Issues

Bukan Zaman Kompetisi, Media Perempuan Perlu Kolaborasi

Bekerja keras dengan sumber daya terbatas, media perempuan berusaha konsisten memberitakan isu-isu penting. Bagaimana cara terbaik untuk bertahan?

Avatar
  • September 20, 2024
  • 7 min read
  • 731 Views
Bukan Zaman Kompetisi, Media Perempuan Perlu Kolaborasi

Bagaimana rasanya menghidupi media perempuan dengan keuangan yang kembang kempis setiap bulannya?

“Perlu menangis tiga tahun sampai akhirnya media saya bisa mulai beroperasi dengan lebih baik,” kenang Devi Asmarani, Pemimpin Redaksi sekaligus Co-Founder Magdalene.

 

 

Delapan media perempuan lain yang hadir di pertemuan di kawasan Jakarta Selatan itu sepakat dengan Devi. Tantangan untuk mendorong ruang digital ideal buat perempuan, tak cuma soal minim dan buruknya representasi mereka di berita. Namun juga tantangan finansial dan sumber daya, agar media perempuan bisa bertahan di tengah maraknya homeless media dan konglomerasi media arus utama.

Karena itulah sembilan media perempuan, Bincangperempuan.com (Bengkulu), Dewiku.com (Jakarta), DigitalmamaID (Jawa Barat), Femini.ID (Aceh), KatongNTT.com (NTT), Kutub,co (Jawa Barat), Magdalene.co (Jakarta), Simburcahaya.com (Sumatera Selatan), dan Tentangpuan.com (Sulawesi Utara), yang tergabung dalam Women’s Media Collabs bertemu pada 15-16 Agustus 2024. Dalam pertemuan yang diprakarsai Indonesian Institute of Journalism (Jurnalisme.id) dan didukung United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, para pimpinan media perempuan mendiskusikan strategi kolaborasi lebih lanjut.

Menurut Devi Nugraha, Head of Communication UNDP Indonesia, kolaborasi ini penting untuk mendobrak bias gender dan menutup kesenjangan yang terus dilanggengkan budaya patriarki. Terlebih menurut Laporan Kesenjangan Gender Global 2023, kita butuh waktu 131 tahun untuk menutup ketimpangan gender secara keseluruhan, 169 tahun untuk ketimpangan ekonomi, dan 162 tahun untuk ketimpangan politik.

“Kami percaya media perempuan dapat memberikan pendekatan baru dalam mengabarkan isu gender. Mereka memberikan keseimbangan yang diperlukan terhadap lanskap media yang (harus diakui) saat ini masih didominasi budaya patriarki. Mereka menawarkan perspektif yang mungkin terpinggirkan atau diabaikan,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Magdalene.

Eva Danayanti, Program and Bussiness Development Jurnalisme.id menambahkan alasan lain kenapa kolaborasi perlu dilakukan. Kata dia, saat teknologi digital berkembang pesat, persoalan kesetaraan masih jadi bayang-bayang yang menghantui.

“Hampir 50 persen perempuan di Indonesia belum bisa mengakses ruang digital. Kasus kekerasan berbasis gender di ruang digital masih sering terjadi. Mendukung keberadaan dan keberlangsungan media perempuan akan berkontribusi pada perwujudan ruang digital yang lebih baik untuk literasi perempuan di Indonesia,” tuturnya.

Senada, Siti Latifah, Pemimpin Redaksi Kutub.co berpendapat, partisipasi dan kolaborasi media perempuan dibutuhkan untuk mempromosikan lingkungan digital yang lebih kondusif, adil, dan aman. “Dengan begitu, kesetaraan gender dan perlindungan hak asasi manusia bisa tercapai. Perempuan juga dapat meraih potensi penuh mereka dalam ruang digital aman,” ungkapnya.

Baca Juga: Perempuan dan LGBT di Media Online: Direndahkan dan Dilecehkan Demi Konten

Pemetaan Media Perempuan di Indonesia dan Masalahnya

Jauh sebelum gagasan praktik kolaborasi mengemuka, media perempuan sebenarnya punya sejarah panjang di Indonesia. Dilansir dari buku “Seabad Pers Perempuan (1908-2008)”, Hajar Nur Setyowati dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri memetakan rekam media perempuan di Tanah Air. Mereka menggunakan metode perekaman biografi yang kronikal dari berbagai daerah dan bahasa, mulai dari Indonesia, Jawa, Sunda, Melayu, Arab hingga Belanda. Hasilnya, mereka membuktikan perempuan telah berhasil berperan besar di gelanggang politik, ekonomi, pendidikan, dan pembangunan keluarga. Semua direkam dengan apik di media-media perempuan sesuai masanya.

