LSM Desak Adanya Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Pekerja Rumahan
Upah tidak layak, ketiadaan jaminan sosial dan perlindungan kecelakaan kerja, serta beban ganda, merupakan sebagian dari masalah yang dihadapi perempuan pekerja rumahan.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendorong pemerintah untuk membuat aturan yang melindungi pekerja rumahan yang belum mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja, seperti upah layak, jaminan sosial, dan perlindungan kecelakaan kerja.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum mengakui dan memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja rumahan, yang sebagian besar adalah perempuan yang sudah menikah dengan tingkat pendidikan dan ekonomi rendah.
Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre (TURC) Andriko Otang mengatakan, regulasi khusus yang mengatur mengenai pekerja rumahan mutlak dibutuhkan oleh pekerja rumahan untuk memberikan pengakuan akan statusnya dan perlindungan sebagai pekerja.
“Hal ini sekaligus menunjukkan negara hadir memberikan perlindungan kepada warga negaranya dengan jenis pekerjaan apa pun tanpa diskriminasi,” ujarnya dalam sebuah diskusi pada Festival Perempuan Pekerja Rumahan, yang diadakan TURC bersama Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (Program MAMPU) di Jakarta, Sabtu (15/12).
Andriko mengatakan, perempuan pekerja rumahan memiliki banyak risiko kesehatan dan kecelakaan kerja seperti menghirup zat kimia untuk para pekerja pengerat alas sepatu, dan luka-luka pada tangan pada produksi perabotan rotan.
Ia menambahkan bahwa pernyataan terkait fleksibilitas waktu kerja para perempuan pekerja rumahan yang bisa bekerja sambil mengurus pekerjaan domestik adalah pernyataan sebagai penghiburan saja.
“Karena situasi kerja pekerja rumahan sebetulnya sangat rentan sekali. Lalu ruang kerja dan ruang domestik jadi semakin tidak jelas,” kata Andriko.
“Karenanya, perempuan pekerja rumahan, sebagai pekerja, tetap memiliki hak untuk mendapatkan upah yang layak, target produksi yang realistis, mendapatkan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.”
Vivi Widyawati, peneliti dari Perempuan Mahardhika, sebuah organisasi yang fokus pada isu buruh perempuan, mengatakan bahwa pekerja rumahan harus menjadi perhatian bagi pemerintah karena jam kerja yang panjang dan dilakukan di rumah sepanjang hari.
“Artinya, pemerintah harus membuat peraturan agar ibu-ibu pekerja rumahan punya waktu untuk rekreasi seperti menghabiskan waktu dengan keluarga, dan berorganisasi,” katanya.
Data resmi mengenai pekerja rumahan di Indonesia belum tersedia. Program MAMPU, bekerja sama dengan TURC, Yayasan Annisa Swasti (YASANTI), Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI), dan Yayasan Bina Keterampilan Perdesaan (BITRA), telah menjangkau 2.615 pekerja rumahan pada 2017. Mereka tersebar di tujuh provinsi, yakni Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sumatra Utara.
Andriko menyayangkan bahwa UU Ketenagakerjaan saat ini hanya menjamin sekitar 30 persen saja jumlah pekerja formal di Indonesia.
“Sisanya tidak mendapat perlindungan dengan hadirnya UU ini. Apalagi ILO (Organisasi Buruh Internasional) sudah menyampaikan bahwa masa depan pekerjaan Indonesia akan bersifat informal. Hubungan kerja semakin tidak jelas,” ujarnya.
Ia menyarankan agar para perempuan pekerja rumahan berorganisasi untuk membahas situasi yang dihadapi sekarang dan membangun komunikasi dengan pemerintah, karena mereka inilah yang memiliki kepentingan memperbaiki kondisi kerja pekerja rumahan.
Saat ini, Program MAMPU dan TURC sedang membuat Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Perlindungan Pekerja Rumahan, yang berisi ketentuan umum, perjanjian kerja, waktu kerja, pemberian pekerjaan, upah, jaminan sosial, peralatan, bahan baku dan penunjang kerja, pelatihan kerja, serta pengawasan.
Naskah Akademik ini bertujuan untuk mendorong pemerintah agar memberi kejelasan dan kepastian hukum tentang status sistem kerja rumahan dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, dan agar tidak terjadi pelanggaran hukum dalam hubungan kerja berdasarkan sistem kerja rumahan.
Risiko kesehatan mental
Selain ketiadaan payung hukum, isu lain yang dihadapi para perempuan pekerja rumahan adalah beban ganda yang membuat mereka rentan terhadap masalah kesehatan mental.
“Berbicara tentang pekerja rumahan harus melihat dari aspek gender. Mereka melakukan dua pekerjaan yang sama beratnya, yaitu pekerjaan produksi, dan pekerjaan rumah tangga atau domestik. Ini semua ditanggung perempuan,” kata Vivi dari Perempuan Mahardhika.
Ia mengatakan, konsep kerja dalam sehari meliputi delapan jam kerja, delapan jam istirahat, dan delapan jam rekreasi. Namun pekerja rumahan tidak mengenal istilah itu, karena semua menjadi satu.
“Karena semua dikerjakan di rumah maka tidak ada bedanya antara waktu istirahat dan waktu bekerja. Hal ini berbahaya bagi kesehatan mental dan psikologi karena mereka menghabiskan waktu di rumah saja dan tidak ada waktu untuk sosialisasi,” ujarnya.
Para perempuan pekerja rumahan harus bisa mendorong kemampuan mereka untuk bisa tegas dalam membuat batasan dalam jam kerja dan waktu istirahat, kata Vivi.
Dengan jam kerja yang panjang, kesempatan perempuan menjadi minim untuk berada di ruang publik dan terlibat atau berpartisipasi dalam organisasi.
“Ketika kehidupan sosial dan partisipasi publik terbatas, tentu kesempatan untuk terlibat di dalam keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan semakin kecil. Suara perempuan tidak terdengar,” kata Vivi.
Perempuan korban kekerasan seksual sulit mencari keadilan hukum.