‘Liberation’ Tarian dan Perjuangan Perempuan
Lewat tarian, Mila Rosinta Notoatmojo mengkritik norma sosial budaya di Indonesia yang mengekang perempuan.
Saya langsung beranjak dari tempat duduk penonton dan berjalan untuk menemui penari Mila Rosinta Notoatmojo malam itu. Ia baru saja menyelesaikan nomor pertunjukan Liberation di Lapangan Grha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta September lalu.
Mila berjalan agak pincang dan nafasnya terlihat agak terengah, namun tubuhnya yang mungil dan perutnya yang buncit karena sedang hamil memancarkan sensualitas yang besar. Cukup lama saya harus menunggunya untuk berganti pakaian hingga ia menemui saya dan menyambut saya dengan baik. Saya dan Mila, yang masih tampil dengan riasan wajah menyerupai Zoro, kemudian memutuskan untuk mengobrol di luar tenda.
Tarian Liberation di Jogja International Street Performance 2018 (Foto: instagram.com/milarosinta)
Liberation adalah sebuah tarian kontemporer yang diciptakan oleh Mila dan kawannya, Angela Vela, dari Meksiko. Tarian ini untuk pertama kalinya ditampilkan dalam acara Jogja International Street Performance 2018 pada 11 September lalu. Kesan saya, setiap gerakan tarian ini menunjukkan ekspresi duka yang dibawakan dengan semangat.
Bagi saya, tarian yang dibawakan sebagai penutup acara JISP 2018 itu menjadi tarian yang sarat makna di tengah keadaan masyarakat kita saat ini. Mila dan Angela membawakannya dengan sangat apik, ditambah alunan musik tradisional Jawa yang terdengar marah, membuat saya terpukau pada setiap gerakan yang diciptakan.
Menurut Mila, Liberation adalah proyek kolaborasi pertama yang diciptakan bersama bersama Angela. Tarian itu mengisahkan seorang perempuan yang berjuang dengan pilihan-pilihan hidupnya supaya bisa menjadi individu yang merdeka dan bebas. Salah satu caranya yaitu dengan menyingkirkan berbagai stereotip masyarakat yang ada, ujarnya.
“Proyek ini didasari pengalaman kami berdua. Angela sebagai orang luar melihat fenomena yang ada di Indonesia sangat berbeda dengan apa yang ada di negaranya sendiri. Ia mempunyai teman-teman dari Indonesia yang ketika ditanya mengapa mereka kuliah, mereka menjawab bahwa mereka berkuliah atas dasar orang tuanya atau keluarganya,” ujar Mila.
(Foto: instagram.com/milarosinta)
Bahkan sampai cara berpakaian dan berkerudung pun itu bukan atas keinginan sendiri tapi karena keterpaksaan sosial, tambahnya. Alasan serupa juga berlaku dalam urusan menikah. Sebagai orang Meksiko, menurut Mila, Angela kaget dengan kebiasaan orang Indonesia yang terlalu banyak bertanya hal-hal privasi kepada para perempuan seperti, “Berapa umurmu?”, atau “Sudah punya pacar belum?”.
“Apalagi pertanyaan mereka seputar perempuan dan urusan domestiknya seperti ‘Kapan nikah?’, ‘Sudah punya anak belum?” Kemudian setelah punya anak, ‘Kapan nambah anak lagi?”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak akan pernah selesai,” kata Mila.
Mila melanjutkan bahwa pengalaman-pengalaman pribadinya membuat ia berpikir dan bertanya-tanya, berapa kali kita merasa terpenjara dalam pikiran kita sendiri? Berapa kali orang membuat kita merasa terisolasi? Kenapa kita harus mengikuti pilihan sosial yang dianggap normal? Hidup kita, kitalah yang menjalani. Hidup kita pilihan kita.
(Foto: instagram.com/milarosinta)
Perempuan berusia 28 tahun itu mengatakan bahwa masalah tentang perempuan menjadi penting untuk diangkat dalam tarian kali ini.
“Kita adalah manusia sosial yang dekat dengan tetangga, dan tentunya akan selalu membutuhkan topik untuk dibicarakan. Tapi mengapa yang dibicarakan bukan tentang kapan kamu berkarya, kamu sedang melakukan apa? Kamu sedang penelitian apa? bagaimana progress-mu dalam sesuatu? Atau pertanyaan-pertanyaan lain terkait pencapaian kita,” ujarnya.
Meskipun Liberation mengangkat tema atas hak perempuan, ia mengatakan bahwa tarian ini menghasilkan jenis kelamin identitasnya sendiri, dan bahwa kita harus berani mendobrak struktur yang sudah ada.
“Janganlah kita memilih hidup karena lingkunganmu atau norma sosial budaya yang mengekangmu. Tetapi pilihlah hidupmu sesuai dengan apa yang kamu inginkan,” ujarnya.
Mila berpesan, “kita boleh saja mengetahui paradigma-paradigma sosial lama, tapi kita tidak melulu harus mengikuti tradisi yang sudah ada. Memilih jalan sendiri sesuai dengan kata hati itu lebih merdeka dibandingkan mengikuti orang lain. Hidup hanya sekali kenapa kita terisolasi dengan kehidupan kita sendiri. Kita tidak perlu sama untuk nyaman.”
Jam sudah menunjukkan hampir pukul 11 malam. Saya pun pamit kepada Mila. Malam yang cukup dingin dan tanpa cahaya itu seakan berubah menjadi malam yang bercahaya karena diskusi dengan Mila tentang tarian, perempuan, dan kebebasan. Saya merasa hangat.
Shofi Ayudiana asli Tasikmalaya. Pernah belajar Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada.