. Ditambah pula, dia belum cukup terima dengan segala masa lalu saya. Saya masih terkoneksi dengan beberapa orang yang mendekati saya, terlalu menanggapi respons orang-orang yang ada di media sosial, bahkan melarang saya pula untuk tidak terlalu bermain gawai. Lah, saya bekerja di dunia industri kreatif–yang harusnya terkoneksi di media sosial tanpa henti–apakah saya harus membatasi aktivitas saya?
Hubungan yang memabukkan alias tak sehat ini berlanjut pada ketidakpercayaan satu sama lain. Alhasil, saya menyerahkan semua akses media sosial ke dia. Dia pun demikian. Bukannya tambah lega karena sudah mengetahui seluk beluk pribadi pasangannya di media sosial, justru keributan dalam hubungan semakin runyam. Permasalahan yang timbul kian tak karuan, kami pun saling mengekang untuk ini dan itu. Bukannya kita tinggal di negara yang demokrasi dan hak asasi manusia seharusnya terpenuhi, lalu mengapa kebebasan tiap individu semakin terancam seperti ini?
Baca juga: Patah Hati Akibat ‘Ghosting’ Sungguh Melelahkan
Jujur, pada pucuk hubungan sebelum berpisah, saya mengalami dilema yang mendalam. Dilema ingin putus karena sudah tak tahan dengan sifat dan perlakuannya, namun di sisi lain juga masih menyimpan harapan di masa mendatang. Kalau sudah seperti itu, apa tetap menjadi kewajaran jika hubungan tak sehat bisa diteruskan tanpa ada keinginan untuk introspeksi diri dengan pasangan?
Akhirnya, saya memutuskan mengakhiri hubungan dengannya. Saya mencoba meyakinkan diri bahwa bisa menjadi sosok yang lebih baik lagi di kemudian hari. Saya ingin mengevaluasi diri, karena saya yakin jika kita ingin mendapatkan tambatan hati yang sesuai dengan keinginan, selaraskan dahulu dengan segala perbuatan kita sebagai cerminan, agar lebih siap menghadapi permasalahan dalam hubungan yang menghadang.
Bagi saya, sebelum menjalin hubungan dengan seseorang yang kita cintai, matangkan dahulu pemikiran yang bisa terbuka, visioner untuk keduanya, dan menyingkirkan ego demi kebaikan bersama. Pada dasarnya, kelanggengan hubungan karena adanya fondasi bersama dalam hal kepercayaan, konsistensi, dan keterbukaan. Cinta tak melulu soal pasanganmu, melainkan juga penerimaan dirimu.