December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

2 Alasan Foto Prabowo Bareng Pemimpin Otoriter itu ‘Bromance’ Toksik 

Foto Presiden Prabowo bersama Xi Jinping hingga Kim Jong-un memancarkan aura ‘bromance’ yang toksik. Ini beberapa indikasi yang bikin saya curiga.

  • September 11, 2025
  • 7 min read
  • 1926 Views
2 Alasan Foto Prabowo Bareng Pemimpin Otoriter itu ‘Bromance’ Toksik 

Foto Presiden Prabowo bersama para pemimpin otoriter pada (3/9) ramai diperbincangkan di media sosial. Bukan cuma karena momen diplomatiknya, tetapi juga pesan tersembunyi dalam setiap elemen visual foto tersebut. 

Roland Barthes dalam Camera Lucida: Reflections on Photography (1980) menekankan, foto bukan sekadar gambar diam. Maksudnya, setiap elemen visual, baik pose, ekspresi, dan komposisi, selalu membuat penonton fokus pada subjek foto sekaligus membantu menangkap makna tersembunyi di balik gambar. 

Makna foto bisa dianalisis dari dua sisi. Denotasi menangkap apa yang terlihat secara langsung, sedangkan konotasi menyingkap makna yang muncul dari konteks sosial, budaya, dan politik. Novia dan Bustam (2022) menjelaskan, pendekatan semiotika ini membantu memahami lapisan visual yang lebih kompleks. 

Dalam foto Prabowo di parade militer di Lapangan Tiananmen, Beijing hari itu, denotasinya jelas: Prabowo yang mengenakan kacamata hitam, berdiri bertepuk tangan bersama Xi Jinping, Kim Jong Un, dan Vladimir Putin. Namun jika diperhatikan lebih jauh, konotasinya sangat berbeda. 

Dalam foto lain, yang juga diunggah Instagram resmi Seketariat Negara @kemensetneg.ri hari itu, menampilkan Prabowo yang berdiri sejajar dengan para pemimpin laki-laki otoriter. Posturnya tegak, tangan di kanan kiri badan, dan senyum tipis memberi kesan percaya diri dan dominan. Gestur ini seperti bilang, “Aku setara, bahkan sejajar, dengan mereka yang punya kekuasaan besar di kancah internasional.” 

Enggak cuma itu, dari 22 orang dalam frame di foto yang disebut terakhir, hanya empat perempuan yang terlihat, satu di antaranya berdiri sejajar dengan Prabowo juga. Hal ini menegaskan ketimpangan gender yang tersirat. 

Menurut perspektif feminis dalam fotografi, pose dan komposisi seperti ini menegaskan maskulinitas yang dipamerkan sekaligus menyingkirkan perempuan dari narasi kekuasaan. Tatapan publik diarahkan untuk membaca hubungan antar-pemimpin laki-laki sebagai bromance kekuasaan. Ini ditandai dengan keakraban yang tampak hangat, tetapi menyimpan pesan dominasi dan kontrol. 

Selain itu, Ditambah dengan lokasi yang sarat sejarah pelanggaran HAM, foto ini menghadirkan “bromance” yang bersifat toksik: bukan sekadar persahabatan, tetapi keakraban simbolik dengan otoritarianisme yang menormalisasi kekuasaan represif. Dengan demikian, foto tersebut menjadi bukti visual bagaimana hubungan antar-pemimpin bisa membentuk narasi kekuasaan yang kuat dan berpotensi kontroversial. 

Baca juga: Sepele pada Nalar dan Kekuatan Rakyat: Dosa di Balik Komunikasi Politik Buruk Pejabat Kita 

Berdiri di Antara para Tangan Besi 

Bromance ini bukan sekadar gestur sosial atau basa-basi diplomatik. Ia menjadi medium visual yang menegaskan hierarki: Siapa yang memimpin, dipuji, dan tersisih. Kehadiran Prabowo di tengah para pemimpin otoriter mengubah momen ini dari sekadar dokumentasi diplomatik menjadi cerminan aliansi kekuasaan dan strategi politik yang lebih luas. 

Xi Jinping, misal, sejak 2013 memusatkan kekuasaan di tangannya. Pada 2018, ia mendorong amandemen konstitusi yang menghapus batas masa jabatan presiden—aturan yang sebelumnya dibuat pada era Deng Xiaoping untuk mencegah lahirnya kembali pemimpin seumur hidup seperti Mao Zedong. 

Melansir NPR, penghapusan batasan jabatan itu disahkan dengan 2.958 suara setuju dari anggota parlemen, hanya dua yang menolak, dan tiga abstain—menunjukkan kuatnya cengkeraman politik Xi Jinping di dalam negeri.  

Amandemen tersebut juga memasukkan filosofi politik pribadi Xi Jinping ke dalam konstitusi serta menegaskan peran dominan Partai Komunis dalam kekuasaan. Dinukil dari France24.com, sejumlah kritik yang muncul di media sosial segera disensor pemerintah, termasuk ungkapan satir seperti “Xi Zedong” yang menyamakan Xi dengan Mao. 

Sejak itu, Xi Jinping kerap dipandang sebagai figur paling dominan sejak Kepemimpinan Mao Zedong. 

Di sisi lain, Kim Jong Un mewarisi kekuasaan dinasti di Korea Utara setelah kematian ayahnya, Kim Jong II, pada 2011. Kepemimpinannya segera dikenal sebagai salah satu rezim paling tertutup di dunia.  

