Makin Canggih Teknologi, Makin Tinggi Risiko Kekerasan, Apa yang Bisa Dilakukan?
Teknologi seperti smartphone dan internet sering digunakan para pelaku kekerasan dalam rumah tangga untuk memaksa, mengendalikan, dan membatasi kebebasan korban.
Di era digital seperti sekarang, teknologi seperti smartphone dan internet sering digunakan para pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan keluarga untuk memaksa, mengendalikan, dan membatasi kebebasan para korban.
Penguntitan (stalking) menggunakan teknologi dan penggunaan identitas media sosial palsu semakin sering ditemukan dalam kasus-kasus pembunuhan dalam rumah tangga dan kekerasan keluarga.
Di negara saya, Australia, ada dua lembaga yang berusaha mengurangi kekerasan yang dibantu oleh teknologi: WESNET dan eSafety Commissioner. Keduanya menyediakan pelatihan bagi penyedia advokasi dan praktisi, dan juga menyediakan sumber daya untuk para korban. WEST juga menyediakan telepon pengganti.
Upaya kedua lembaga ini – dan juga keamanan orang-orang yang mengalami kekerasan – terhambat oleh produk dan layanan teknologi yang tidak memikirkan keamanan pengguna sejak awal. Penyedia platform dan industri teknologi dapat melakukan banyak hal untuk mengurangi bahaya dengan menyiapkan keamanan pengguna sedari awal sebuah produk dirancang.
Baca juga: Komnas Perempuan: Kasus KDRT Terhadap Istri Tetap Tertinggi Setiap Tahun
Menciptakan Risiko
Saat ini, perusahaan teknologi besar seringkali merancang dan mengelola alat dan media digital tanpa menghiraukan kerentanan pengguna.
Hingga tahun 2020, Google membolehkan spyware dan stalkerware – software yang dirancang untuk bisa dipasang diam-diam pada sebuah smartphone untuk memonitor dan merekam foto, video, teks, panggilan dan informasi lain – diiklankan di platform itu. Google akhirnya melarang iklan-iklan itu setelah banyak bukti menunjukkan bahwa software semacam digunakan dalam kekerasan oleh orang yang memiliki hubungan intim.
Pada April 2021, Apple meluncurkan sebuah alat seukuran koin bernama AirTags yang dimaksudkan untuk membantu orang melacak barang-barang milik mereka dengan teknologi sinyal Bluetooth. Setelah menerima kritikan karena menimbulkan risiko keamanan serius karena memungkinkan terjadinya stalking, Apple memperbarui alat itu agar mengeluarkan bunyi secara acak jika berada jauh dari telepon pemilik.
Kacamata pintar Facebook juga mendapat kecaman terkait privasi, sperti yang terjadi dengan Spectacles milik Snapchat dan Google Glass. Kacamata itu memiliki kamera dan microphone yang memungkin perekaman secara diam-diam.
Facebook berkonsultasi dengan beberapa kelompok termasuk jaringan antikekerasan dalam rumah tangga National Network to End Domestic Violence dalam upaya untuk “berinovasi secara bertanggung jawab”. Namun, tetap ada kekhawatiran terkait risiko keamanan pada kacamata ciptaan mereka.
Baca juga: Nyaring dan Sunyi KDRT: Suramnya Budaya Kepemilikan dalam Keluarga
Menyadari Situasi dan Ancaman pada Pengguna
Konsep keamanan siber tradisional fokus pada “ancaman dari orang asing”. Namun, untuk mengurangi dan memerangi kekerasan digital domestik dalam rumah tangga dan keluarga, kita memerlukan model “ancaman dari orang dekat”.
Pasangan dan keluarga dapat meminta akses pada alat-alat. Mereka bisa terhubung pada akun online atau mampu menebak password, karena memiliki hubungan dekat dengan pemilik akun.
Dalam konteks ini, teknologi yang mampu mengawasi dan merekam dapat digunakan untuk mengekang dan mengancam korban dalam kehidupan sehari-hari.
Memahami dan mencari cara untuk mengurangi risiko dari pelaku kekerasan menuntut platform dan industri untuk berpikir proaktif tentang bagaimana teknologi dapat disalahgunakan atau menjadi senjata.
Safety by Design
Di Australia, inisiatif Safety by Design oleh eSafety Commissioner bertujuan untuk membuat keamanan pengguna menjadi prioritas dalam perancangan, pengembangan, dan peluncuran produk dan layanan online. Inisiatif ini didasarkan pada tiga prinsip dasar.
Pertama, penyedia jasa bertanggung jawab menjadikan keamanan pengguna sebagai prioritas utama. Ini artinya platform dan perusahaan berupaya untuk mengantisipasi bagaimana produk mereka dapat digunakan untuk, meningkatkan, atau mendorong terjadinya kekerasan. Dengan demikian, tanggung jawab keamanan tidak hanya ada pada pengguna.
Kedua, pengguna harus memiliki kemampuan dan otonomi untuk membuat keputusan demi kepentingan mereka. Platform dan penyedia jasa harus berkomunikasi dan berkonsultasi dengan para pengguna, termasuk dengan kelompok-kelompok yang beragam dan rentan, untuk memastikan bahwa layanan mereka bisa diakses dan bermanfaat untuk semua orang.
Prinsip ketiga adalah transparansi dan akuntabilitas tentang pengoperasian dan tujuan-tujuan keamanan. Ini juga membantu pengguna mengatasi masalah-masalah keamanan.
Prinsip-prinsip ini telah mulai mendapat dukungan dari perusahaan-perusahaan teknologi. Tahun lalu, IBM mengeluarkan panduan untuk “rancangan yang tahan terhadap kendali koersif”.
Pendekatan-pendekatan efektif juga perlu mengikutkan pemahaman bagaimana bentuk-bentuk opresi sistemik yang saling berkaitan atau beririsan mempengaruhi pengalaman individu dengan teknologi, dan dapat memperdalam kesenjangan sosial.
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan “safety by design” atau rancangan yang tahan terhadap kendali koersif, kita perlu meninjau ulang tidak hanya kebijakan tapi juga praktik-praktik platform dan industri yang muncul seiring.
eSafety telah meluncurkan alat-alat asesmen Safety by Design untuk memperbaiki dan berinovasi berdasarkan penerapan yang baik dan sumber daya dan format-format yang dibuat berdasarkan bukti.
Platform dan industri memiliki peran penting dalam mengatasi desain terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan keluarga. Mereka perlu berbuat lebih banyak dalam lingkup ini.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.