December 5, 2025
Environment Issues Politics & Society

Mama Fun: Kami Tak Butuh Nasi, Pangan Lokal Lebih Bergizi dari MBG

Jauh dari kata bergizi. Mama Fun melihat MBG tak lebih baik dari pangan lokal yang sudah mereka konsumsi setiap hari.

  • October 12, 2025
  • 5 min read
  • 701 Views
Mama Fun: Kami Tak Butuh Nasi, Pangan Lokal Lebih Bergizi dari MBG

Masih ingat pernyataan dr. Tan pada rapat dengar pendapat bersama Komisi IX DPR RI? Dalam forum yang disiarkan melalui YouTube TV Parlemen (22/9), dokter gizi itu menyuarakan kekecewaannya terhadap praktik Makan Bergizi Gratis (MBG) yang jauh dari harapan. Menu yang disajikan, kata dia, justru didominasi makanan ultra-olahan. 

“Akhirnya apa ini? Mau sampai kapan makannya burger, gitu? Saya aja nista bilang itu daging olahan. Saya enggak tahu itu produk apaan. Rasanya kayak karton, warnanya pink, dan buat lucu-lucuan nih. Lalu anak-anak disuruh, oke, do it your own, DIY. Susun, ada sayurnya. Astaga, kan bukan itu tujuan MBG, punteun,” ujarnya. 

Ia juga menyoroti minimnya pemanfaatan pangan lokal. Padahal seharusnya, MBG memberi ruang bagi menu khas tiap daerah. 

“Alokasikan menu lokal 80 persen isi MBG di seluruh wilayah, ya. Saya pengen anak Papua bisa makan ikan kuah asam, saya pengen anak Sulawesi bisa makan kapurung,” tambahnya. 

Pandangan itu sejalan dengan Beta Marlinda Nau atau Mama Fun, pegiat pangan lokal dari Suku Mollo, Nusa Tenggara Timur. Ia mengaku kecewa melihat praktik MBG di daerahnya, terutama setelah kasus keracunan massal menimpa puluhan anak sekolah di Soe. Hingga kini, ia lebih memilih menyebutnya “makan beracun gratis.” 

“Saya sering katakan kalau itu lebih cocok disebut makanan beracun gratis karena semua yang makan itu akan kena (sakit),” kata Mama Fun. 

Baca juga: Kalau Perempuan Turun ke Jalan, Artinya MBG Memang Sudah Gawat 

Dapur Semrawut dan Lauk Tak Layak 

Mama Fun menggambarkan semrawutnya pelaksanaan MBG di lapangan. Pada (3/10) lalu, puluhan siswa di Soe dilaporkan mengalami keracunan setelah menyantap makanan MBG. Rumah sakit setempat bahkan kewalahan menampung korban. 

“Baru tanggal 3 kemarin di Soe ada keracunan massal di mana yang makan itu dari TK, SD sampai SMA. Di rumah sakit itu bahkan pasien keracunan sangat banyak dan tidak bisa ditampung di rumah sakit umum Soe tersebut,” jelasnya. 

Ia juga mengkritik kondisi dapur MBG yang tidak sebanding dengan jumlah penerima. Satu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Soe, kata Mama Fun, hanya memiliki sekitar 30 pekerja untuk melayani 3.000 siswa. 

“Kami ini orang Timur biasa bikin tradisi pesta dan itu saja butuh persiapan sampai tiga hari. Itu saja yang datang cuma 1.000 orang. Makanya kalau 30 orang untuk mengurus sampai 3.000 orang, menurut saya pengelolaannya kurang,” tuturnya. 

Selain tenaga yang terbatas, menu yang tersaji pun jauh dari prinsip gizi seimbang. Makanan didominasi bahan ultra-olahan, minim sayuran, dan sering kali sudah disimpan terlalu lama. 

“Mereka bilang makanan MBG itu makanan bergizi gratis, tapi saya lihat menu yang ada dalam piring itu tidak ada warna hijaunya. Cuma ada beberapa potong protein, kemudian dominan dengan mi dan nasi putih,” imbuhnya. 

Situasi ini memperlihatkan ketimpangan antara visi program dan realitas di lapangan. Program nasional sebesar MBG yang menghabiskan triliunan rupiah anggaran, enggak diimbangi kesiapan rantai logistik, sumber daya manusia, dan sistem pengawasan memadai. 

Laporan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan Transparency International Indonesia (2025) juga menyoroti banyak dapur MBG tidak memiliki sertifikasi laik higiene, sementara distribusi bahan baku kerap dilakukan tanpa pengawasan ketat. Risiko kontaminasi makanan menjadi tinggi, terutama di wilayah terpencil. 

Baca juga: Ekofeminisme: Perjuangan Perempuan dan Lingkungan yang Tak Terpisahkan 

Kami Bisa Mandiri Tanpa Nasi 

Sebagai warga lokal, Mama Fun menegaskan masyarakat sudah memiliki cara tersendiri untuk memenuhi kebutuhan gizi tanpa bergantung pada program pemerintah. 

Selama ini, pangan mereka bersumber dari hutan dan ladang sekitar. Kedatangan MBG justru menggerus kebiasaan makan bergizi berbasis pangan lokal. 

“Saya sudah sering bilang, isi piring orang Timur itu berwarna, Kak. Walaupun tidak ada lauk yang bagaimana, tetapi tetap berwarna. Karena (buat) kami, makanan itu sangat beragam.” 

Ia menyoroti kebijakan yang terlalu berpusat pada nasi sebagai sumber utama karbohidrat. Jika dibiarkan, anak-anak bisa kehilangan kedekatan dengan pangan tradisional mereka. 

“Kadang juga saya berpikir kalau anak-anak setiap hari makan nasi (dari MBG), akhirnya ketika sampai di rumah, dikasih jagung atau dikasih ubi, dia tidak akan makan. Padahal kami berusaha kalau bisa mereka makan pangan lokal kami seperti ubi, jagung. Itu yang sering kami upayakan untuk anak-anak tetap merasa familier dengan pangan lokal kami,” tuturnya. 

Pernyataan Mama Fun mencerminkan persoalan mendasar: Negara berupaya memenuhi hak gizi anak-anak tanpa memahami konteks sosial dan budaya pangan di tiap wilayah. Program yang sejatinya baik justru berpotensi mencabut akar pengetahuan lokal yang selama ini menjaga ketahanan pangan masyarakat. 

Penelitian Organisasi Pangan Global (FAO) pada 2023 mencatat, keberagaman pangan lokal Indonesia memiliki kandungan gizi tinggi dan mendukung keberlanjutan ekosistem. Namun, pendekatan pembangunan seragam yang berbasis pola makan perkotaan, membuat pangan lokal termarjinalkan. 

Baca juga: Gagal Fokus Prabowo: Anak Papua Butuh Sekolah, Bukan Makan Siang Gratis 

Pelibatan Perempuan adalah Kunci 

Mama Fun menegaskan solusi dari persoalan ini bukan sekadar perbaikan teknis, tetapi pelibatan langsung masyarakat, terutama perempuan. Dalam banyak komunitas adat, perempuan memegang pengetahuan penting tentang sumber pangan, cara pengolahan, hingga pengaturan distribusi. 

“Kalau untuk saya pribadi, saya sering bilang peran perempuan itu sangat penting untuk sistem pangan. Jadi, kadang juga beta bilang ke teman-teman, seharusnya perempuan itu dilibatkan dalam pengambilan kebijakan (MBG). Di Mollo ini kacang-kacangan, umbi-umbian, lumayan banyak. Itu perlu dilibatkan dalam makanan bergizi itu,” ucapnya. 

Riset United Nation (UN Women) pada 2022 menunjukkan, pelibatan perempuan dalam kebijakan pangan lokal dapat meningkatkan kualitas gizi keluarga hingga 35 persen lebih baik dibanding wilayah yang tidak melibatkan perempuan dalam perencanaan pangan. 

Pendekatan kebijakan pangan di Indonesia masih top-down, didominasi teknokrat dan birokrat pusat tanpa mekanisme konsultasi bermakna dengan masyarakat adat dan perempuan desa. Padahal, partisipasi warga bisa menjadi kunci agar program nasional seperti MBG benar-benar sesuai kebutuhan di lapangan. 

Mama Fun dan banyak perempuan di wilayah lain telah menunjukkan hal penting: ketahanan pangan tumbuh dari tangan-tangan perempuan yang menjaga kebun, memasak, dan menanam ulang setiap musim. 

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).