Mulanya adalah surat kabar Poetri-Hindia berbahasa Melayu yang dibuat oleh Tirto Adhi Soerjo pada 1 Juli 1908 dan terbit sebulan dua kali di Betawi. Adapun topik-topik yang diangkat seputar bagaimana jalan keluar agar perempuan pribumi bisa melawan minimnya akses terhadap pendidikan, pekerjaan, atau bidang lain yang terkait kemajuan perempuan. Kita bisa menemukan sejumlah rubrik, seperti Hal Merawat Anak, Ilmu Masakan, Ilmu Perobatan, Kesehatan, Kebersihan, Adat Istiadat dan Hal Dalam Merawat Perabotan Rumah Tangga.

Meski didominasi topik domestik, tapi koran ini menjadi pelopor yang memantik emansipasi banyak jurnalis perempuan saat itu. Sayangnya, masalah finansial ditambah disanderanya Tirto Adhi Soerjo pada 1912, membuat penerbitan koran ini terbengkalai. Lantas Poetri-Hindia setop terbit begitu saja pada 1913, catat Kompas.

Setelahnya, salah satu kontributor Poetri-Hindia, Roehana Kudus, mendirian surat kabar perempuan pertama di Minangkabau pada 1912, Soenting Melajoe. Media ini memiliki pemimpin redaksi, redaktur, dan penulis yang semuanya adalah perempuan. Adapun isu-isu yang diangkat tak jauh dari pendidikan, kesehatan, agama, dan budaya. Roehana juga menerjemahkan tulisan-tulisan berbahasa Belanda dan menerima kiriman sajak/ puisi.

Masih dilansir dari buku “Seabad Pers Perempuan (1908-2008)”, Roehana bukan satu-satunya kontributor Poetri-Hindia yang akhirnya mendirikan media perempuan baru. Adalah Siti Soendari yang menginisiasi Wanita Swara, media dengan isu seputar pendidikan tapi tak terlalu garang saat membicarakan masalah politik, sebagaimana ciri khas Boedi Oetomo, induk organisasinya. Tak ada catatan pasti kapan media ini didirikan, tapi penulis buku ini memprediksi Wanita Swara terbit pada 1912, berdasarkan temuan edisi No. 7, 1 April 1914 yang telah menapaki tahun III yang berarti ada kemungkinan terbit pada 1912.

Masih didukung Boedi Oetomo, pada 1914, berdiri Poetri Mardika yang terbit dalam tiga tiga bahasa, Melayu, Jawa, dan Belanda. Di dalamnya banyak memuat tulisan tentang tips cakap mengurus rumah tangga dan pendidikan. Menariknya, ada banyak tulisan kontributor lelaki yang menjadi allies atas perjuangan emansipasi perempuan. Empat tahun setelahnya, koran ini memperluas pasar hingga area Bandung dengan menerbitkan Panoengtoen Isteri yang berbahasa Sunda.

Sementara itu di Semarang, ada Estri Oetama yangt pertama terbit pada 1917 setiap tanggal 1 dan 15. Fokusnya pada geliat dan tantangan kehidupan perempuan Jawa. Di Sumatera Utara pada 1919 terbit Perempoean Bergerak dengan slogan De Beste Stuurlui Staan aan wal atau sahabat terbaik mampu melindungi atau women support women. Media ini menyerukan perempuan untuk berperan dalam pergerakan nasional.

Di lini pers untuk Muslimah, ada Djauharah yang terbit pada 1920; Istri Soesila-Taman Moeslimah; Asjraq; Soeara Aisjijah; dan lainnya. Lalu masih ada beberapa media dengan pasar perempuan yang terbit hingga era pasca-Reformasi. Dari Pikat, De Vrouw, Koemandang Wadja Wanita; Doenia Istri; Istri Merdika; Isteri; Soeara Kaoem Iboe Soematera; Sedar; Majalah Sedar; Sahabat Roemah Tangga; Pena Istri; Gentra Istri; Pedoman Isteri; Soeara Iboe; Soeara Istri Kristen; Wanito Oetomo; Istri Indonesia; Mawar; Keloearga; Keoetamaan Isteri; Doenia Kita; Pahesan; Karya; Wanita; Dunia Wanita; Trisula; Wanita Sedar; Keluarga; Mekarsari; Ibu.