Human Rights Watch (2014) mencatat, sejak awal pemerintahannya, tidak ada perbaikan berarti dalam situasi HAM dari pemerintahan sebelumnya. Kebebasan berekspresi, pers, organisasi sipil, hingga beragama ditekan. Oposisi politik sama sekali tidak diizinkan. Mereka yang dianggap melawan partai bisa ditangkap sewenang-wenang, dipenjara tanpa proses hukum, hingga mengalami penyiksaan. 

Pemerintah juga mempraktikkan hukuman atas dugaan pelanggaran “anti-negara” kepada rakyat, yang berujung pada perbudakan ratusan ribu warga negara, termasuk anak-anak, di kamp-kamp penjara dan fasilitas penahanan lainnya dengan kondisi yang menyedihkan. 

Sementara itu, Vladimir Putin telah memimpin Rusia selama lebih dari dua dekade, baik sebagai perdana menteri maupun presiden. Di tahun 2020, mengutip Voice of America, ia sempat menuai kontroversi lantaran mendorong penghapusan batasan masa jabatan presiden, yang diduga agar dirinya bisa menjabat sampai 2036. 

Di dalam negeri, Putin dikenal kerap membungkam oposisi. Tokoh oposisi seperti Alexei Navalny menjadi target represi berulang, mulai dari kriminalisasi hingga percobaan pembunuhan.  

Sementara di kancah global, invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 memperkuat persepsi internasional tentang Putin sebagai pemimpin otoriter yang agresif. Tindakannya tidak hanya menimbulkan krisis kemanusiaan, tetapi juga mengguncang tatanan geopolitik dunia. 

Maka, kalau memakai kacamata Barthes, foto Prabowo di Tiananmen bersama Xi Jinping, Kim Jong Un, dan Vladimir Putin tidak bisa hanya dibaca sebagai acara diplomatik biasa. Konteks politik para pemimpin yang berdiri di sampingnya memberi arti lebih: Prabowo terlihat berada di barisan tokoh yang selama ini dikenal otoriter.  

Di tengah situasi politik dalam negeri yang sedang genting, foto itu bisa dimaknai publik bukan sekadar soal dengan siapa ia bertemu, tetapi juga pesan apa yang tersirat dari kebersamaan dengan para tokoh otoriter itu. 

Baca juga: Dear Pak Prabowo, Hukum Kita Tidak Mengenal Aturan Demo Harus Izin Karena… 

Berdiri di Atas Saksi Bisu Pelanggaran HAM Berat 

Lokasi pemotretan juga menambah bobot tafsir terhadap foto tersebut. Lapangan Tiananmen bukan sekadar ikon atau simbol kebesaran Cina, melainkan juga ruang yang sarat dengan memori pelanggaran HAM.  

Dunia mengenalnya lewat tragedi 4 Juni 1989, ketika tentara melakukan kekerasan terhadap demonstrasi pro-demokrasi yang berpusat di Lapangan Tiananmen, Beijing, Cina, oleh pasukan militer Cina.  

Ribuan demonstran–sebagian besar mahasiswa–yang menuntut reformasi politik dan diakhirinya korupsi, ditembaki dan dilukai, menyebabkan banyak korban jiwa, baik sipil maupun tentara, meskipun jumlah pasti korban tewas bervariasi dalam laporan yang berbeda. Hingga kini, pemerintah Cina belum pernah bertanggung jawab, apalagi memberi keadilan bagi para korban. 

Human Rights Watch mencatat, 36 tahun setelah tragedi Tiananmen, pemerintah Cina masih berusaha menghapus jejak ingatan atas pembantaian demonstran damai yang terjadi pada Juni 1989. Hingga kini, Beijing belum pernah mengakui pertanggungjawaban, apalagi memberi ganti rugi kepada keluarga korban.  

Kelompok seperti Tiananmen Mothers, yang terdiri dari keluarga para korban, terus menghadapi pengawasan dan pembatasan ketat. Meski begitu, mereka tetap menuntut keadilan, kebenaran, dan pengakuan atas pelanggaran HAM yang terjadi. 

Kondisi ini semakin parah sejak diberlakukannya Undang-Undang Keamanan Nasional pada 2020, acara peringatan tahunan dibubarkan, penyelenggara ditangkap, dan simbol-simbol Tragedi Tiananmen dihapuskan.  

Dengan latar itu, kehadiran Prabowo di antara para pemimpin yang dikenal otoriter kian memicu tafsir konotatif: seolah-olah ia sedang menempatkan diri di panggung simbolik yang merepresentasikan kekuasaan absolut, represif, dan pelanggaran HAM. 

Pada akhirnya, foto Prabowo di Tiananmen bukan sekadar dokumentasi diplomatik yang membeku dalam arsip sejarah.  

Baca juga: Apa itu Darurat Militer dan Kenapa Bisa Ancam Masyarakat Sipil? 

Dari sudut pandang denotasi, foto itu mungkin hanya menampilkan empat pemimpin dunia sedang bertepuk tangan di sebuah acara. Namun pada level konotasi, ia merepresentasikan lebih banyak makna: keakraban simbolik dengan para pemimpin otoriter dan kehadiran di lokasi yang identik dengan pelanggaran HAM. 

Dibaca dalam konteks situasi politik Indonesia yang sedang genting—penangkapan aktivis, jatuhnya korban jiwa selama demonstrasi di akhir Agustus, serta ketidakpuasan publik terhadap pemerintah—foto ini semakin pekat maknanya. Ia bisa dimaknai bukan lagi sekadar potret diplomasi, melainkan cermin tentang arah dan citra kekuasaan yang sedang dibangun oleh Pemerintah. 

About Author

Muhammad Rifaldy Zelan

Muhammad Rifaldy Zelan adalah penyuka makanan pedas tapi gak suka berkeringat. Ia juga suka duduk-duduk di taman dengan pikiran kosong.