People We Love

Ligwina Hananto: Di Balik Kecintaannya terhadap Komedi dan Cap “SJW” dari Netizen

Selain menceritakan di balik layar pertunjukan Social Justice Wina, Ligwina Hananto membagikan situasi industri ‘stand up comedy’ yang masih didominasi laki-laki.

Avatar
  • May 10, 2023
  • 16 min read
  • 2062 Views
Ligwina Hananto: Di Balik Kecintaannya terhadap Komedi dan Cap “SJW” dari Netizen

“Buatku, SJW itu orang yang pergi ke Women’s March dan Kamisan….atau orang-orang yang mendampingi korban kekerasan, mendengarkan keluhan buruh, dan menolong TKW. Kalau aku sih cuma tante-tante yang banyak omong aja, makanya aku enggak pernah memandang diriku SJW….(aku) enggak pernah ke Women’s March karena enggak baik untuk kulit mukaku.”

Setelah sekian lama dikenal sebagai finansial trainer, Ligwina Hananto terus membangun karier keduanya sebagai komika. Dan puncaknya adalah pertunjukan komika tunggalnya “Ligwina Hananto: SJW! Social Justice Wina” pada Sabtu (6/5) lalu, sebuah gebrakan bagi seorang perempuan di dunia komika di Indonesia yang masih didominasi laki-laki. Selama hampir satu jam, Ligwina mengocok perut penonton dengan materi beragam yang disampaikan dalam bahasa Inggris, mulai dari kehidupannya sebagai seorang Karen” versi Indonesia sebagai perempuan muslim konservatif berhijab, masturbasi dan seks berbayar hingga rasisme. Gaya stand-up “no-holds-barred”-nya bisa membuat banyak orang terkejut atau jengah — seperti ketika menunjukkan “universal sign of masturbation” — termasuk sekumpulan teman-teman pengajiannya yang berada di antara penonton. 

 

 

Beberapa hari setelah pertunjukkan tersebut, saya mengobrol dengan Ligwina Hananto lewat Zoom. Dengan gaya blak-blakannya yang khas, perempuan yang akrab disapa Wina ini menceritakan behind-the-scenes dari pertunjukkannya, bagaimana dia memperkaya skill menulis materi dalam bahasa Inggris lewat kursus komika online dan pada acara open mic di comedy club di Bali pada masa pandemi, dan tantangan perempuan komika untuk bisa bertahan di ranah yang masih sangat maskulin.

Baca Juga: Sakdiyah Ma’ruf dan Bagaimana Melawan Candaan Seksis

Hai mbak Wina, bagaimana perasaannya setelah bikin stand up comedy show perdana kemarin?

Ada dualisme di kepalaku saat ini: rasanya pengen show keliling dunia, di saat bersamaan aku pengen tiduran di kasur dan enggak mau kerja lagi seumur hidup. Capeknya minta ampun.

Memangnya kemarin persiapannya seperti apa?

Kalau persiapanku pribadi, show kemarin itu hasil pengalaman 10 tahun sebagai komedian, menulis, berlatih, dan melancarkan cara penyampaiannya—ini yang menurutku paling susah. Dari sisi materi sih solid karena 12 bulan terakhir aku rutin menulis, dan tampil dari panggung ke panggung yang isinya cuma empat sampai 10 orang.

Alhamdulillah komunitas (stand up comedy) berbahasa Inggris udah terbentuk di Jakarta dan Bali. Jadi aku punya tempat untuk berlatih. Soalnya enggak bisa (latihan) kalau komunitas ini enggak ada.

Kalau persiapan penyelenggaraan acaranya, mencanangkannya jauh sebelum lebaran. Aku berpikir maunya pas ulang tahun, 3 Mei, tapi bukan akhir pekan ya nanti orang banyak alasan untuk enggak datang. Makanya aku dan tim cari jadwal di malam minggu, supaya bisa jadi date night untuk pasangan di Jakarta Selatan. Ternyata kejadiannya memang begini.

Nah sebagian timku dari QM Financial. Mereka punya pengalaman megang acara komedi karena terlibat di Perempuan Berhak 2017 dan 2019. Sebagian tim lainnya dari komunitas komedian berbahasa Inggris, Batavia Jokers, yang terbiasa megang acara komedi.