Di era kontemporer, beberapa media perempuan menghiasi industri kita, dari Kartini; Femina; Kawanku; Gadis; Nova; Ummi; Kawanku; Dewi, Annida; Cosmopolitan; Citacinta; Alia. Sayang, meski keberadaannya patut kita apresiasi karena berusaha mengarusutamakan isu perempuan, tapi masih ada bias-bias tertentu dan didominasi topik domestifikasi. Ini diamini juga dalam pemetaan yang dilakukan Konde bertajuk Kolaborasi Menolak Mati: Pemetaan Kondisi Media Perempuan di Indonesia (2023). Menurut penulis, di rentang 1970 hingga 1990-an , media perempuan diwarnai dengan konten domestik seperti kuliner, tips rumah tangga, dan fesyen.

Perempuan di sengaja atau tak sengaja diposisikan sebagai istri atau penanggung jawab urusan rumah tangga. Sementara, media perempuan di era 1990 hingga 2000-an, didominasi tema perempuan muslimah yang taat. Sampai 2024, ada delapan media cetak perempuan yang bertahan, kebanyakan dari luar negeri. Yang asli cuma Femina dan Kartini; 11 radio; dan tak ada satu pun TV yang khusus untuk program perempuan. Lalu ada sederet media daring yang beberapa di antaranya bergabung dalam kolaborasi media perempuan di atas, termasuk Magdalene.

Baca Juga: Saya Lelaki dan Menganggap Media Perempuan Penting

Kolaborasi adalah Kunci

Memang ada media yang istiqomah menjadikan isu perempuan sebagai arus utama, alih-alih token atau suplemen yang didominasi konten domestifikasi. Namun, perjalanan mereka tak mudah. Dalam pertemuan sejumlah media perempuan di Blok M beberapa waktu lalu diidentifikasi beberapa tantangan. Mulai dari finansial, seperti yang dialami Magdalene saat awal pembentukannya.

Lalu masalah minimnya sumber daya manusia hingga tak dianggapnya isu gender sama pentingnya seperti isu lain. Karena itulah, kolaborasi media perempuan penting dilakukan. Menurut Jenkins & Graves dalam Case Studies in Collaborative Local Journalism. Digital News Project (2019), ada empat manfaat kolaborasi media.

Pertama, kolaborasi memungkinkan media perempuan untuk mengoptimalkan sumber daya. Semakin banyak jurnalis media perempuan terlibat, bakal semakin keras gaung isu dan cakupan wilayah liputan yang dijangkau. Apalagi ketika kita membicarakan isu yang lintas kota, provinsi, bahkan negara. Misalnya perdagangan perempuan, judi daring, kekerasan seksual daring, dan sejenisnya.

Kedua, kolaborasi media membuat hasil liputan menjadi lebih beragam dan kuat. Ini mengingat masing-masing media perempuan punya kekuatan masing-masing. Ada yang kuat di konten audiovisual, jurnalisme data, investigasi. Ada yang pakar dalam isu krisis iklim, kekerasan, ekonomi, politik, atau hukum.

Baca Juga: AJI Jakarta Kecam Penyerangan Jurnalis Media Perempuan dan Kelompok Minoritas

Ketiga, kolaborasi akan kian membuat hasil liputan menjadi lebih mendalam dan kontekstual. Keempat, kolaborasi berpotensi membuat isunya teramplifikasi lebih luas dan berdampak lebih besar.

Karena manfaatnya yang beragam, media perempuan yang ingin konsisten menjadi pengeras suara mereka yang voiceless, perlu menjadikan praktik ini sebagai strategi perjuangan. Memang akan selalu ada tantangan dalam kolaborasi, seperti menyamakan waktu atau beban kerja. Namun, bukan berarti ini tak biasa dilakukan. Sebab kita kini hidup di era di mana media perempuan tak seharusnya berkompetisi atau kanibalistik, tapi bergandengan satu sama lain.



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *