Mbah Satinem: Wajah Tradisional Feminisme di Indonesia
Sosok Mbah Satinem dari serial dokumenter Netflix adalah salah satu bukti bahwa feminisme bukanlah konsep yang diimpor dari Barat.
Perkenalkan Mbah Satinem, ahli jajanan pasar yang menjadi tokoh utama representasi Indonesia dalam serial Street Food Asia di Netflix. Ia telah berjualan jajan pasar terutama lupis dan cendil selama lebih dari 50 tahun dan saat ini berjualan di pinggir Jalan Bumijo, Yogyakarta. Kelanggengan jajan pasar Mbah Satinem diperoleh dari resep klasik yang diturunkan dari ibunya sendiri dan cara memasak yang mendetail dan teliti. Berkat itu, rasa jajan pasar milik Mba Satinem seperti sudah tidak diragukan lagi, bahkan membuat orang rela mengantre sampai mengular.
Sosok Mbah Satinem sendiri tidak kalah menarik dari jajan pasar yang dibuatnya. Dari hasil menonton episode serial Street Food Asia ini, saya menyadari bahwa Mbah Satinem adalah salah satu wajah tradisional feminisme di Indonesia. Sosok nyata yang membawa energi feminisme sepanjang perjalanan hidupnya – penuh dedikasi, kuat, dan ramah. Ia dengan kemampuannya berkontribusi kepada masyarakat termasuk lewat kuliner tradisional Indonesia.
Mbah Satinem sudah tidak mengingat berapa usianya, tapi ia mengingat betul bahwa ia harus bangun setiap tepat tengah malam untuk memasak lupis dan cendil untuk dijual. Dibantu oleh suami dan putrinya, Mbah Satinem mempersiapkan jajan pasar untuk dijual pukul 5.30 pagi. Dengan dibonceng putrinya, Mbah Santimen tiba di depan ruko di Jl. Bumijo untuk menggelar dagangannya.
Untuk sekian lama, Mbah Satinem menjadi tulang punggung keluarga. Dengan berjualan jajan pasar, Mbah Satinem mampu membangun rumah dan menghidupi suami, anak-anak, dan cucunya. Meski demikian, tidak ada kesan mengutuk terhadap situasi dan hidup yang terpancar dari wajah Mbah Satinem yang rajin tertawa itu. Ia mengatakan bahwa ia menyayangi suaminya yang pandai bercanda dan selalu membantu dan menjaganya. Ia juga menganggap hidup itu luar biasa. Bagi saya, tanpa Mbah Satinem sadari, sesungguhnya ia adalah seorang feminis sejati.
Satu hal lain yang membuat Mbah Satinem semakin mengagumkan adalah kisah hidup yang melatarbelakangi dirinya berjualan jajan pasar. Semenjak tidak melanjutkan sekolah, Mbah Satinem selalu mengikuti ibunya berjualan jajan pasar dengan keliling berjalan kaki. Orang tuanya kemudian berpisah dan sang ibu meninggal dunia akibat kondisi karena gangguan mental. Meskipun membawa kisah hidup yang berat dan pilu, keinginan Mbah Satinem untuk bangkit dan melanjutkan berjualan jajan pasar sampai saat ini adalah wujud dari energi feminisme itu sendiri. Ia senang berjualan untuk dirinya sendiri, keluarga, dan mendiang ibunya.
Belajar dari sosok Mba Satinem, jika saat ini muncul teguran terhadap feminisme yang dianggap terlalu modern karena banyak menggunakan referensi asing dan bahasa Inggris di media sosial, mungkin bisa dipahami bahwa hal itu tidak sepenuhnya benar. Teguran itu mungkin muncul karena kurangnya pemahaman akan karakteristik media sosial dan penggunanya, serta kurangnya pemahaman akan inklusivitas feminisme sehingga contoh nyata seperti Mbah Satinem ini tidak mudah disadari. Padahal, banyak sosok seperti Mbah Satinem yang hidup sebagai wajah tradisional feminisme di Indonesia. Salah satu yang tak kalah heroik dalam serial ini adalah Mbah Lindu, penjual gudeg legendaris yang sudah hidup lebih dari seratus tahun.
Long live our local street food queens.