Untuk show perdana kemarin, mbak Wina memilih menyampaikan dengan bahasa Inggris. Ada alasan tersendiri?

Awalnya aku tampil dengan bahasa Indonesia atau bahasa Sunda. Lalu ada temanku orang Inggris, sudah menetap di Indonesia lebih dari 20 tahun. Dia promotor komedi berbahasa Inggris, biasanya mendatangkan komika dari luar negeri ke Indonesia, dan audiensnya orang asing. Beberapa kali dia bilang supaya aku coba manggung pakai bahasa Inggris, jadi sebelum pandemi pernah nyoba beberapa kali.

Begitu pandemi, semua panggung komedi berhenti. Kami enggak bisa tampil via Zoom, karena butuh audiens live untuk transfer energinya. Aku juga enggak bisa menulis, jadi mati gaya. Akhirnya aku ikut online comedy workshop yang dibuat Jocelyn Chia—komika Singapura yang berbasis di New York, Amerika Serikat. Dari situ aku mulai menulis lagi, pakai bahasa Inggris.

Dari situ, aku ketemu Reggy Hasibuan, komika berbahasa Inggris pertama di Indonesia yang tinggal di Bali. Reggy bilang, “Masa enggak mau nulis lagi? Materi lo begini doang, nulis yang baru dong.”

Jadilah aku menulis dan manggung dalam bahasa Inggris di Bali. Kebetulan waktu itu panggung komedi di sana udah buka, sedangkan di Jakarta masih tutup. Lalu aku konsisten menulis, naik panggung terus, dan melancarkan penyampaian dalam bahasa Inggris.

Lebih dari itu, aku terinspirasi dengan komika-komika Malaysia. Mereka go international karena pakai bahasa Inggris. Misalnya Nigel Ng—atau Uncle Roger, dan Jason Leong sampai punya show di Netflix. Ada juga Joanne Kam, komika perempuan di Kuala Lumpur.

Artinya ada kesempatan tampil di luar negeri hanya karena bahasa Inggris. So, why not?

Waktu tampil di Bali dengan bahasa Inggris, ada perbedaan antara audiens orang Indonesia dengan orang asing?

Beda. Ibarat dagangan ya, harus tahu target pasarnya. Ketika tampil di depan orang Indonesia—baik menggunakan bahasa Indonesia maupun Inggris, enggak akan sama dengan tampil di depan turis maupun orang asing yang menetap di Bali. Di sini pengalaman dan jam terbang bikin kita lebih peka untuk tahu, materinya harus diubah ke mana.

Contohnya lagi waktu aku jadi opener Nigel Ng dan Kumar. Audiensnya Nigel Ng kebanyakan orang Tionghoa, sedangkan Kumar komunitas India. Sebenarnya materi-materinya sama, tapi disesuaikan supaya audiens relate dengan leluconnya.  Jadi selama manggung aku belajar membaca situasi; audiensnya seperti apa, dan apa yang harus ditambahkan di materi.

Di wawancara sebelumnya, mbak Wina cerita awal tertarik dengan stand up comedy pada 2003 untuk financial training. Lalu dua kali terlibat di acara Perempuan Berhak. Apa yang meyakinkan mbak Wina tampil solo sebagai komika di tahun ini?

Sebenarnya waktu 2019, aku ditantang Pandji Pragiwaksono untuk tampil solo. Katanya udah waktunya bikin stand up special. Awalnya takut, tapi aku inget, kalau takut berarti harus dikerjakan.

Tadinya 2020 mau tur stand up comedy show ke lima kota, pakai bahasa Indonesia. Gara-gara pandemi, tahun itu enggak manggung sama sekali. Baru Desember 2021 mulai lagi, pakai bahasa Inggris tapi aku merasa enggak lucu. Setelah itu rasanya kayak kehilangan mojo.

Nah, Maret 2022 aku lebih rajin menulis, terus memutuskan bikin stand up comedy show. Sebenarnya show ini cuma sesuatu yang tertunda dari 2020, dan formatnya diganti pakai bahasa Inggris. Soalnya belum siap mental, kalau tur ke lima kota dan pakai bahasa Indonesia.

