Beberapa waktu lalu, saya sempat berdiskusi sengit dengan salah satu teman. Dia bilang, saya tidak masuk dalam kategori mar’atus shalihah atau perempuan soleha, terutama di rumah tangga. Alasannya, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan setelah menikah, berkeinginan menunda anak, dan bercita-cita menjadi perempuan karier. Bahkan saya dibanding-bandingkan dengan perempuan lain yang dia kenal, yang memutuskan untuk jadi ibu rumah tangga yang taat pada suami setelah menikah.
Jujur saya kaget kenapa sampai saat ini masih ada yang berpandangan jika konsep mar’atus shalihah hanya terpaku pada kesempurnaan seorang perempuan yang patuh mutlak pada suami. Padahal bagi saya, perempuan yang memilih untuk melanjutkan pendidikan, menunda memiliki anak, atau mengejar karier tidak otomatis keluar konsep yang dipandang secara sempit tersebut.
Baca juga: Wahai Suami, Karier Istrimu Bukan Hanya Soal Materi
Swarga Nunut, Neraka Katut (Ke Surga Ikut, Ke Neraka Terbawa)
Langgengnya pepatah Jawa yang diromantisasi ini sering kali diterjemahkan sebagai tuntunan untuk tunduk pada keputusan atau keinginan suami. Tak perlu pusing mempertimbangkan apakah suami benar atau salah, karena ketaatan adalah wujud cinta istri soleha. Interpretasi semacam ini bisa membawa dampak yang cukup kompleks dalam dinamika hubungan pernikahan.
Mengetahui peran istri dalam Islam sebagai mitra suami yang setara, mengerti pentingnya ketaatan dalam batas-batas kebenaran agama, serta kesetaraan dalam membuat keputusan adalah aspek penting yang seharusnya tidak diabaikan. Mencintai suami bukanlah alasan untuk mengesampingkan nilai-nilai kebenaran. Keseimbangan antara ketaatan pada suami dan kebenaran adalah kunci penting dalam menjalani hubungan pernikahan yang sehat dan bermakna.
Hal ini tidak berarti menafikan pentingnya menghormati dan mendukung suami, tapi kasih sayang juga mencakup aspek kebijaksanaan, menghadapi masalah bersama, dan saling menguatkan dalam perjalanan kehidupan. Memahami bahwa ketaatan dalam konteks Islam tidak berarti patuh tanpa pertimbangan, melainkan juga mencakup tanggung jawab moral untuk menunjukkan kebenaran dalam setiap tindakan dan keputusan.
Saya beruntung mendengar tentang ini dalam pertemuan rutin pengajian dua bulanan Majelis Tabligh dan Ketarjihan Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah Kabupaten Pekalongan tanggal 22 Oktober 2023 bersama Hj. Herowati, S.Ag., Wakil ketua MTK PDA Kabupaten Pekalongan. Ia menyampaikan, pepatah swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka terbawa) hanya cocok digunakan untuk konsep relasi di dunia saja.
Misalnya, ketika suami mendapat kenaikan gaji atau posisi yang lebih tinggi, istri secara tidak langsung juga bisa mendapat manfaat tambahan dari segi keuangan atau status sosial dalam lingkungan tertentu. Begitu pula ketika suami mendapatkan masalah di tempat kerjanya seperti penurunan posisi atau konflik dalam pekerjaan, istri sering kali mendapati dirinya terlibat secara tidak langsung.
Situasi ini bisa memberikan tekanan tambahan pada istri, baik dalam hal dukungan emosional maupun tanggung jawab tambahan, seperti menjaga suasana rumah tangga agar tetap stabil dalam menghadapi stres atau ketidakpastian yang mungkin dialami suami.
Sementara untuk kepentingan akhirat, manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban dan hak untuk mencari serta mendapatkan surganya masing-masing tanpa tergantung pada orang lain.
Baca juga: Ketakutan Berhenti Bekerja dan Jadi Ibu Rumah Tangga
Konsep Mar’atus Sholihah Lebih dari Sekadar Ketaatan pada Suami
Tidak dapat dimungkiri jika pandangan yang sudah tertanam dalam masyarakat tentang domestifikasi perempuan melahirkan anggapan jika istri yang bertindak sesuai dengan keinginan suami dianggap sebagai bentuk kesempurnaan sebagai seorang istri yang shalihah.
Hal ini menjadi ironi karena konsep sebenarnya dari mar’atus shalihah adalah mengenai kesempurnaan dalam segala aspek, bukan hanya sebatas ketaatan tanpa pertimbangan. Domestifikasi perempuan telah menempatkan ekspektasi yang terlalu sempit terhadap peran istri dalam kehidupan rumah tangga.
Padahal, perempuan soleha dalam pandangan Islam adalah mereka yang berakhlak baik, bertanggung jawab, bijaksana dalam mengambil keputusan, dan turut berperan aktif dalam pembangunan keluarga dan masyarakat. Ketaatan pada suami tentu penting, namun harus dipahami dalam konteks kesetaraan, penghargaan terhadap pendapat, dan keputusan yang diambil bersama secara bijaksana.
Prof. Dr. Zaitunah Subhan dalam bukunya “Fiqh Pemberdayaan Perempuan” menjelaskan, konsep ideal dari mar’atus shalihah dalam Islam, menurut pandangan Alquran dan Hadis, mencakup perempuan yang memiliki nilai-nilai kepatuhan, kualifikasi (intelektual, moral, kepribadian), kebaikan, serta manfaat yang baik dalam hubungannya dengan Allah SWT, Rasul-Nya, serta dalam kehidupan bermasyarakat dan lingkungan.
Namun, pemahaman yang umumnya beredar di masyarakat selama ini lebih cenderung terbatas. Itu hanya merujuk pada sejauh mana hubungan perempuan sebagai istri dengan suaminya, seperti menjadi perempuan yang bisa memenuhi kebutuhan biologis suami, patuh pada segala perintah suami, serta bertanggung jawab dalam menjaga diri, rumah, dan keluarga. Karena itu, perlu adanya refleksi ulang, peninjauan kembali, bahkan menghentikan pemahaman yang terbatas tersebut agar konsep mar’atus sholihah bisa dipahami secara menyeluruh dan utuh.
Yang paling penting, jika istri soleha, suami juga punya tanggung jawab yang sama untuk menjadi soleh. Sebab sekali lagi, Islam selalu mengajarkan kasih sayang dan kesetaraan, bahkan dalam perkara rumah tangga.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari