December 5, 2025
Lifestyle Opini

Makan Bersama dan Kebiasaan yang Kita Bawa ke Mana-Mana 

Dari Indonesia sampai Belanda, makan bersama selalu jadi cara paling mudah merasa dekat. Di negeri baru, tradisi ini bahkan bisa jadi cara membangun “rumah” tercepat.

  • December 5, 2025
  • 4 min read
  • 60 Views
Makan Bersama dan Kebiasaan yang Kita Bawa ke Mana-Mana 

“Makan tidak makan yang penting kumpul.” 

Ungkapan jadul ini sepintas tampak sederhana, tapi sebenarnya punya nilai yang sangat penting buat banyak keluarga di Indonesia. Bahwa terkadang kebersamaan lebih bermakna ketimbang menu yang disajikan di atas meja. Dalam kondisi apa pun, mau senang, sedih, melarat, kaya, makan bersama jadi momen untuk berkumpul bersama anggota sanak famili. 

Sejak kecil, aku juga sudah terbiasa melihat makanan jadi pusat setiap pertemuan. Di rumah, meja makan selalu berubah menjadi titik temu setelah hari yang melelahkan. Sementara di lingkungan masyarakat, acara apa pun hampir selalu berakhir dengan makan-makan. Ada hajatan, makan. Ada yang lulus, makan. Ada yang naik pangkat, makan. Ada yang resign dari tempat kerja, makan. 

Baca juga: Tentang Jodoh, Rindu, dan Bagaimana Aku Jadi Koki Dadakan

Di komunitas diaspora Indonesia, tradisi makan bersama jadi bentuk “rumah” tercepat yang bisa dibangun di negeri orang. Tak peduli sedang berada di apartemen kecil, ruang komunitas, atau taman kota, makanan Indonesia selalu muncul sebagai alasan berkumpul. Obrolan terasa lebih cair ketika ada aroma sambal, kuah panas, atau gorengan panas digoreng dadakan. Ada semacam kenangan kolektif yang langsung hadir begitu makanan Indonesia mengepul di meja. 

Makanan memang punya kemampuan mempersatukan umat. Di dunia kerja sekali pun, makan siang bersama bisa menentukan bagaimana sebuah negosiasi berjalan. Makanan membuka percakapan, meruntuhkan kekakuan, dan membuat orang merasa lebih diterima. Ini bukan sekadar budaya, tapi cara kita membaca situasi sosial dan memberi ruang pada orang lain. 

Baca juga: Bikin Oncom di Kanada: Hidupkan Kuliner Tradisional bagi Diaspora Indonesia

Hidup di Belanda Mengubah Cara Melihat Makanan 

Pindah ke Belanda membuatku melihat makanan dari POV yang berbeda. Di Indonesia, kebersamaan menjadi fokus. Di sini, perhatian pada fungsi makanan sebagai fondasi kesehatan terasa jauh lebih menonjol. Apalagi banyak keluarga bekerja penuh waktu sehingga manajemen makanan sehari-hari sering terabaikan. 

Hal ini terlihat jelas setiap November ketika pemerintah menjalankan National School Ontbijt. Tahun ini, program berlangsung pada 10–14 November 2025. Setiap sekolah dasar menerima materi pembelajaran mengenai pentingnya sarapan sehat, bagaimana memilih makanan bernutrisi, serta contoh menu yang membantu anak lebih fokus belajar. Sekolah kemudian mengajak murid sarapan bersama di kelas. 

Pemandangan anak-anak duduk melingkar, membuka roti, menuang susu, dan belajar sambil makan terlihat sederhana. Namun tujuannya penting, yakni membantu mereka membangun kebiasaan makan yang lebih stabil sejak kecil. Banyak anak di Belanda berangkat sekolah tanpa sarapan karena ritme pagi keluarga yang tersebar dan serba terburu-buru. Dampaknya langsung terasa di ruang kelas. Anak cenderung lebih cepat lelah, kurang fokus, mudah kehilangan energi, dan suasana hati naik-turun. 

Kebiasaan ini bukan hanya terjadi di Eropa. Di banyak negara, termasuk Indonesia, waktu pagi sering berlalu tanpa sempat makan karena orang tua harus mengejar jadwal kerja. Malam hari pun tidak selalu lebih baik. Rasa lelah membuat banyak keluarga memilih makanan siap saji yang praktis tapi minim nutrisi. Sementara bantuan pekerja rumah tangga sering membuat keluarga tidak terlalu memikirkan menu, selama makanan tersaji di meja. 

Padahal pola makan anak terbentuk dari kebiasaan yang ditanam sejak awal. Anak yang sejak kecil sulit makan bisa membawa kebiasaan itu hingga dewasa. Ketidaktertarikan pada makanan rumahan atau makanan sehat dapat berlanjut menjadi minimnya pengetahuan soal nutrisi. Bentuk ketidaktahuan ini kemudian diwariskan pada generasi berikutnya. 

Di sinilah pendidikan makanan menjadi sangat penting. Bukan sekadar menyuruh makan sayur atau melarang jajanan tertentu, tapi memahami bagaimana makanan bekerja untuk tubuh. Mengetahui cara mengolah makanan dengan benar. Memahami kapan tubuh butuh istirahat, kapan harus makan berat, kapan harus berhenti. Pengetahuan sederhana ini berdampak besar ketika dibiasakan sejak kecil. 

Baca juga: Diplomasi Kuliner: Sedia Makanan Indonesia di Tapas Bar Porto

Internet memberi akses pada banyak resep dan informasi gizi. Kita bisa menemukan menu sehat, melihat cara memasak, atau mempelajari apa yang dibutuhkan tubuh pada usia tertentu. Pilihan sepenuhnya ada di tangan kita. Entah mau mempertahankan kebiasaan lama yang tidak mendukung kesehatan, atau membangun tradisi makan yang lebih baik untuk keluarga dan generasi berikutnya. 

Pada akhirnya, makan bersama bukan hanya tentang makanan yang tersaji, tetapi tentang bagaimana makanan menyatukan dan membentuk kebiasaan. Di Belanda, kebiasaan itu membawaku kembali melihat makanan lebih dalam. Sebagai ruang berkumpul, belajar, dan ruang merawat diri. Tradisi makan bersama tetap menjadi jembatan dari masa lalu, tetapi pendidikan makanan membantu mempersiapkan masa depan. 

Keduanya perlu berjalan beriringan, supaya kebersamaan tetap terjaga dan tubuh tetap kuat untuk merayakan lebih banyak momen di meja makan.

Artikel ini merupakan bagian dari serial yang ditulis dan disusun oleh komunitas penulis diaspora Magdalene. Mereka banyak menceritakan soal suka duka hidup di negara asing dan bagaimana mengatasinya saat jauh dari rumah.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Nata