Baca Juga: Obrolan Candid dengan Gina S. Noer, Sutradara ‘Like & Share’: “I Walk the Talk”

Kalau dilihat, ketiga opener show kemarin orang Tionghoa. Ada alasan tertentu, mbak?

Sebenarnya enggak berdasarkan ras atau buat gimik ya. Aku sering banget sepanggung bareng mereka selama setahun terakhir, di Jakarta dan Bali.

Pertama kali ketemu Harry Hartanto tahun lalu di Batavia Jokers. Penampilan dia bagus banget. Di situ aku jatuh cinta dan bilang, harus ajak Harry sebagai opener acaraku. Setelah itu penampilan Harry juga semakin bagus, materinya mirip sama yang dibawakan di acaraku kemarin.

Kalau Ben Dhanio memang udah solid banget, aku suka materinya agak dark. Begitu aku cerita mau bikin stand up special, Ben langsung bilang kalau dia harus ikut tampil. Jadi Harry dan Ben itu dua orang yang kupilih karena aku paling suka materinya.

Nah, sama Kauten Jehnsen itu selalu bareng kalau perform di Bali. Energinya ketika tampil selalu di atas, jadi tantangan buatku karena orang berekspektasi performer setelah Kauten harus lebih jago kan. Makanya aku terpacu harus lebih bagus dari dia.

Awalnya pun enggak berniat memilih tiga orang minoritas sebagai opener. Bahkan, judul Social Justice Wina (SJW) dipilih setelah ada opener. Jadi kehadiran mereka bukan gimik, aku betul-betul suka dan percaya penampilan mereka bagus-bagus.

Menariknya, judul Social Justice Wina itu dapat dari Mo Sidik. Terus aku mikir, “edan ini pembukanya juga minoritas lagi.” Jadi lucu banget.

Wawancara standup comedy Ligwina Hananto
Penampilan Ligwina Hananto dalam pertunjukan komika tunggalnya, “Ligwina Hananto: SJW! Social Justice Wina” pada Sabtu (6/5) (Sumber: Lignite Productions)

Ngomong-ngomong soal SJW (Social Justice Warrior), netizen sering menyebut mbak Wina dengan panggilan tersebut. Apa makna SJW bagi mbak Wina sendiri?

Aku enggak pernah merasa diriku SJW, karena definisi SJW buat haters dan yang sebenarnya enggak sama. Buat haters, SJW itu orang-orang sok pintar, berbicara pakai bahasa Inggris, dan suka mengoreksi orang di media sosial.

Buatku, SJW itu orang yang pergi ke Women’s March dan Kamisan, memperjuangkan Pemilu yang luber (langsung, umum, bebas, rahasia), jujur, dan adil. Atau orang-orang yang mendampingi korban kekerasan, mendengarkan keluhan buruh, dan menolong Tenaga Kerja Wanita (TKW).

Kalau aku sih cuma tante-tante yang banyak omong aja, makanya aku enggak pernah memandang diriku SJW. Di stand up comedy show kemarin aku bilang kan, enggak pernah ke Women’s March karena enggak baik untuk kulit mukaku.

Jadi aku sangat menghargai orang-orang, yang punya waktu dan energi untuk membela keadilan. Kalau aku cuma jadi toanya, ikut menceritakan ke orang-orang (tentang isu sosial). Tapi, sebetulnya yang kerja di akar rumput ini yang harus dihargai.

Netizen menyebut mbak Wina SJW karena ikut menyuarakan isu sosial di Twitter. Apakah mbak Wina juga punya ketertarikan terhadap isu sosial?

Tertarik. Tentu saja stand up comedy ini jadi mikrofon untuk menceritakan hal-hal yang jadi kegelisahanku. Banyak banget isu perempuan yang kubawakan, sesederhana kenapa MC memperkenalkanku sebagai “female stand up comedian”? Cowok-cowok enggak pernah disebut male stand up comedian. Ini menyebalkan banget.

Atau posisiku sebagai ibu-ibu berusia di atas 45 tahun dan berjilbab. Kemungkinannya dianggap remeh itu kecil. Tapi waktu lebih muda, aku merasakan jadi perempuan yang diremehkan, tidak dianggap sebagai manusia. Mau rapat ada yang bilang, “Ayo dong cantik, kamu yang nulis notulennya.” Padahal di situ aku yang presentasi. Selain itu, aku juga pernah mengalami pelecehan seksual. 

Makanya, buatku (isu perempuan) ini jadi isu sosial yang paling penting. Rasanya orang-orang baru mengerti, misalnya kalau enggak boleh asal megang atau meluk, kalau kita marah-marah. Memang mereka jadinya takut, tapi di sisi lain aku merasa hidup lebih aman ketika galak duluan.

Isu perempuan jadi salah satu dari banyak isu sosial yang perlu aku suarakan. Terutama sekarang, aku merasa ada di posisi lebih baik, daripada waktu masih muda dengan pengalaman yang sedikit. Dari cerita-ceritaku di Twitter, banyak perempuan muda yang relate dan merasa direpresentasikan.

Dari twit-twit itu mbak Wina dapat backlash ya dari netizen?

Udah pasti. Ada fenomena cowok-cowok yang masih muda banget—kelihatan dari cara ngobrol, circle interaksinya, dan foto profilnya. Menurutku mereka kayak takut susah cari jodoh, kalau banyak perempuan tahu tentang pilihan hidup.

Misalnya beberapa waktu lalu, ada twitku yang viral. Aku bilang, “Do not settle for less. Cari pasangan yang nilainya sama kayak kamu. Jangan biarkan masuk ke pernikahan, di mana kamu laki-laki jadi sapi perah. Sementara perempuan jangan sampai kamu masuk kerangkeng.”

Twit itu sebenarnya enggak menyerang laki-laki. Aku mau membahas, laki-laki dan perempuan perlu bahagia dalam pernikahan—bukan satunya merasa dimanfaatkan dan yang lain dikurung. Itu banyak dapat backlash dari cowok-cowok yang merasa hidupnya terancam. Seolah mereka enggak akan mendapatkan perempuan, kalau perempuan tahu apa yang diinginkan. Buatku ini mengerikan.

Tapi, menurutku itu bagian dari konsekuensi bersedia untuk membuka suara. Apalagi sebenarnya yang sedang berjuang bukan aku, melainkan orang-orang yang mendampingi korban kekerasan seksual. Lalu mereka yang berusaha mengubah Undang-undang sampai mendatangi anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan yang bersedia turun ke jalan.

Itu SJW sebenarnya. Kalau aku bukan SJW atau aktivis, kan cuma nge-twit terus dimarahin netizen.

Baca Juga: ‘Perempuan BerHak’ Kisahkan Pengalaman Beragam dan Nyata

Tadi mbak Wina menyebutkan, perempuan dipandang rendah di industri stand up comedy yang masih didominasi laki-laki. Apa tanggapan mbak Wina tentang kondisi ini?

Susah bagi perempuan untuk masuk ke panggung stand up comedy. Pertama, kamu harus menulis dan saat menulis, kamu akan menceritakan hal-hal yang sangat personal. Contohnya kemarin di show aku, banyak banget cerita personal yang disampaikan. Mungkin sebagian orang menganggap isunya tabu ya, jadi menulis bukan sesuatu yang mudah.

Kedua, namanya stand up comedy itu harus naik panggung. Enggak ada panggung komedi yang mulainya jam 10 pagi. Adanya jam delapan atau sembilan malam, selesai jam 11 malam. Memangnya ada perempuan di Indonesia yang gampang untuk ke luar rumah, dan pulang di malam hari untuk ke acara komedi? Susah banget. Untuk kita ke luar malam aja menakutkan, ini ke comedy club yang isinya laki-laki semua.

Ketiga, kalau di suatu komunitas ada satu perempuan di antara 50 anggota laki-laki. Paling enggak ada 10 laki-laki yang modusin. Kebayang enggak, gimana mau nyari komika perempuan kalau kayak begitu? Itu baru modus yang harmless ya, namanya orang tertarik kan wajar mau deketin. Tapi kan capek, padahal cuma mau datang berkomedi.

Pernah salah satu komika perempuan cerita ke aku. Dia bilang mesti punya pacar atau suami, supaya laki-laki lain enggak berani deketin karena dianggapnya “properti laki-laki lain”.

Belum lagi pelecehan, yang mana masalah serius. Ada kejadian komika naik panggung, ngomongin payudara komika perempuan. Ada juga yang ngomongin paha komika lain. Sebenarnya ada juga komika laki-laki yang bersedia pasang badan. Misalnya manggil orang yang gangguin komika perempuan ke komunitasnya, terus dikasih peringatan beberapa kali.

Jadi untuk komika perempuan tumbuh dan bersinar, butuh banyak dukungan (laki-laki) daripada yang kita bayangkan.

Upaya apa yang dilakukan komika laki-laki dan perempuan untuk menciptakan ruang aman?

Komika laki-laki bikin semacam “brotherhood”. Aku perhatikan, perempuan di situ dianggap seperti saudara laki-laki. Ini bukan cuma komunitas komedian ya, komunitas lain pun aku yakin seperti itu kejadian. Perempuan harus gabung dan berbaur dengan laki-laki, supaya bisa berada di lingkungan yang sama.

Suka atau tidak, itu yang sedang berlaku dan berhasil. Untuk sekarang, komika laki-laki pahamnya cara seperti itu, belum sistematis atau memastikan ruang aman yang diinginkan seperti apa. Tapi cara ini sangat melindungi perempuan, karena dianggap one of the boys.

Mungkin diskusi ke situ akan lebih panjang, untuk bikin orang mau datang aja susah. Sekarang biar orang datang dulu untuk mencoba terlibat di panggung komedi. Ruang amannya kita sediakan sambil berjalan.

podcast Ligwina Hananto

Untuk merealisasikan show kemarin, mbak Wina ngobrol dengan beberapa komika. Ada hal menarik apa dari obrolannya?

Waktu itu aku menghadap ke Pandji, Raditya Dika, Mo Sidik, dan Eamonn Sadler. Mereka udah sering memproduksi stand up comedy special show, jadi aku tanya ke mereka satu per satu; pengalamannya seperti apa, apa yang dirasakan, kesulitannya apa aja, sarannya seperti apa. Istilahnya aku merendahkan hati, untuk tahu mereka lebih jago mengerjakannya daripada aku. Jadi aku dapat ilmu dari mereka.

Misalnya dari Pandji, dia bilang fokus aja ke materi dan pastikan timnya kuat. Kalau Mo Sidik lebih detail tentang ngurus izin keramaian dan pajak. Lalu Eamonn malah ngasih tantangan, katanya setelah ini kapan mau tampil ke luar negeri? Soalnya dia promotor banyak komika luar negeri. Kalau Radit menceritakan semua pagelaran itu butuh Standar Operasional Prosedur (SOP). Jadi perlu SOP yang spesifik, dan siapa di timku yang jadi leader untuk pegang SOP itu—supaya semua orang mengikuti SOP tanpa kebingungan.

Dari empat orang ini aku sowan dulu, sarannya yang bisa dipakai aku lakukan untuk menjalankan show.

Kalau secara umum, apa tantangan terbesar dalam memproduksi show-nya mbak?

Di antaranya sih energinya, aku harus on terus. Kalau cuma jadi penampil kan enggak perlu memikirkan detail, cukup materi aja. Tapi karena ini show pertama, harus mikirin gedungnya mau gimana, pembelian tiket lewat website yang mana, pajak dan izin surat keramaian kayak apa. Sampai mengambil keputusan sederhana, kayak kaos kru mau seperti apa. Ternyata itu membutuhkan banyak energi.

Tapi karena konsep Ligwina SJW-nya solid, everything fell into places dengan sangat mudah. Aku cuma perlu mengambil keputusan aja, sisanya dipegang timku.

Terus biasanya kalau show lain, aku pegang materi komedi dari seminggu sebelumnya. Kemarin baru di Sabtu pagi, hari acaranya. Untungnya aku punya bank materi, jadi tahu apa aja yang mau dibawakan, tinggal ditaruh.

Kalau dilihat, ada dua sisi berbeda dari memproduksi dan melakukan pertunjukan. Tantangannya itu membagi energi ke dua hal ini, bikin sakit kepala banget. Jam digitalku sampai bunyi terus, katanya you are stressed, do some breathing technique. Please take care of yourself.

Menjadi perempuan muslim konservatif itu jadi salah satu persona mbak Wina di atas panggung. Tapi di saat yang sama, mbak Wina juga menyampaikan tentang seksualitas. Bagaimana kamu bisa memutuskan untuk mengawinkan dua hal ini?

I found that very funny. Sebagai perempuan yang sudah menikah, tentu aku aktif secara seksual. Tapi dianggapseperti enggak punya aktivitas seksual. Maka itu, aktif dan menikmati kegiatan seksual yang halal, buatku adalah sesuatu yang membebaskan bagi seorang feminis. Artinya kamu punya pilihan atas tubuhmu dan apa yang kamu inginkan dalam hidup. Jadilah membawakan materi itu.

Menurutku ini perlu dibawakan sehingga audiens berpikir, aktivitas seksual seharusnya menyenangkan suami maupun istri. I believe you are happy, if you are sexually happy. Di sisi lain, pembahasan ini jadi shocking effect, sampai orang mau ketawa juga ragu-ragu.

Materinya dites dulu enggak sebelum dibawa ke stand up comedy?

Di open mic dan comedy gigs. Ada beberapa materi yang malam itu baru banget, ada juga yang 90 persen udah dibawa dan disesuaikan selama setahun. Teman-teman Batavia Jokers yang bareng aku setahun terakhir juga tahu materinya. Tapi cara menyampaikannya tetap beda ketika berada di pertunjukan sebesar itu.

Ibaratnya open mic itu ngetes materi aja. Terus kalau udah beberapa kali membawakan materinya, jadi ada improvisasi—bagian mana yang harus ditambahkan. Kadang-kadang, improvisasi itu datangnya dari masukan teman-teman komika.

Mbak Wina punya komika favorit di dalam dan luar negeri?

Dalam negeri aku suka banget sama Bung Rindra. Materi stand up-nya enggak boleh muncul di mana pun, termasuk internet. Jadi kalau Bung Rindra bikin show, aku harus nonton. Dia ngeluarin hal-hal terlarang yang kita ingin, tapi takut sampaikan, dan aku suka banget cara Bung Rindra berkomedi.

Kalau komika luar negeri, aku suka banget cara Nigel Ng berkomedi. Dia membawakan dua set, sebagai Uncle Roger dan Nigel Ng—menurutku ini jenius dan jadi live yang membekas tahun lalu. Selain itu, aku ingin banget nonton Kevin Hart.

Mungkin aneh ya, aku seorang perempuan muslim konservatif, melakukan semua hal yang masyarakat kita ucapkan. Begitu masuk ke komedi, seleraku berubah total. Mungkin komedi ini terapi juga dan simbol kebebasan, karena aku percaya panggung komedi harus bebas.

Tadi mbak Wina bilang, pernah tampil dan enggak lucu. Bagaimana perasaannya saat itu?

Aku sedih banget. Jangankan kepikiran bikin show kayak kemarin, waktu itu rasanya kayak mau pensiun aja jadi komedian, mau fokus ngajar finansial. Teman-teman komika juga enggak akan menghampiri, kalau mereka tahu aku lagi sedih.

Melihat mbak Wina semakin sering tampil di stand up comedy, apakah ke depannya akan full time jadi komika?

Buatku dua-duanya full-time job. Seperti disebut sama MC kemarin, aku kayak Superman; siang ngajar finansial, malam berubah jadi komedian.

Beda sama bidang finansial yang aku mau bermanfaat untuk orang banyak, jadi stand up comedian itu aku bebas mau ngomongin apa aja. Ini sesuatu yang aku senang lakukan, dan bukan berarti aku harus berhenti melakukan pekerjaan lainnya. I’m doing both of them wholeheartedly, and I’m enjoying both. 

Aku enggak ada target, habis ini harus show ke mana atau bikin panggung yang lebih besar dari Pandji. Aku tahu enggak bisa seperti itu karena segmen (pembahasanku) spesifik. Jadi mengalir aja buat senang-senang. Mungkin buatku ini pertama kali mengerjakan sesuatu tanpa ada target, karena orang finance apa-apa ada target.

Tapi kalau ditanya pengen apa, aku pengen tampil di Kuala Lumpur dan Singapura. Aku merasa inspirasi dari komika Malaysia berbahasa Inggris itu kuat banget. Jadi pengen menjajal panggung mereka yang skena bahasa Inggrisnya udah jadi.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *